Poligami dalam Perspektif Hadis dan Negara
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan A
1.
Pendahuluan
Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian
dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, sehingga tidak mengherankan jika Allah
meletakkannya di awal surat an-Nisa’ yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan
manusia, yaitu Adam yang satu, kemudian istrinya dan dari keduanya
berkembang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang banyak. Kemudian
di ayat yang ketiga dari surat an-Nisa’ itu satu-satunya ayat yang membicarakan
masalah poligami yang perlu mendapat perhatian dari kaum muslimin semuanya.
Masih banyak yang menganggap poligami adalah suatu perbuatan negative, hal ini
terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya menguntungkan
bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum ada Undang-Undang yang
menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan. Tujuan hidup
keluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan
adanya Polligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat
menjadi hilang. Hal ini tentunya merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya
karena mereka beranggapan tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang
suami.
Pandangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju
namun juga ada yang tidak setuju atau menentang terlebih lagi bagi kaum hawa
yang merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang lain. Hal ini
dipengaruhi dengan perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan poligami. Dan
merujuk pada hadis shahih yang diriwayatkan Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan
ad-Darimi, yang berbunyi:
Arinya: ...Kaum wanita adalah sejajar dengan kaum pria.
Dari uraian ini sekiranya masalah itu timbul, apa sebenarnya arti
poligami itu, apa dasar peletakan hadis mengenai hal ini, apa hikmah
dibolehkanya berpoligami dan sejauh mana negara memandang mengenai poligami.
II.
Poligami dalam Perspektif Hadis
A.
Pengertian poligami
Kata Monogamy dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim, Monogamy adalah perkawinan dengan
istri tunggal yang artinya seorang laki-laki menikah dengan
seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua
orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.[2] Poligami
berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa
lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul
melainkan dalam menjalani hidup
berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami
mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[3]
B.
Hadis Tentang Poligami
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، وحَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ، أَخْبَرَنَا
هُشَيْمٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيْضَةَ بْنِ الشَّمَرْدَلِ، عَنِ
الْحَارِثِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ مُسَدَّدٌ: ابْنِ عُمَيْرَةَ وَقَالَ وَهْبٌ:
الْأَسَدِيِّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانُ نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا» ، قَالَ أَبُو دَاوُدَ:
وحَدَّثَنَا بِهِ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، بِهَذَا
الْحَدِيثِ فَقَالَ: قَيْسُ بْنُ الْحَارِثِ، مَكَانَ الْحَارِثِ بْنِ قَيْسٍ،
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ: «هَذَا هُوَ الصَّوَابُ يَعْنِي قَيْسَ بْنَ
الْحَارِثِ»[4]
Diriwayatkan
dari Hârits bin Qais: Saya telah masuk Islam dan disamping saya ada delapan
wanita, maka saya mengatakan itu semua kepada Nabi maka Nabi menjawab pilihlah
diantara wanita itu empat. Dalam riwayat lain Abu dawud menceritakan dari Ahmad
bin Ibrahim dari dengan redaksi matan yang sama yaitu yang meriwayatkan Hârits
bin Qais. Ahmad bin Ibrâhim berkata hadis ini adalah benar maksudnya ialah Qais
bin Harits.
Selain
hadis di atas terdapat hadis yang matan redaksi hadisnya sama yang diriwayatkan
oleh Ibnu Mâjah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ
قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيْضَةَ بِنْتِ
الشَّمَرْدَلِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانِ
نِسْوَةٍ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ
ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا»[5]
C. Penjelasan Hadis
Hadis
pertama merupakan hadis shahih hal ini apa yang tercantum dalam kitab Sunan
Abî Dâwud, Ahmad bin Ibrahim berkata bahwa hadis kedua itu benar adanya
yakni Hârits bin Qais,[6]sedangkan yang kedua merupakan hadis hasan
lighairi atau hasan shahih.[7]
Kedua hadis ini mengandung makna bahwa jumlah maksimal beristri itu empat
istri. Seperti apa yang telah diceritakan oleh Hârits bin Qais, bahwasanya
beliau beristri delapan kemudian beliau masuk Islam dan menceritakanya pada
Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Maka Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata padanya pilihlah empat diantara
mereka, ini pada hadis pertama. Sedangkan hadis kedua secara maksut memang sama,
tetapi berbeda menggunakan lafad untuk menceritakannya pada Nabi Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam,
hadis pertama menggunakan lafad فَذَكَرْتُ sedangkan hadis
kedua menggunakan lafad فَأَتَيْتُ letak perbedaanya lagi
juga terdapat pada rawi terakhir, hadis pertama diriwayatkan oleh rawi مُسَدَّدٌ sedangkan hadis kedua
diriwayatkan oleh rawi أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
الدَّوْرَقِيُّ.
D.
Rawi A’la
Hadis diatas memposisikan Hâris bin Qais sebagai Rawi a’la.
Nama lengkap beliau ialah Qais bin al-Hârits bin Jidâr al-Asdî dan sering di
panggil dengan sebutan Hâris bin Qais, lahir di kota Kufah. Ibnu Hajar
mengatakan bahwa beliau termasuk sahabat yang syiqah, begitu juga dengan
Ibnu Hibbân beliau mengatakan kalau Hâris bin Qais juga syiqah, beliau (Ibnu
Hibbân) mengatakan kalau Hâris bin Qais
wafat pada masa kepemimpinanya Mu’âwiyah, dan Abû Musa mensholatinya di makam Hâris
bin Qais setelah dikuburkanya. [8] Sedangkan
al-Dzahabi tidak menyebutkan syiqah apa tidak, akan tetapi keduanya
yakni Ibnu Hajar dan al-Dzahabi menyebutkan kalau Hâris bin Qais termasuk
golongan sahabat. Beliau termasuk salah satu sahabat Nabi Salla Allah
‘Alaihi wa sallam yang ahli dalam ilmu Fiqh dan ahli Ibadah. Beliau wafat
lebih dulu mendahului sahabat yang lainnya, kewafatan beliau disebabkan oleh
pembunuhan bukan penyakit di tanah Shofain setelah kewafatanya Syaidina ‘Ali,[9]
lebih tepatnya sebelum tahun 80 H atau setelah tahun 80 H. Sahabat terdekat
beliau ialah termasuk Ali dan Ibnu Mas’ûd,[10]sekaligus
sebagai guru dari Hâris bin Qais.
Sedangkan murid-murid beliau ialah Khusyamah bin Abdu al-Rahman al-Ju’fî, Nafî’
Abû Dâwud al-A’mî dan Yahya bin Hânîi bin al-Mâradî. [11]
E.
Makna ‘Am
Makna umum yang terkandung dalam hadis ini ialah keumuman untuk
seluruh umat muslim tak terkecualikan, hal ini melihat dari matan hadis yang
terjadi bahwa Hârits bin Qais setelah masuk Islam disuruh memilih empat istri
diantara delapan istrinya.
F.
Kandungan Fiqh
Kandungan fiqh dalam hadis ini ialah bahwasanya seorang laki-laki
dapat menikahi seorang wanita paling banyak empat orang hal ini melihat Nabi Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam menyurus Hârits bin Qais untuk memilih istrinya empat
diantara delapan istrinya setelah masuk Islam.
III.
Hikmah Berpoligami
Berpoligami merupakan suatu hal yang dibolehkan dalam agama, ada
beberapa hikmah yang terkandung dalam poligami:
1.
Tidak dapat kita pungkiri, bahwa bahtera kehidupan pernikahan
seseorang tidak selalu berjalan dengan mulus, kadang-kadang ditimpa oleh cobaan
atau ujian. Pada umumnya, sepasang lelaki dan perempuan yang telah menikah
tentu saja sangat ingin segera diberikan momongan oleh Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ. Akan tetapi, kadang-kadang ada suatu keadaan ketika sang istri
tidak dapat melahirkan anak, sementara sang suami sangat menginginkannya. Pada
saat yang sama, suami begitu menyayangi istrinya dan tidak ingin
menceraikannya. Dengan demikian maka berpoligami adalah suatu solusi yang
paling tepat untuk memperoleh keturunan dan juga istri yang pertama masih bisa
membagi kasih sayang dengannya.
2.
Berpoligami jadi sebagai penyelesaian bahtera kehidupan rumah
tangga pada ketika keadaan seorang istri sakit keras sehingga menghalanginya
untuk melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan istri, sedangkan sang suami
sangat menyayanginya, ia tetap ingin merawat istrinya dan tidak ingin
menceraikannya. Akan tetapi, di sisi lain ia membutuhkan wanita lain yang dapat
melayaninya.
3.
Ada juga kenyataan lain yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa di
dunia ini ada sebagian lelaki yang tidak cukup hanya dengan satu istri
(maksudnya, ia memiliki syahwat lebih besar dibandingkan dengan lelaki pada
umumnya). Maka berpoligami adalah suatu jalan penyelesaian bagi sebagian lelaki
tersebut. Jika ia hanya menikahi satu wanita, hal itu justru dapat menyakiti
atau menyebabkan kesulitan bagi sang istri. Dan akan mengakibatkan perzinaan.
4.
Fakta lain yang kita hadapi sekarang adalah jumlah lelaki lebih
sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan, baik karena terjadinya banyak
peperangan ataupun karena angka kelahiran perempuan memang lebih banyak
daripada lelaki. Oleh sebab itu banyak wanita yang tidak kebagian suami, di
takutkan dari kaum wanita sebagai pelampiasan nafsu biologisnya menjurus kepada
tindakan-tindakan asusila. Dan sebagainya, maka berpoligami merupakan solusi
bagi wanita.
5.
Undang-undang perkawinan (UUP) di indonesia selain menetapkan asas
monogamy juga masih tetap memperhatikan kondisi objektif masyarakat indonesia
dalam masalah perkawiman sehingga asas monogamy diterapkan tidak mutlak artinya
UUP memberikan peluang poligami bagi seseorang untuk berpoligami sebagaimana
yang agamanya mengizinkan tetapi dengan ketentuan terpenuhinya syarat-syarat
tertentu.[12]
IV.
Pembatasan Poligami Menurut Hukum Negara
Undang-undang menetapkan prosedur untuk menikahi istri kedua.
Seorang laki- laki yang ingin menikahi istri yang kedua harus atau wajib
menyerahkan formulir (Aplikasi) kepada ketua pendamai (The Arbitration
council), di Indonesia barang kali sama dengan KUA atau PA. Karena itu ketika
menggunakan kata KUA atau PA maksudnya adalah lembaga yang dimaksud. Didalam
formulir tersebut, laki-laki (suami) harus mencantumkan alasan, kenapa menikahi
istri kedua (poligami). Demikian juga dalam formulir tersebut harus jelaskan
ada tidaknya persetujuan dari istri yang ada. Setelah menerima formulir
tersebut kepala KUA harus mendatangkan istri atau istri-istri bersamaan dengan suami yang mengajukan.
Pegawai KUA bersama-sama dengan para pihak memutuskan diterima atau tidaknya
permohonan tersebut. Keputusan dari KUA/PA tersebut dapat naik banding walaupun
satu kali.
Protes ini muncul di paruh abad ke 19, bahwa sesungguhnya maksud
Al-Qur’an adalah untuk menetapkan monogami, tetapi praktek poligami boleh di
lakukan dalam dan untuk kondisi dan tuntutan tertentu. Adapun syarat dan alasan
yang dapat dijadikan dasar untuk menerima permohonan poligami seperti yang tercantum dalam pasal 5 UU
Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan
melakukan poligami, yaitu:
a)
Adanya persetujuan dari istri
b)
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material)
c)
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka (immaterial).
Dan dalam undang-undang no.1 tahun 1974, Bab.IX (Beristri lebih
dari satu orang), pasal 55:[13]
1.
Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang istri.
2.
Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istrinya dan anak-anaknya.
3.
Apabila syarat utama yang diSebut dalam ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Pasal: 56:[14]
1.
Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat
izin dari pengadilan agama.
2.
Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah no.9 Tahun
1975.
3.
Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal: 57:[15]
Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:
a)
Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b)
Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c)
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58:[16]
Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin peradilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pasal 5 UU no.1 tahun 1974 yaitu:
a)
Adanya persetujuan istri.
b)
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka.
V.
Kesimpulan
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami)
mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat
ijab qabul melainkan dalam menjalani
hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan
suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[17]
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
الدَّوْرَقِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ
حُمَيْضَةَ بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: أَسْلَمْتُ
وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٍ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا»[18]
Undang-undang perkawinan (UUP) di indonesia selain menetapkan asas
monogamy juga masih tetap memperhatikan kondisi objektif masyarakat indonesia
dalam masalah perkawiman sehingga asas monogamy diterapkan tidak mutlak artinya
UUP memberikan peluang poligami bagi seseorang untuk berpoligami sebagaimana
yang agamanya mengizinkan tetapi dengan ketentuan terpenuhinya syarat-syarat
tertentu.[19]
Undang-undang menetapkan prosedur untuk menikahi istri kedua.
Seorang laki- laki yang ingin menikahi istri yang kedua harus atau wajib
menyerahkan formulir (Aplikasi) kepada ketua pendamai (The Arbitration
council), di Indonesia barang kali sama dengan KUA atau PA.
Daftar Pustaka
‘Asqalânî(al),
Abû al-Fadlol Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Hajar, Tahdîb
al-Tahdîb, (ttp: Mutabaqatun Dâirah, 1326 ).
‘Asqalânî(al),
Abû al-Fadlol Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Hajar, Taqribud
al-Tahdib, (ttp: Dâr al-Rasyîd, 1986).
Didiek, Ahmad
Supadi, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia, (Semarang: Unisula
Press, 2014).
Dzahibî(al),
Syamsu Al-Dîn Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad, Sîr A’lamul Nabalak, (ttp:
Muasasah Al-Risalah, 1985).
Ghazali(al),
Muhammad, As-Sunnatun Nabawiyah Baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadis, (ttp:
Dar al-Syuruq Kairo, 2008).
Kuzari, Achmad,
Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995).
Qamar(al), Hamid,
Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta:
Restu Ilahi, 2005).
Qazûnî(al), Ibnu
Mâjah Abû ‘Abdullah Muhammad bin Yazîd, Sunan Ibnu Mâjah, (ttp: Dâr
Ihyâk al-Kitab, tth).
Risâlah(al),
Yûsuf bin ‘Abdul al-Rahman bin Yûsuf, Tahdib al-Kamil fî Asma’ al-Rijâl,
(ttp: Mu’asasatul, 1980), 5:272.
Sulaiman, Abû
Dâwud, Sunan Abû Dawud, (ttp: al-Maktabah al-Asyriyah, tth).
Tim Redaksi
Nuansa Auliya, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Auliya Studio, 2012).
[1] Muhammad
al-Ghazali, As-Sunnatun Nabawiyah Baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadis, (ttp:
Dar al-Syuruq Kairo, 2008), 74.
[2] Achmad Kuzari,
Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), hal 159.
[3]Hamid Al-Qamar,
Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu
Ilahi, 2005), hal 19.
[5] Ibnu Mâjah Abû
‘Abdullah Muhammad bin Yazîd al-Qazûnî, Sunan Ibnu Mâjah, (ttp: Dâr
Ihyâk al-Kitab, tth), 628.
[7] Ibnu Mâjah Abû ‘Abdullah Muhammad bin Yazîd al-Qazûnî, Sunan
Ibnu Mâjah, (ttp: Dâr Ihyâk al-Kitab, tth), 628.
[8] Abû al-Fadlol
Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Tahdîb
al-Tahdîb, (ttp: Mutabaqatun Dâirah, 1326 ), 2:155.
[9] Abû al-Fadlol
ahmad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Taqribud
al-Tahdib, (ttp: Dâr al-Rasyîd, 1986), 147.
[10] Syamsu Al-Dîn
Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahibî, Sîr A’lamul Nabalak, (ttp:
muasasah al-Risalah, 1985), 4:75.
[11] Yûsuf bin
‘Abdul al-Rahman bin Yûsuf, Tahdib al-Kamil fî Asma’ al-Rijâl, (ttp:
Mu’asasatul al-Risâlah, 1980), 5:272.
[12] Ahmad Supadi
Didiek, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia, (Semarang: Unisula Press,
2014), 2:96.
[13] Tim Redaksi
Nuansa Auliya, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Auliya Studio, 2012),
4:16.
[14] Ibid.,4:17.
[15] Ibid.,4:17.
[16] Ibid.,4:17.
[17]Al-Qamar Hamid,
Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta:
Restu Ilahi, 2005), hal 19.
[18] Ibnu Mâjah Abû
‘Abdullah Muhammad bin Yazîd al-Qazûnî, Sunan Ibnu Mâjah, (ttp: Dâr
Ihyâk al-Kitab, tth), 628.
[19] Ahmad supadi
didiek, hukum perkawinan bagi umat islam indonesia, (Semarang: Unisula
Press, 2014), 2:96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar