KHITAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan Am Asroh
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama yang
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya nilai
kesetaraan semua manusia dan keseerajatan laki-laki dan perempuan. Karena itu,
Islam mengajarkan bahwa kenikmatan seksual merupakan hak bagi perempuan dan laki
laki, hak kedua belah pihak, istri dan suami. Secara tegas Al-Qur’an
mengilustrasikan istri dan suami seperti pakaian satu sama lain, keduanya harus
saling melengkapi dan saling mengisi. Bagi keduanya Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ telah menjadikan cinta dan kasih sayang yang tak bertepi.[1]
Sebagaimana tradisi
khitan[2]telah
ditemukan jauh sebelum Islam datang. Berdasarkan penelitian etnolog menunjukkan
bahwa khitan sudah pernah dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia
Barat Daya. Suku semit ( Yahudi dan Arab ) dan Hamit.[3]
Mereka yang di khitan tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, khususnya
kebanyakan dilakukan suku negro di Afrika Selatan dan Timur.[4]
Dengan demikian, khitan merupakan suatu yang lazim dilaksanakan baik untuk
laki-laki maupun perempuan. Khitan bagi laki-laki dirasakan banyak mangfaatnya.
Namun, tidak demikian terhadap perempuan. Khitan atas perempuan menyisakan
kepedihan karena merugikan perempuan.[5]
Bahkan, menurut kepala rumah sakit Islam Yordania menghukuminya haram.[6]
Lahirnya kebiasaan tersebut di duga
sebagai imbas atas kebudayaan totemisme. Dalam kata lain, menurut Munawar Ahmad
Anees, tradisi khitan di dalamnya terdapat perpaduan antara mitologi dan
keyakinan agama.[7]Apa
yang dikatakan Anees diatas ada benarnya, walaupun dalam ritus agama Yahudi,
khitan bukan merupakan ajaran namun kebanyakan masyarakat mempraktekanya.[8]hal
senada juga sama dengan terjadi di masyarakat Kristen.[9]
Sedangkan di dalam
Islam, dalam tekt ajaran islam tidak secara tegas menyinggung khitan masalah
ini. Sebagaimana di sebut dalam Q.S. an-Nahl (16): 123-124, Umat Nabi Muhammad Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam. Agar mengikuti Nabi Ibrahim sebagai bapaknya
Nabi,termasuk didalamnya adalah tradisi khitan. Dalam perspektif ushul fiqh hal
tersebut dikenal dengan istilah Syar’u man qablana.[10]
Hal tersebut secara
tidak langsung muncul anggapan khitan perempuan merupakan suatu keharusan.
Karena Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm adalah bapak para Nabi dan agama
Islam merupakan agama yang bersumber darinya. Asumsi tersebut juga didukung
oleh informasi dari Hadits Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
Yang menyebutkan adanya tradisi khitan perempuan di Madinah.
حَدَّ
ثَناَ سُلَيْماَنُ بْنُ عَبْدِ الرّحْمَنْ الدّمشقي و عبد الوهاّب بن عبد الرحيم
الاْشجعي قال حدثنا مروان حدّثنا محمّد بن حسّان قال عبد الوهاّب الكوفي عن عبد
الملك بن عمير عن أمّ عطيّة الأنصاريّة أنّ امرأة كانت تختنىبالمدينة فقال لها
النّبيّ صلى الله عليه و سلّم لا تنهكي فإنّ ذلك أحظى للمرأة وأحبّ إلى البعل[11]
Diceritakan dari sulaiman ibn Abd-Rahman al-Dimasyqi dan Abd
al-Wahhab ibn Abd al-Rahim al-Asyja’i berkata diceritakan dari Marwan
menceritakan kepada Muhammad ibn Hassan berkata Abd al-wahhab al-Kufi dari Abd
al_Malik ibn Umair dari Ummi Atiyyah al-Ansari sesungguhnya ada seorang juru
khitan perempuan di Madinah, maka Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
Bersabda jangan berlebih-lebihan dalam memotong organ kelamin perempuan,
sesungguhnya hal tersebut akan lebih memuaskan perempuan dan akan lebih
menggairahkan dalam bersetubuh. (H.R. Abu Dawud).
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa masyarakat Madinah terjadi
suatu tradisi khitan perempuan. Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam
memberikan wejangan agar kalau mengkhitan jangan terlalu menyakitkan karena hal
tersebut bisa mengurangi nikmat seksual. Tidak dijelaskan siapa yang terlibat
dalam kegiatan khitan perempuan tersebut baik yang dikhitan ataupun orangnyang
mengkhitan.
Informasi lain
didapatkan bahwa khitan merupakan bagian dari fitrah manusia. Sedangkan fitrah
yang lain adalah mencukur bulu disekitar kemaluan, memotong kumis, memotong
kuku, dan mencabut bulu ketiak.
Diceritakan dari
Yahya ibn Qaza’ah, diceritakan dari Ibrahim ibn Saad dari Syaihab dari Said ibn
al-Masayyab dari Abu Hurairah Radiyallahuanhu bahwasanya Nabi Muhammad Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam bersabda fitrah itu ada tiga macam yaitu khitan,
mencukur bulu disekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kumis dan
memotong kuku. (H.R. Ibn Majah)
Istilah
khitan lazim digunakan Fuqaha’ dalam berbagai term, khususnya bila dihubungkan
dengan salah satu sebab seseorang diharuskan mandi setelah berhubungan badan.
Jika bertemu dua khitan, maka telah wajib mandi. Hal tersebut sesuai dengan
hadits Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
Diceritakan dari Ali ibn Muhammad al-Tanafasi dan abd al-Rahman ibn
Ibrahim al-Damasyqi berkata keduanya dari al-Walid ibn Muslim diceritakan dari
al_Auza’i bahwa ia diceritakan dari Abd al-Rahman ibn al-Qasim yang di ceritakan
dari al-Qasim ibn Muhammad dario Aisyah Radiyallahuanhu istri Nabi Muhammad Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam berkata jika telah bertemu dua khitan maka sungguh
telah wajib mandi, saya melaksanakan demikian dengan Rasuluyllah Salla Allah
‘Alaihi wa sallam., maka mandilah. (H.R. Ibn Majah)
Nabi
Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam menyebutkan bahwa khitan
laki-laki merupakan sunnah sedangkan perempuan dianggap sebagai suatu
kehormatan. Sebagaimana terdapat dalam H.R Ahmad No. 19794 di bawah ini:
Diceritakan dari Suraij diceritakan dari Abbad yakni Ibn al-Awwam
dari al-Hajjaj dari Abi al-Malih ibn Usamah dari Ayahnya sesungguhnya Nabi
Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam bersabda khitan itu sunnat bagi
laki-laki dan bagi perempuan merupakan suatu kemuliaan. (H.R. Ahmad)
Berdasarkan informasi hadits diatas, maka perlu untuk mengadakan
penelitian secara jauh tentang keberadaan hadits-hadits tentang khitan.
Sebagaimana diketahui, bahwa hadits telah disepakati Ulama’ sebagai dalil
hukum. Sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an, hadits memiliki perbedaan dengan
al-Qur’an. Salah satu perbedaanya adalah letak dari periwayatannya. Al-Qur’an
seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir sedangkan tidak semua hadits
diriwayatkan secara mutawatir.[12]kecuali
terhadap hadits mutawatir, terhadap hadits ahad kritik tidak juga diajukan
kepada sanad tetapi juga terhadap matan. Disamping itu, dalam perspektif
historis terungkap bahwa tidak seluruh hadits tertulis di zaman Nabi Muhammad Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam ., adanya pemalsuan hadits disebabkan adanya
perbedaan mazhab dan aliran, proses penghimpunan hadits yang memakan waktu yang
lama, jumlah kitab hadits dan metode penyusunan yang beragam serta adanya
periwayatan bil al-ma’na. Sebab-sebab itulah yang mendorong pentingnya
melakukan penelitiitian hadits ini.[13]
Oleh karna itu,
hadits-hadits tentang khitan perlu diadakan penelitian baik dari segi sanad
maupun dari mantanya melalui kritik hadits yang ada. Agar penelitiaan ini
mendalam dan menyeluruh, maka objek kajian dilakukan dalam enam kitab hadits
yang dikenal dengan kutub al-sittah. Dari upaya diatas, akan didapatkan
mana hadits yang dapat dijadikan hujjah dan mana hadits yang tidak boleh
dijadikan hujjah. Setelah itu, dilakukan analisis tentang ada tidak khitan
dalam Islam menenai hadits tersebut dan dalil-dalil lain yang didukung dengan
data kedokteran dan psikolog dari masyarakat, upaya pemahaman hadits dalam kontek
kekinian. Pemahaman tersebut diperlukan karena keberadaan khitan perempuan
bukan merupakan suatu yang memebawa kemaslahatan bagi perempuan melainkan
membawa kesengsaraan. Terutama, jika khitan tersebut dijadikan ajang sebagai
pengebiran hasrat seksual perempuan. Hal inilah yang menyalahi kodrat manusia
yang diberi oleh Tuhannya mempunyai naluri seksual.
B.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari
latar belakang yang dikemukakan sebelumnya maka akan diajukan problem research
atau rumusan masalah, yaitu:
1.
Apa
mangfaat dari khitan itu...?
2.
Mengapa
khitan itu di perbolehkan...?
3.
Adakah
hadits yang mutawatir yang memperbolehkannya wanita khitan...?
C.
Tujuan dan Mangfaat
1.
Tujuan
Peneliti ini
memiliki beberapa tujuan:
a.
Untuk
mengungkap kebenaran diperbolehkanya khitan bagi wanita.
b.
Untuk
membuktikan bahwa Islam itu cinta kebersihan.
2.
Mangfaat
Mangfaat
penelitian ini secara umum adalah agar para wanita(yang belum tahu) tahu akan
adanya khitan bagi mereka.
D.
Tinjuan Pustaka
Kajian
mengenai khitan bagi perempuan ini banyak persoalan yang sering di lontarkan
pada guru-guru kita salah satu guru kita yaitu al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc,
beliau pernah ditanya mengenai hukum ini dan beliau menjawab dengan jelas dan
detil. Pertanyaan itu ialah Bagaimana hukum sunat bagi perempuan menurut
hukum Islam? Dan ini jawaban beliau “Khitan bagi wanita
juga disyariatkan sebagaimana halnya bagi pria. Memang, masih sering muncul
kontroversi seputar khitan bagi wanita, baik di dalam maupun di luar negeri.
Perbedaan dan perdebatan tersebut terjadi karena berbagai alasan dan sudut
pandang yang berbeda. Yang kontra bisa jadi karena kurangnya informasi tentang
ajaran Islam, kesalahan penggambaran tentang khitan yang syar’I bagi wanita,
dan mungkin juga memang sudah antipati terhadap Islam. Lepas dari kontroversi
tersebut, selaku seorang muslim, kita punya patokan dalam menyikapi segala
perselisihan, yaitu dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan
Rasul-Nya.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kalian
berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Hal itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’:
59)
Setelah kita kembalikan kepada
Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, serta telah jelas apa
yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya,
kewajiban kita adalah menerima ajaran tersebut sepenuhnya dan tunduk sepenuhnya
dengan senang hati tanpa rasa berat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban
orangorang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar
Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan
kami patuh.” Dan mereka itulah orangorang yang beruntung. (an-Nur: 51)
Tentang sunat bagi wanita, tidak
diperselisihkan tentang disyariatkannya. Hanya saja para ulama berbeda
pendapat, apakah hukumnya hanya sunnah atau sampai kepada derajat wajib.
Pendapat yang kuat (rajih) adalah wajib dengan dasar bahwa ini adalah ajaran
para nabi sebagaimana dalam hadits,
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ -أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ
الْخِتَانُ، وَا سْالِْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ
وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Fitrah ada lima—atau lima
hal termasuk fitrah—: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak,
menggunting kuku, dan menggunting kumis.” (Sahih, HR. al- Bukhari
dan Muslim)
Fitrah dalam hadits ini
ditafsirkan oleh ulama sebagai tuntunan para nabi, tentu saja termasuk Nabi
Ibrahim ‘Alaihissalam, dan kita diperintah untuk mengikuti ajarannya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ
إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad),
“Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif.” (an-Nahl:
123)
Alasan yang kedua, ini adalah pembeda antara
muslim dan kafir (nonmuslim). Pembahasan ini dapat dilihat lebih luas dalam
kitab Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim rahimahullah
dan Tamamul Minnah karya asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.
Dari masalah lain, kali ini pertanyaan yang
diajukan kepada al-Lajnah ad-Daimah. Pertanyaan: Kami wanita-wanita
muslimah dari Somalia. Kami tinggal di Kanada dan sangat tertekan dengan adat
dan tradisi yang diterapkan kepada kami, yaitu khitan firauni, yang pengkhitan
memotong klitoris seluruhnya, dengan sebagian bibir dalam kemaluan dan sebagian
besar bibir luar kemaluan. Itu bermakna menghilangkan organ keturunan yang
tampak pada wanita, yang berakibat memperjelek vagina secara total. Setelahnya
lubang dijahit total, yang diistilahkan dengan ar-ratq, yang mengakibatkan rasa
sakit yang luar biasa bagi wanita saat malam pernikahan dan saat melahirkan.
Bahkan karena hal itu, tidak jarang sampai mereka memerlukan operasi. Selain
itu, hal ini juga mengakibatkan seksualitas yang dingin dan menyebabkan
berbagai macam kasus medis, seorang wanita kehilangan kehidupan, kesehatan,
atau kemampuannya berketurunan. Saya akan melampirkan sebagian hasil studi
secara medis yang menerangkan hal itu. Kami ingin mengetahui hukum syar’i
tentang perbuatan ini. Sungguh, fatwa Anda semua terkait dengan masalah ini
menjadi keselamatan banyak wanita muslimah di banyak negeri. Semoga
Allah Subhanahu wata’ala memberikan taufik kepada Anda semua dan
memberikan kebaikan. Semoga Allah Subhanahu wata’ala menjadikan Anda
sekalian simpanan kebaikan bagi muslimin dan muslimat.
Dan beliau menjawab pertanyaan ini “Apabila
kenyataannya seperti yang disebutkan, khitan model seperti yang disebutkan
dalam pertanyaan tidak diperbolehkan karena mengandung mudarat yang sangat
besar terhadap seorang wanita. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَ ضِرَارَ
“Tidak boleh memberikan mudarat.”
Khitan yang disyariatkan adalah dipotongnya
sebagian kulit yang berada di atas tempat senggama. Itu pun dipotong sedikit,
tidak seluruhnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada pengkhitan, “Apabila kamu mengkhitan, potonglah
sedikit saja dan jangan kamu habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah
dan lebih menyenangkan suami.” (HR. al-Hakim, ath-Thabarani, dan selain
keduanya) Allah Subhanahu wata’ala lah yang memberi taufik.
Semoga Allah l memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarganya, dan para sahabatnya. (Tertanda: Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz [Ketua], Abdul Aziz Alu Syaikh [Wakil Ketua], Abdullah Ghudayyan
[Anggota], Shalih al-Fauzan [Anggota], dan Bakr Abu Zaid
[Anggota] fatwa no. 20118)
Dalam pandangan ulama Islam dari berbagai
mazhab, yang dipotong ketika wanita dikhitan adalah kulit yang menutupi
kelentit yang berbentuk semacam huruf V yang terbalik. Dalam bahasa Arab bagian
ini disebut qulfah dan dalam bahasa Inggris disebut prepuce.
Bagian ini berfungsi menutupi klitoris atau kelentit pada organ wanita,
fungsinya persis seperti kulup pada organ pria yang juga dipotong dalam khitan
pria. Khitan wanita dengan cara semacam itu mungkin bisa diterjemahkan dalam
bahasa Inggris dengan prepucectomy. Berikut ini kami nukilkan beberapa
penjelasan para ahli fikih.
• Ibnu ash-Shabbagh rahimahullah
mengatakan, “Yang wajib atas seorang pria adalah dipotong kulit yang menutupi
kepala kemaluan sehingga terbuka semua. Adapun wanita, dia memiliki selaput
(kulit lembut yang menutupi klitoris, -pen.) semacam jengger ayam yang
terletak di bagian teratas kemaluannya dan berada di antara dua bibir
kemaluannya. Itu dipotong dan pokoknya (klitorisnya) yang seperti biji kurma
ditinggal (tidak dipotong).”
• Al-Mawardi rahimahullah berkata,
“Khitan wanita adalah dengan memotong kulit lembut pada vagina yang berada di
atas tempat masuknya penis dan di atas tempat keluarnya air kencing, yang
menutupi (kelentit) yang seperti biji kurma. Yang dipotong adalah kulit tipis
yang menutupinya, bukan bijinya.”
• Dalam kitab Hasyiyah ar-Raudhul Murbi’ disebutkan,
“Di atas tempat keluarnya kencing ada kulit yang lembut semacam
pucuk daun, berada di antara dua bibir kemaluan, dan dua bibir tersebut
meliputi seluruh kemaluan. Kulit tipis tersebut dipotong saat
khitan. Itulah khitan wanita.”
• Al-‘Iraqi rahimahullah
mengatakan, “Khitan adalah dipotongnya kulup yang menutupi kepala penis seorang
pria. Pada wanita, yang dipotong adalah kulit tipis di bagian atas vagina.”
Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah kiranya seperti apa khitan yang syar’I
bagi wanita.
Namun, ada pendapat lain dari kalangan ulama
masa kini, di antaranya asy-Syaikh al-Albani, yaitu yang dipotong adalah
klitoris itu sendiri, bukan kulit lembut yang menutupinya, kulup, atau prepuce.
Sebelum ini, penulis pun cenderung kepada pendapat ini. Tetapi, tampaknya
pendapat ini lemah, dengan membandingkan dengan ucapan-ucapan ulama di atas.
Namun, pemilik pendapat ini pun tidak mengharuskan semua wanita dikhitan,
karena tidak setiap wanita tumbuh klitorisnya. Beliau hanya mewajibkan khitan
yang demikian pada wanita-wanita yang kelentitnya tumbuh memanjang. Ini biasa
terjadi di daerahdaerah yang bersuhu sangat panas, semacam Sa’id Mesir (Epper
Egypt), Sudan, dan lain-lain. Banyak wanita di daerah tersebut memiliki
kelentit yang tumbuh, bahkan sebagian mereka tumbuhnya pesat hingga sulit
melakukan ‘hubungan’. (Rawai’uth Thib al-Islami, 1/109, program
Syamilah)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah khitan
yang tidak syar’i, yaitu khitan firauni, khitan menurut pendapat yang
lemah, dan khitan syar’i sebagaimana penjelasan ulama di atas. Oleh karena itu,
tiada celah bagi siapa pun untuk mengingkari khitan yang syar’i, karena khitan
yang syar’I bagi wanita sejatinya sama dengan khitan bagi pria. Tidak ada
kerugian sama sekali bagi yang bersangkutan. Bahkan, wanita tersebut akan
mendapatkan berbagai maslahat karena banyaknya hikmah yang terkandung. Di
antaranya, dikhitan akan lebih bersih karena kotoran di sekitar kelentit akan
mudah dibersihkan, persis dengan hikmah khitan pada kaum pria. Bahkan, khitan
akan sangat membantu wanita dalam hubungannya dengan suaminya, karena dia akan
lebih mudah terangsang dan mencapai puncak yang dia harapkan. Hikmah yang
paling utama adalah kita bisa melaksanakan tuntunan para nabi dan
beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan
melaksanakannya.
Yang aneh, orang-orang yang anti- Islam di satu
sisi mendiskreditkan Islam dengan alasan khitan wanita, padahal khitan ini juga
dilakukan di negeri nonmuslim, walau tidak dengan nama khitan. Bahkan, tindakan
ini menjadi pengobatan atau solusi bagi wanita yang kesulitan mencapai orgasme,
dan solusi ini berhasil. Pada 1958, Dr. McDonald meluncurkan sebuah makalah di
majalah General Practitioner yang menyebutkan bahwa dia melakukan
operasi ringan untuk melebarkan kulup wanita pada 40 orang wanita, baik dewasa
maupun anak-anak, karena besarnya kulup mereka dan menempel dengan klitoris.
Operasi ringan ini bertujuan agar klitoris terbuka dengan cara menyingkirkan
kulup tanpa menghabiskannya. Dr. McDonald menyebutkan bahwa dirinya dibanjiri
ucapan terima kasih oleh wanita-wanita dewasa tersebut setelah operasi. Sebab,
menurut mereka, mereka bisa merasakan kepuasan dalam hubungan biologis pertama
kali dalam kehidupannya.
Seorang dokter ahli operasi kecantikan di New
York ditanya tentang cara mengurangi kulup klitoris dan apakah hal itu operasi
yang aman. Dia menjawab, caranya adalah menghilangkan kulit yang menutupi
klitoris. Kulit ini terdapat di atas klitoris, menyerupai bentuk huruf V yang
terbalik. Terkadang kulit ini kecil/sempit, ada pula yang panjang hingga
menutupi klitoris. Akibatnya, kepekaan pada wilayah ini berkurang sehingga
mengurangi kepuasan seksual. Sesungguhnya memotong kulit ini berarti mengurangi
penutup klitoris. David Haldane pernah melakukan wawancara—yang kemudian
diterbitkan di majalah Forum UK di Inggris—dengan beberapa ahli
spesialis yang melakukan penelitian tentang pemotongan kulup pada vagina. Di
antara hasil wawancara tersebut sebagaimana berikut ini.
David Haldane melakukan wawancara dengan dr.
Irene Anderson, yang menjadi sangat bersemangat dalam hal ini setelah
mencobanya secara pribadi. Operasi ini dilakukan terhadapnya pada 1991 sebagai
pengobatan atas kelemahan seksualnya. Ia mendapatkan hasil yang luar biasa
sebagaimana penuturannya. Ia kemudian mempraktikkannya pada sekitar seratus
orang wanita dengan kasus yang sama (kelemahan seksual). Semua menyatakan puas
dengan hasilnya, kecuali tiga orang saja. (Khitanul Inats) Sungguh benar
sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para pengkhitan
wanita saat itu,
إِذَا خَفَضْتِ فَأَشِمِّي وَلاَ تَنْهَكِي،
فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ وَأَحْظَى لِلزَّوْجِ
“Apabila engkau mengkhitan, potonglah sedikit
saja dan jangan engkau habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih
menguntungkan suami.” (HR. ath-Thabarani, dll. Lihat ash- Shahihah
no. 722)
Sungguh, hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam ini termasuk mukjizat yang nyata. Selaku seorang muslim,
kita jelas meyakininya. Ringkas kata, orang-orang kafir pun mengakui
kebenarannya. Selanjutnya kami merasa perlu menerangkan langkah-langkah
pelaksanaan khitan wanita karena informasi tentang hal ini sangat minim di
masyarakat kita, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada penjelasan yang
mendetail. Yang ada hanya bersifatnya global, padahal informasi ini sangat
urgen. Sebetulnya, rasanya tabu untuk menjelaskan di forum umum semacam ini.
Namun, ini adalah syariat yang harus diketahui dengan benar, dan “Sesungguhnya
Allah tidak malu dari kebenaran.” Kami menyadari bahwa kekurangan
informasi dalam hal ini bisa berefek negatif yang luar biasa:
1. Anggapan yang negatif tehadap syariat Islam.
2. Bagi yang sudah menerima Islam dan
ajarannya, lalu ingin mempraktikkannya, bisa jadi salah praktik (malapraktik),
akhirnya sunnah ini tidak terlaksana dengan benar. Bahkan, bisa jadi terjerumus
ke dalam praktik khitan firauni yang kita sebut di atas sehingga
terjadilah kezaliman terhadap wanita yang bersangkutan, dan mungkin kepada
orang lain.
E. Kerangka Teori
Istilah khitan
merupakan istilah yang lazim dipakai dalam masyarakat atas peristiwa atau
prosesi pemotongan sebagian organ kelamin
laki-laki dan perempuan. Istilah ini kita sendiri berasal dari bahasa
arab secara etimologis, yang berarti memotong.[14]
Sedangkan secara istilah khitan adalah suatu pemotongan di bagian tertentu atas
alat kelamin laki-laki atau perempuan.
Istilah-istilah lain yang sering disandarkan pada khitan adalah
khifad dan ‘izâr. Terdapat perbedaan atas penggunaan kedua istilah tersebut
adalah. Istilah pertama khifad diperuntukkan untuk perempuan sedangkan ‘izâr diperuntukkaan khitan
perempuan,melainkan khitan bagi laki-laki.[15]secara
kebahasaan istilad khifad dapat diartikan dengan menurunkan atau merendahkan
maka tersebut dapat diasumsikan bahwa tujuan khitan perempuan adalah adanya
penjagaan atas diri keperawanan perempuan sampai masa pernikahannya.
Di dalam dunia medis, istilah khitan tidak di temukan. Khitan
indetik dengan sirkumsisi.[16]
Demikan juga dimasyarakat jawa istilah khitan lebih dikenal dengan tetes
(netes) yang berarti menjelma atau menyamai.[17]
Istilah yang lazim digunakan di Sudan dan Mesir adalah khitan ala Fir’aun yang
di adopsi dengan khitan yang ada pada masa pemerintahan Ramses[18].
Istilah lain yang sering kali ditenukan di berbagai buku saat ini adalah Female
Genital Mutlation atau female circumsision yang keduanya merujuk pada arti
menghilangkan organ kelamin perempuan[19].
Pengertiam khitan dapat diperoleh dalam gambaran pendapat-pendapat
Ulama’ seperti Abd al-Salam al-Syuakri yang dimaksud khitan laki-laki adalah
memotong seluruh kulit yang menutupi kepala penis sehingga tersingkap semuanya,
sedangkan khitan perempuan adalah memotong bagian terbawah kulit terletak
persis di vagina.[20]
Sedangkan khitan perempuan dalam pandangan
menurut Imam Mawardi adalah memotong kulit yang berada diatas kemaluan
perempuan yang berada ditempat masuknya penis dan bentuknya menyerupai
biji-bijian atau jengger ayam.[21]pemikiran
senada juga diungkapkan pemikir lainya seperti Ibrahim Muhammad Jalal.[22]Lebih
lanjut al-mawardi mengemukan tentang batasan yang harus dipotong alam khitan
perempuan yaitu paling tidak adalah bagian kulit yang menggelembir tanpa
melenyapkan pada akar-akarnya.
Setelah melihat
berbagai pandangan tentang istilah khitan dan berbagai pendapat Ulama’ da atas,
maka pada bagian yang lain dilaksanakan penelusuran secara komperehensif
masalah khitan sebagaimana yang tergambar dalam hadits yang sedang dilakukan
penelitian. Oleh karena itu, upaya ini berupaya memahami pesan yang dibawa oleh
Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Dalam konteksnya pada masa
dulu dengan tanpa memberikan interpretasi lain kecuali secara historis dan
sosiologisnya. Karena kedua hal tersebut merupakan suatu yang lazim dijadikan
pedoman dalam menyusun suatu hukum.
Hadits tentang khitan
sebagaimana yang telah dilakukan penelitian pada bab sebelumnya terdapat empat
tema pokok yang menjadi teks bahasan hadits. Keempat pokok bahasan hadits
tentang khitan perempuan adalah:
1. Gambaran atas tradisi khitan perempuan pada masa Nabi Muhammad Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam.
2. Khitan merupakan bagian dari fitrah (kesucian).
3. Wajibnya mandi karna bertemunya jinabat karena bertemunya khitan.
4. Kemuliaan khitan perempuan dan khitan laki-lakisebagai suatu yang
dianjurkan.
Hadits yang pertama dan
keempat adalah Dhoif, maka dengan sendirinya tidak dapat diamalkan. Untuk kedua
hadits yang dijadikan penelitian tidak menunjuk pada khitan perempuan semata.
Istilah yang digunakan dalam hadits tersebut masih umum yakni khitakna khitan
tersebut paralel dengan sebagian fitrah yang lain yakni memotong bulu kemaluan,
memotong kuku, memotong bulu ketiak. Melihat istilah yang digunakan tersebut,
maka khitan dalam arti ini masih berlaku umum tidak hanya ditujukan atas khitan
perempuan saja melainkan juga terhadap laki-laki. Tujuan khitan dalam arti ini
dan keempat istilah lainya adalah membersihkan badan dari kuman penyakit.
Benih-benih penyakit akan cepat tumbuh jika dalam badan yang sering kali
menjadi sumber-sumber penyakit tidak dibersihkan.
Adapun Hadits yang
ketiga ialah prototipe adanya khitan baik laki-laki mapun perempuan. Namun,
gambaran yang terdapat dalam hadits Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa
sallam tersebut tidak serta merta menunjukan tentang adanya khitan
perempuan. Mungkin dalam hal ini secara umum yang lazim digunakan dalam
masyarakat adalah khitan, maka dengan demikian istilah bersetubuh juga dimaknai
dengan bertemunya atas dua khitan kendati si perempuan tidak melakukan khitan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian kepustakaan (library
resaseach)[23].
Adapun objek penelitian ini adalah al-Hadits dan al-Qur’an yang berkaitan
dengan penelitian ini.
2. Sumber
Karena
penelitian ini library resaseach maka data-data akan diperoleh dari
sumber-sumber literer. Yakni data dari sumber-sumber tertulis dari al-Hadits
dan al-Qur’an dan buku-buku tentang penelitian ini. Namun disamping itu juga
diadakan wawancara pada guru-guru yang pernah mempelajari lebih mendalam dalam
hal ini. Wawancara digunakan untuk data tambahan dari data yang belum lengkap.
Sumber
data di sini dibagi menjadi dua yakni sumber primer dan sumber sekunder:
1. Sumber
data primer
Sumber data primer di peroleh
dari al-Hadits dan al-Qur’an.
2. Sumber
data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data
lain yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Dalam hal ini berupa buku-buku
maupun kajian yang membahas tentang hal ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, langkah awal yang
digunakan adalah sumber dari primer dan sekunder. Kemudian dilanjutkan dengan
pengumpulan data-data penunjang yang berkaitan dengan pembahasan.
4. Analisis Data
Dalam
melakukan analisis ini penulis menggunakan metode analisi komprehensif. Dalam
analisis data komprehensif data yang ada akan dianalisis secara menyeluruh. Maka
kaitan antara tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan juga ideologi dengan
hasil penafsiran yang digunakan penulis adalah anggapan saling mempengaruhi,
bukan terpisan satu dengan yang lainnya.
G. Sistematika Penulisan
Pembahasa dalam penelitian ini menggunakan sistem poin per poin. Antara
satu poin dengan yang lain merupakan kesinambungan dan saling terkait. Poin
pertama bersi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, yang mana dalam
latar belakang ini dipaparkan perkara yang melatar belakangi masalah ini.
Poin yang ke-dua diisi dengan rumusan masalah. Ke-tiga diisi dengan
tujuan dan mangfaat, dalam poin ketiga ini telah dijelaskan isinyanya dari poin
ini secara singkat. Ke-empat diisi tentang tinjuan pustaka yang mana di dalam
poin ini menjelaskan pendapat dari sumber yang ahli dalam penelitian ini.
Ke-lima diisi dengan kerangka teori yang berisi tentang istilah istlah dari
penelitian ini, baik secara bahasa maupun secara istilah. Ke-enam berisi
tentang metode penelitian yang mana menerangkan tentang tata cara penelian dan
metode-metode yang digunakan dalam penelitian.
[2] Istilah
tersebut adalah khifad, izâr, sunat, sirkumsisi, dan tetes. Lihat Jad
al-Haq Ali Jad al-Haq, “khitan” dalam majalah al-Azhar, edisi Jumadil Ula,
1415 H.,. hlm.7. Lihat juga waharjani, “Khitan dalam tradisi jawa”
dalam jurnal Profetika UMS II, vol 2, Juli 2000, hlm. 205.
[3] Ahmad
Ramali, peraturan peraturan untuk memelihara kesehatan dalam hukum syara’
islam (jakarta: balai pustaka, 1956), hlm. 342-344.
[4] Tradisi
khitan perempuan dapat ditemukan di negar-negara lain seperna di ungkap oleh
Mahmoud Karim, Female genital Multlation Circumcision (ilusrated) social,
religious, sexual and Legal Aspect (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1995), hlm.
37-38.
[5] Sebagai
upaya pengembiran perempuan karena pada awalnya di jadikan ajang untuk
mengendalikan para perempuan. Lihat Nawal El-Saadawi, perempuan dalam budaya
patriarkhi terj. Zulhimiyasri (yogyakarta: pustaka pelajar, 2001), hlm. 62.
[6] Ekram
Husein Attamimi, “Sentuh Bagian Muka saja”Tempo XXI, 3 Oktober 1992,
hlm. 62.
[7] Munawar Ahmad
Anees, Islam dan masa depan biologis umat manusia, Etika, Jender,
Teknologi terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 65-66.
[8] Khitan
dianggap sebagai simbol pengorbanan Perjanjian Tuhan dengan bangsa Yahudi. Ibid.,
hlm. 63-64.
[9] Ibid.,
hlm. 65.
[10] Pada
dasarnya penggunaan dasar hukum Syar’u man qablana masih terdapat
perbedaan diantara kalangan Ulama’. Lihat Abdul Wahab Khallaf, IIm Ushul
al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Qalam, 1978), hlm. 93-94.
[11] Lihat Abu
Dawud 4587 CD Mawsuat al-Hadits al-Syarif.
[12] M.
Syuhudi, Hadits Nabi Menurut pembela, pengingkar dan pemalsuanya (Cet.
1; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 92-108.
[13] Lihat
M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadits Nabi (cet. I; Jakarta: bulan
Bintang, 1992), hlm. 7-21, Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan
Sanad Hadits: Telaah Kritik dan Tinjuan dengan pendekatan Ilmu Sejarah
(cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995,) hlm.85-118.
[14] Istilah
tersebut tidak hanya punya satu arti melainkan beberapa arti, seperti
memperdayai,menipu dan waniita yang baik-baik. Lihat M. Warson munawwir, kamus
Arab Indonesia al-Munawwir (yokyakarta: krapyak,1995),hal.349.
[15] Lihat
Jad al-Haq Ali Jad al-Haq,” al-khitan”, hal .7.
[16] Lihat
John M. Echols dan Hassan Shadili, kamus Inggris Indonesia (jakarta:
gramedia,1995),hal.114.
[17] Lihat Damra
jaki Supanjar, Alat Kelamin itu Sakral Dalam Amanah no 220 thn VIII, 1995,hal 22-23.
[18] Lihat
dalam Harmful Teraditional Practice Afeting the Healt of Women and Childrten Adapted by General
Assembly resolution 1979,hal 93.
[19] Ahmad
Ramali, peraturan-peraturan untuk memelihara dalam hukum syara’ Islam
(Jakarta balai pustaka, 1956),hal 93.
[20] Abd
al-Salam al-Syuakri, khitan al-Zakar wa Khifad al-Unsa min Manzu Islami (Mesir:
Dar al-Misriyah, 1989),hal: 10.
[21] Lihat
al-Syaukani, Nail al-Autâr, juz 1 (Baerut: Dar al_jail, t,th), hlm. 37.
[22] Lihat
Ibrahim Muhammad al-Jalal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Baerut: Dar Nahr
al-Nil, t.th.) hlm.43.
[23]
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik
(Jakarta: Rineka Cipta, 2006) hln: 11.