Sabtu, 19 Desember 2015

Poligami dalam Perspektif Hadis dan Negara

Poligami dalam Perspektif Hadis dan Negara
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan A
1.      Pendahuluan
Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, sehingga tidak mengherankan jika Allah meletakkannya di awal surat an-Nisa’ yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia, yaitu Adam yang satu, kemudian istrinya dan dari keduanya berkembang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang banyak. Kemudian di ayat yang ketiga dari surat an-Nisa’ itu satu-satunya ayat yang membicarakan masalah poligami yang perlu mendapat perhatian dari kaum muslimin semuanya. Masih banyak yang menganggap poligami adalah suatu perbuatan negative, hal ini terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya menguntungkan bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum ada Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan. Tujuan hidup keluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya Polligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat menjadi hilang. Hal ini tentunya merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya karena mereka beranggapan tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami.
Pandangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun juga ada yang tidak setuju atau menentang terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi dengan perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan poligami. Dan merujuk pada hadis shahih yang diriwayatkan Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan ad-Darimi, yang berbunyi:
إنّما النّساء شقائق الرّجا ل[1]
Arinya: ...Kaum wanita adalah sejajar dengan kaum pria.
Dari uraian ini sekiranya masalah itu timbul, apa sebenarnya arti poligami itu, apa dasar peletakan hadis mengenai hal ini, apa hikmah dibolehkanya berpoligami dan sejauh mana negara memandang mengenai poligami.
II.                Poligami dalam Perspektif Hadis
A.    Pengertian poligami
Kata Monogamy dapat dipasangkan dengan poligami sebagai  antonim, Monogamy adalah perkawinan dengan istri tunggal  yang  artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.[2] Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan  dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[3]
B.     Hadis Tentang Poligami
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، وحَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ، أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيْضَةَ بْنِ الشَّمَرْدَلِ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ مُسَدَّدٌ: ابْنِ عُمَيْرَةَ وَقَالَ وَهْبٌ: الْأَسَدِيِّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانُ نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا» ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: وحَدَّثَنَا بِهِ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، بِهَذَا الْحَدِيثِ فَقَالَ: قَيْسُ بْنُ الْحَارِثِ، مَكَانَ الْحَارِثِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ: «هَذَا هُوَ الصَّوَابُ يَعْنِي قَيْسَ بْنَ الْحَارِثِ»[4]
Diriwayatkan dari Hârits bin Qais: Saya telah masuk Islam dan disamping saya ada delapan wanita, maka saya mengatakan itu semua kepada Nabi maka Nabi menjawab pilihlah diantara wanita itu empat. Dalam riwayat lain Abu dawud menceritakan dari Ahmad bin Ibrahim dari dengan redaksi matan yang sama yaitu yang meriwayatkan Hârits bin Qais. Ahmad bin Ibrâhim berkata hadis ini adalah benar maksudnya ialah Qais bin Harits.
Selain hadis di atas terdapat hadis yang matan redaksi hadisnya sama yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيْضَةَ بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٍ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا»[5]
C.    Penjelasan Hadis
Hadis pertama merupakan hadis shahih hal ini apa yang tercantum dalam kitab Sunan Abî Dâwud, Ahmad bin Ibrahim berkata bahwa hadis kedua itu benar adanya yakni Hârits bin Qais,[6]sedangkan yang kedua merupakan hadis hasan lighairi atau hasan shahih.[7] Kedua hadis ini mengandung makna bahwa jumlah maksimal beristri itu empat istri. Seperti apa yang telah diceritakan oleh Hârits bin Qais, bahwasanya beliau beristri delapan kemudian beliau masuk Islam dan menceritakanya pada Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Maka Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata padanya pilihlah empat diantara mereka, ini pada hadis pertama. Sedangkan hadis kedua secara maksut memang sama, tetapi berbeda menggunakan lafad untuk menceritakannya pada Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, hadis pertama menggunakan lafad فَذَكَرْتُ sedangkan hadis kedua menggunakan lafad فَأَتَيْتُ letak perbedaanya lagi juga terdapat pada rawi terakhir, hadis pertama diriwayatkan oleh rawi مُسَدَّدٌ sedangkan hadis kedua diriwayatkan oleh rawi أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ.
D.    Rawi A’la
Hadis diatas memposisikan Hâris bin Qais sebagai Rawi a’la. Nama lengkap beliau ialah Qais bin al-Hârits bin Jidâr al-Asdî dan sering di panggil dengan sebutan Hâris bin Qais, lahir di kota Kufah. Ibnu Hajar mengatakan bahwa beliau termasuk sahabat yang syiqah, begitu juga dengan Ibnu Hibbân beliau mengatakan kalau Hâris bin Qais juga syiqah, beliau (Ibnu Hibbân)  mengatakan kalau Hâris bin Qais wafat pada masa kepemimpinanya Mu’âwiyah, dan Abû Musa mensholatinya di makam Hâris bin Qais setelah dikuburkanya. [8] Sedangkan al-Dzahabi tidak menyebutkan syiqah apa tidak, akan tetapi keduanya yakni Ibnu Hajar dan al-Dzahabi menyebutkan kalau Hâris bin Qais termasuk golongan sahabat. Beliau termasuk salah satu sahabat Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam yang ahli dalam ilmu Fiqh dan ahli Ibadah. Beliau wafat lebih dulu mendahului sahabat yang lainnya, kewafatan beliau disebabkan oleh pembunuhan bukan penyakit di tanah Shofain setelah kewafatanya Syaidina ‘Ali,[9] lebih tepatnya sebelum tahun 80 H atau setelah tahun 80 H. Sahabat terdekat beliau ialah termasuk Ali dan Ibnu Mas’ûd,[10]sekaligus sebagai guru dari  Hâris bin Qais. Sedangkan murid-murid beliau ialah Khusyamah bin Abdu al-Rahman al-Ju’fî, Nafî’ Abû Dâwud al-A’mî dan Yahya bin Hânîi bin al-Mâradî. [11]
E.     Makna ‘Am
Makna umum yang terkandung dalam hadis ini ialah keumuman untuk seluruh umat muslim tak terkecualikan, hal ini melihat dari matan hadis yang terjadi bahwa Hârits bin Qais setelah masuk Islam disuruh memilih empat istri diantara delapan istrinya.
F.     Kandungan Fiqh
Kandungan fiqh dalam hadis ini ialah bahwasanya seorang laki-laki dapat menikahi seorang wanita paling banyak empat orang hal ini melihat Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam menyurus Hârits bin Qais untuk memilih istrinya empat diantara delapan istrinya setelah masuk Islam.
III.             Hikmah Berpoligami
Berpoligami merupakan suatu hal yang dibolehkan dalam agama, ada beberapa hikmah yang terkandung dalam poligami:
1.      Tidak dapat kita pungkiri, bahwa bahtera kehidupan pernikahan seseorang tidak selalu berjalan dengan mulus, kadang-kadang ditimpa oleh cobaan atau ujian. Pada umumnya, sepasang lelaki dan perempuan yang telah menikah tentu saja sangat ingin segera diberikan momongan oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Akan tetapi, kadang-kadang ada suatu keadaan ketika sang istri tidak dapat melahirkan anak, sementara sang suami sangat menginginkannya. Pada saat yang sama, suami begitu menyayangi istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Dengan demikian maka berpoligami adalah suatu solusi yang paling tepat untuk memperoleh keturunan dan juga istri yang pertama masih bisa membagi kasih sayang dengannya.
2.      Berpoligami jadi sebagai penyelesaian bahtera kehidupan rumah tangga pada ketika keadaan seorang istri sakit keras sehingga menghalanginya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri, sedangkan sang suami sangat menyayanginya, ia tetap ingin merawat istrinya dan tidak ingin menceraikannya. Akan tetapi, di sisi lain ia membutuhkan wanita lain yang dapat melayaninya.
3.      Ada juga kenyataan lain yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa di dunia ini ada sebagian lelaki yang tidak cukup hanya dengan satu istri (maksudnya, ia memiliki syahwat lebih besar dibandingkan dengan lelaki pada umumnya). Maka berpoligami adalah suatu jalan penyelesaian bagi sebagian lelaki tersebut. Jika ia hanya menikahi satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti atau menyebabkan kesulitan bagi sang istri. Dan akan mengakibatkan perzinaan.
4.      Fakta lain yang kita hadapi sekarang adalah jumlah lelaki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan, baik karena terjadinya banyak peperangan ataupun karena angka kelahiran perempuan memang lebih banyak daripada lelaki. Oleh sebab itu banyak wanita yang tidak kebagian suami, di takutkan dari kaum wanita sebagai pelampiasan nafsu biologisnya menjurus kepada tindakan-tindakan asusila. Dan sebagainya, maka berpoligami merupakan solusi bagi wanita.
5.      Undang-undang perkawinan (UUP) di indonesia selain menetapkan asas monogamy juga masih tetap memperhatikan kondisi objektif masyarakat indonesia dalam masalah perkawiman sehingga asas monogamy diterapkan tidak mutlak artinya UUP memberikan peluang poligami bagi seseorang untuk berpoligami sebagaimana yang agamanya mengizinkan tetapi dengan ketentuan terpenuhinya syarat-syarat tertentu.[12]
IV.             Pembatasan Poligami Menurut Hukum Negara
Undang-undang menetapkan prosedur untuk menikahi istri kedua. Seorang laki- laki yang ingin menikahi istri yang kedua harus atau wajib menyerahkan formulir (Aplikasi) kepada ketua pendamai (The Arbitration council), di Indonesia barang kali sama dengan KUA atau PA. Karena itu ketika menggunakan kata KUA atau PA maksudnya adalah lembaga yang dimaksud. Didalam formulir tersebut, laki-laki (suami) harus mencantumkan alasan, kenapa menikahi istri kedua (poligami). Demikian juga dalam formulir tersebut harus jelaskan ada tidaknya persetujuan dari istri yang ada. Setelah menerima formulir tersebut kepala KUA harus mendatangkan istri atau istri-istri  bersamaan dengan suami yang mengajukan. Pegawai KUA bersama-sama dengan para pihak memutuskan diterima atau tidaknya permohonan tersebut. Keputusan dari KUA/PA tersebut dapat naik banding walaupun satu kali.
Protes ini muncul di paruh abad ke 19, bahwa sesungguhnya maksud Al-Qur’an adalah untuk menetapkan monogami, tetapi praktek poligami boleh di lakukan dalam dan untuk kondisi dan tuntutan tertentu. Adapun syarat dan alasan yang dapat dijadikan dasar untuk menerima permohonan poligami  seperti yang tercantum dalam pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:


a)      Adanya persetujuan dari istri
b)      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material)
c)      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial).
Dan dalam undang-undang no.1 tahun 1974, Bab.IX (Beristri lebih dari satu orang), pasal 55:[13]
1.      Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2.      Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istrinya dan anak-anaknya.
3.      Apabila syarat utama yang diSebut dalam ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Pasal: 56:[14]
1.      Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
2.      Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah no.9 Tahun 1975.
3.      Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal: 57:[15]
Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a)      Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b)      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c)      Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58:[16]
Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin peradilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 5 UU no.1 tahun 1974 yaitu:
a)      Adanya persetujuan istri.
b)      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
V.                Kesimpulan
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan  dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[17]
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيْضَةَ بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٍ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا»[18]
Undang-undang perkawinan (UUP) di indonesia selain menetapkan asas monogamy juga masih tetap memperhatikan kondisi objektif masyarakat indonesia dalam masalah perkawiman sehingga asas monogamy diterapkan tidak mutlak artinya UUP memberikan peluang poligami bagi seseorang untuk berpoligami sebagaimana yang agamanya mengizinkan tetapi dengan ketentuan terpenuhinya syarat-syarat tertentu.[19]
Undang-undang menetapkan prosedur untuk menikahi istri kedua. Seorang laki- laki yang ingin menikahi istri yang kedua harus atau wajib menyerahkan formulir (Aplikasi) kepada ketua pendamai (The Arbitration council), di Indonesia barang kali sama dengan KUA atau PA.



Daftar Pustaka
‘Asqalânî(al), Abû al-Fadlol Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Hajar, Tahdîb al-Tahdîb, (ttp: Mutabaqatun Dâirah, 1326 ).
‘Asqalânî(al), Abû al-Fadlol Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Hajar, Taqribud al-Tahdib, (ttp: Dâr al-Rasyîd, 1986).
Didiek, Ahmad Supadi, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia, (Semarang: Unisula Press, 2014).
Dzahibî(al), Syamsu Al-Dîn Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad, Sîr A’lamul Nabalak, (ttp: Muasasah Al-Risalah, 1985).
Ghazali(al), Muhammad, As-Sunnatun Nabawiyah Baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadis, (ttp: Dar al-Syuruq Kairo, 2008).
Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995).
Qamar(al), Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005).
Qazûnî(al), Ibnu Mâjah Abû ‘Abdullah Muhammad bin Yazîd, Sunan Ibnu Mâjah, (ttp: Dâr Ihyâk al-Kitab, tth).
Risâlah(al), Yûsuf bin ‘Abdul al-Rahman bin Yûsuf, Tahdib al-Kamil fî Asma’ al-Rijâl, (ttp: Mu’asasatul, 1980), 5:272.
Sulaiman, Abû Dâwud, Sunan Abû Dawud, (ttp: al-Maktabah al-Asyriyah, tth).
Tim Redaksi Nuansa Auliya, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Auliya Studio, 2012).



[1] Muhammad al-Ghazali, As-Sunnatun Nabawiyah Baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadis, (ttp: Dar al-Syuruq Kairo, 2008), 74.
[2] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), hal 159.
[3]Hamid Al-Qamar, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal 19.
[4] Abû Dâwud Sulaiman, Sunan Abû Dawud, (ttp: al-Maktabah al-Asyriyah, tth), 2:272.
[5] Ibnu Mâjah Abû ‘Abdullah Muhammad bin Yazîd al-Qazûnî, Sunan Ibnu Mâjah, (ttp: Dâr Ihyâk al-Kitab, tth), 628.
[6] Abû Dâwud Sulaiman, Sunan Abû Dawud, (ttp: al-Maktabah al-Asyriyah, tth), 2:272.
[7] Ibnu Mâjah Abû ‘Abdullah Muhammad bin Yazîd al-Qazûnî, Sunan Ibnu Mâjah, (ttp: Dâr Ihyâk al-Kitab, tth), 628.
[8] Abû al-Fadlol Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Tahdîb al-Tahdîb, (ttp: Mutabaqatun Dâirah, 1326 ), 2:155.
[9] Abû al-Fadlol ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Taqribud al-Tahdib, (ttp: Dâr al-Rasyîd, 1986), 147.
[10] Syamsu Al-Dîn Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahibî, Sîr A’lamul Nabalak, (ttp: muasasah al-Risalah, 1985), 4:75.
[11] Yûsuf bin ‘Abdul al-Rahman bin Yûsuf, Tahdib al-Kamil fî Asma’ al-Rijâl, (ttp: Mu’asasatul al-Risâlah, 1980), 5:272.
[12] Ahmad Supadi Didiek, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia, (Semarang: Unisula Press, 2014), 2:96.
[13] Tim Redaksi Nuansa Auliya, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Auliya Studio, 2012), 4:16.
[14] Ibid.,4:17.
[15] Ibid.,4:17.
[16] Ibid.,4:17.
[17]Al-Qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal 19.
[18] Ibnu Mâjah Abû ‘Abdullah Muhammad bin Yazîd al-Qazûnî, Sunan Ibnu Mâjah, (ttp: Dâr Ihyâk al-Kitab, tth), 628.
[19] Ahmad supadi didiek, hukum perkawinan bagi umat islam indonesia, (Semarang: Unisula Press, 2014), 2:96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar