Kamis, 05 Februari 2015

Khitan Untuk Wanita...?



KHITAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan Am Asroh
A.    Latar Belakang

      Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya nilai kesetaraan semua manusia dan keseerajatan laki-laki dan perempuan. Karena itu, Islam mengajarkan bahwa kenikmatan seksual merupakan hak bagi perempuan dan laki laki, hak kedua belah pihak, istri dan suami. Secara tegas Al-Qur’an mengilustrasikan istri dan suami seperti pakaian satu sama lain, keduanya harus saling melengkapi dan saling mengisi. Bagi keduanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menjadikan cinta dan kasih sayang yang tak bertepi.[1]
      Sebagaimana tradisi khitan[2]telah ditemukan jauh sebelum Islam datang. Berdasarkan penelitian etnolog menunjukkan bahwa khitan sudah pernah dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya. Suku semit ( Yahudi dan Arab ) dan Hamit.[3] Mereka yang di khitan tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, khususnya kebanyakan dilakukan suku negro di Afrika Selatan dan Timur.[4] Dengan demikian, khitan merupakan suatu yang lazim dilaksanakan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Khitan bagi laki-laki dirasakan banyak mangfaatnya. Namun, tidak demikian terhadap perempuan. Khitan atas perempuan menyisakan kepedihan karena merugikan perempuan.[5] Bahkan, menurut kepala rumah sakit Islam Yordania menghukuminya haram.[6]
      Lahirnya kebiasaan tersebut di duga sebagai imbas atas kebudayaan totemisme. Dalam kata lain, menurut Munawar Ahmad Anees, tradisi khitan di dalamnya terdapat perpaduan antara mitologi dan keyakinan agama.[7]Apa yang dikatakan Anees diatas ada benarnya, walaupun dalam ritus agama Yahudi, khitan bukan merupakan ajaran namun kebanyakan masyarakat mempraktekanya.[8]hal senada juga sama dengan terjadi di masyarakat Kristen.[9]
      Sedangkan di dalam Islam, dalam tekt ajaran islam tidak secara tegas menyinggung khitan masalah ini. Sebagaimana di sebut dalam Q.S. an-Nahl (16): 123-124, Umat Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Agar mengikuti Nabi Ibrahim sebagai bapaknya Nabi,termasuk didalamnya adalah tradisi khitan. Dalam perspektif ushul fiqh hal tersebut dikenal dengan istilah Syar’u man qablana.[10]
      Hal tersebut secara tidak langsung muncul anggapan khitan perempuan merupakan suatu keharusan. Karena Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm adalah bapak para Nabi dan agama Islam merupakan agama yang bersumber darinya. Asumsi tersebut juga didukung oleh informasi dari Hadits Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Yang menyebutkan adanya tradisi khitan perempuan di Madinah.
حَدَّ ثَناَ سُلَيْماَنُ بْنُ عَبْدِ الرّحْمَنْ الدّمشقي و عبد الوهاّب بن عبد الرحيم الاْشجعي قال حدثنا مروان حدّثنا محمّد بن حسّان قال عبد الوهاّب الكوفي عن عبد الملك بن عمير عن أمّ عطيّة الأنصاريّة أنّ امرأة كانت تختنىبالمدينة فقال لها النّبيّ صلى الله عليه و سلّم لا تنهكي فإنّ ذلك أحظى للمرأة وأحبّ إلى البعل[11]
Diceritakan dari sulaiman ibn Abd-Rahman al-Dimasyqi dan Abd al-Wahhab ibn Abd al-Rahim al-Asyja’i berkata diceritakan dari Marwan menceritakan kepada Muhammad ibn Hassan berkata Abd al-wahhab al-Kufi dari Abd al_Malik ibn Umair dari Ummi Atiyyah al-Ansari sesungguhnya ada seorang juru khitan perempuan di Madinah, maka Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Bersabda jangan berlebih-lebihan dalam memotong organ kelamin perempuan, sesungguhnya hal tersebut akan lebih memuaskan perempuan dan akan lebih menggairahkan dalam bersetubuh. (H.R. Abu Dawud).
Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa masyarakat Madinah terjadi suatu tradisi khitan perempuan. Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam memberikan wejangan agar kalau mengkhitan jangan terlalu menyakitkan karena hal tersebut bisa mengurangi nikmat seksual. Tidak dijelaskan siapa yang terlibat dalam kegiatan khitan perempuan tersebut baik yang dikhitan ataupun orangnyang mengkhitan.
      Informasi lain didapatkan bahwa khitan merupakan bagian dari fitrah manusia. Sedangkan fitrah yang lain adalah mencukur bulu disekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.
      Diceritakan dari Yahya ibn Qaza’ah, diceritakan dari Ibrahim ibn Saad dari Syaihab dari Said ibn al-Masayyab dari Abu Hurairah Radiyallahuanhu bahwasanya Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam bersabda fitrah itu ada tiga macam yaitu khitan, mencukur bulu disekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kumis dan memotong kuku. (H.R. Ibn Majah)
      Istilah khitan lazim digunakan Fuqaha’ dalam berbagai term, khususnya bila dihubungkan dengan salah satu sebab seseorang diharuskan mandi setelah berhubungan badan. Jika bertemu dua khitan, maka telah wajib mandi. Hal tersebut sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
Diceritakan dari Ali ibn Muhammad al-Tanafasi dan abd al-Rahman ibn Ibrahim al-Damasyqi berkata keduanya dari al-Walid ibn Muslim diceritakan dari al_Auza’i bahwa ia diceritakan dari Abd al-Rahman ibn al-Qasim yang di ceritakan dari al-Qasim ibn Muhammad dario Aisyah Radiyallahuanhu istri Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata jika telah bertemu dua khitan maka sungguh telah wajib mandi, saya melaksanakan demikian dengan Rasuluyllah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam., maka mandilah. (H.R. Ibn Majah)
      Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam menyebutkan bahwa khitan laki-laki merupakan sunnah sedangkan perempuan dianggap sebagai suatu kehormatan. Sebagaimana terdapat dalam H.R Ahmad No. 19794 di bawah ini:
Diceritakan dari Suraij diceritakan dari Abbad yakni Ibn al-Awwam dari al-Hajjaj dari Abi al-Malih ibn Usamah dari Ayahnya sesungguhnya Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam bersabda khitan itu sunnat bagi laki-laki dan bagi perempuan merupakan suatu kemuliaan. (H.R. Ahmad)
      Berdasarkan informasi  hadits diatas, maka perlu untuk mengadakan penelitian secara jauh tentang keberadaan hadits-hadits tentang khitan. Sebagaimana diketahui, bahwa hadits telah disepakati Ulama’ sebagai dalil hukum. Sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an, hadits memiliki perbedaan dengan al-Qur’an. Salah satu perbedaanya adalah letak dari periwayatannya. Al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir sedangkan tidak semua hadits diriwayatkan secara mutawatir.[12]kecuali terhadap hadits mutawatir, terhadap hadits ahad kritik tidak juga diajukan kepada sanad tetapi juga terhadap matan. Disamping itu, dalam perspektif historis terungkap bahwa tidak seluruh hadits tertulis di zaman Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam ., adanya pemalsuan hadits disebabkan adanya perbedaan mazhab dan aliran, proses penghimpunan hadits yang memakan waktu yang lama, jumlah kitab hadits dan metode penyusunan yang beragam serta adanya periwayatan bil al-ma’na. Sebab-sebab itulah yang mendorong pentingnya melakukan penelitiitian hadits ini.[13]
      Oleh karna itu, hadits-hadits tentang khitan perlu diadakan penelitian baik dari segi sanad maupun dari mantanya melalui kritik hadits yang ada. Agar penelitiaan ini mendalam dan menyeluruh, maka objek kajian dilakukan dalam enam kitab hadits yang dikenal dengan kutub al-sittah. Dari upaya diatas, akan didapatkan mana hadits yang dapat dijadikan hujjah dan mana hadits yang tidak boleh dijadikan hujjah. Setelah itu, dilakukan analisis tentang ada tidak khitan dalam Islam menenai hadits tersebut dan dalil-dalil lain yang didukung dengan data kedokteran dan psikolog dari masyarakat, upaya pemahaman hadits dalam kontek kekinian. Pemahaman tersebut diperlukan karena keberadaan khitan perempuan bukan merupakan suatu yang memebawa kemaslahatan bagi perempuan melainkan membawa kesengsaraan. Terutama, jika khitan tersebut dijadikan ajang sebagai pengebiran hasrat seksual perempuan. Hal inilah yang menyalahi kodrat manusia yang diberi oleh Tuhannya mempunyai naluri seksual.
B.     Rumusan Masalah
      Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan sebelumnya maka akan diajukan problem research atau rumusan masalah, yaitu:
1.      Apa mangfaat dari khitan itu...?
2.      Mengapa khitan itu di perbolehkan...?
3.      Adakah hadits yang mutawatir yang memperbolehkannya wanita khitan...?
C.    Tujuan dan Mangfaat
1.      Tujuan
            Peneliti ini memiliki beberapa tujuan:
a.       Untuk mengungkap kebenaran diperbolehkanya khitan bagi wanita.
b.      Untuk membuktikan bahwa Islam itu cinta kebersihan.
2.      Mangfaat
            Mangfaat penelitian ini secara umum adalah agar para wanita(yang belum tahu) tahu akan adanya khitan bagi mereka.
D.    Tinjuan Pustaka
      Kajian mengenai khitan bagi perempuan ini banyak persoalan yang sering di lontarkan pada guru-guru kita salah satu guru kita yaitu al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc, beliau pernah ditanya mengenai hukum ini dan beliau menjawab dengan jelas dan detil. Pertanyaan itu ialah Bagaimana hukum sunat bagi perempuan menurut hukum Islam? Dan ini jawaban beliau “Khitan bagi wanita juga disyariatkan sebagaimana halnya bagi pria. Memang, masih sering muncul kontroversi seputar khitan bagi wanita, baik di dalam maupun di luar negeri. Perbedaan dan perdebatan tersebut terjadi karena berbagai alasan dan sudut pandang yang berbeda. Yang kontra bisa jadi karena kurangnya informasi tentang ajaran Islam, kesalahan penggambaran tentang khitan yang syar’I bagi wanita, dan mungkin juga memang sudah antipati terhadap Islam. Lepas dari kontroversi tersebut, selaku seorang muslim, kita punya patokan dalam menyikapi segala perselisihan, yaitu dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Setelah kita kembalikan kepada Allah  Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, serta telah jelas apa yang diajarkan oleh Allah  Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, kewajiban kita adalah menerima ajaran tersebut sepenuhnya dan tunduk sepenuhnya dengan senang hati tanpa rasa berat. Allah  Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orangorang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orangorang yang beruntung. (an-Nur: 51)
Tentang sunat bagi wanita, tidak diperselisihkan tentang disyariatkannya. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah hukumnya hanya sunnah atau sampai kepada derajat wajib. Pendapat yang kuat (rajih) adalah wajib dengan dasar bahwa ini adalah ajaran para nabi sebagaimana dalam hadits,
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ -أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ، وَا سْالِْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Fitrah ada lima—atau lima hal termasuk fitrah—: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, menggunting kuku, dan menggunting kumis.” (Sahih, HR. al- Bukhari dan Muslim)
Fitrah dalam hadits ini ditafsirkan oleh ulama sebagai tuntunan para nabi, tentu saja termasuk Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, dan kita diperintah untuk mengikuti ajarannya. Allah  Subhanahu wata’ala berfirman,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif.” (an-Nahl: 123)
Alasan yang kedua, ini adalah pembeda antara muslim dan kafir (nonmuslim). Pembahasan ini dapat dilihat lebih luas dalam kitab Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim rahimahullah dan Tamamul Minnah karya asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.
Dari masalah lain, kali ini pertanyaan yang diajukan kepada al-Lajnah ad-Daimah. Pertanyaan: Kami wanita-wanita muslimah dari Somalia. Kami tinggal di Kanada dan sangat tertekan dengan adat dan tradisi yang diterapkan kepada kami, yaitu khitan firauni, yang pengkhitan memotong klitoris seluruhnya, dengan sebagian bibir dalam kemaluan dan sebagian besar bibir luar kemaluan. Itu bermakna menghilangkan organ keturunan yang tampak pada wanita, yang berakibat memperjelek vagina secara total. Setelahnya lubang dijahit total, yang diistilahkan dengan ar-ratq, yang mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa bagi wanita saat malam pernikahan dan saat melahirkan. Bahkan karena hal itu, tidak jarang sampai mereka memerlukan operasi. Selain itu, hal ini juga mengakibatkan seksualitas yang dingin dan menyebabkan berbagai macam kasus medis, seorang wanita kehilangan kehidupan, kesehatan, atau kemampuannya berketurunan. Saya akan melampirkan sebagian hasil studi secara medis yang menerangkan hal itu. Kami ingin mengetahui hukum syar’i tentang perbuatan ini. Sungguh, fatwa Anda semua terkait dengan masalah ini menjadi keselamatan banyak wanita muslimah di banyak negeri. Semoga Allah  Subhanahu wata’ala memberikan taufik kepada Anda semua dan memberikan kebaikan. Semoga Allah Subhanahu wata’ala menjadikan Anda sekalian simpanan kebaikan bagi muslimin dan muslimat.
Dan beliau menjawab pertanyaan ini “Apabila kenyataannya seperti yang disebutkan, khitan model seperti yang disebutkan dalam pertanyaan tidak diperbolehkan karena mengandung mudarat yang sangat besar terhadap seorang wanita. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَ ضِرَارَ
“Tidak boleh memberikan mudarat.
Khitan yang disyariatkan adalah dipotongnya sebagian kulit yang berada di atas tempat senggama. Itu pun dipotong sedikit, tidak seluruhnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada pengkhitan, “Apabila kamu mengkhitan, potonglah sedikit saja dan jangan kamu habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih menyenangkan suami.” (HR. al-Hakim, ath-Thabarani, dan selain keduanya) Allah  Subhanahu wata’ala lah yang memberi taufik. Semoga Allah l memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya. (Tertanda: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz [Ketua], Abdul Aziz Alu Syaikh [Wakil Ketua], Abdullah Ghudayyan [Anggota], Shalih al-Fauzan [Anggota], dan Bakr Abu Zaid [Anggota] fatwa no. 20118)
Dalam pandangan ulama Islam dari berbagai mazhab, yang dipotong ketika wanita dikhitan adalah kulit yang menutupi kelentit yang berbentuk semacam huruf V yang terbalik. Dalam bahasa Arab bagian ini disebut qulfah dan dalam bahasa Inggris disebut prepuce. Bagian ini berfungsi menutupi klitoris atau kelentit pada organ wanita, fungsinya persis seperti kulup pada organ pria yang juga dipotong dalam khitan pria. Khitan wanita dengan cara semacam itu mungkin bisa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan prepucectomy. Berikut ini kami nukilkan beberapa penjelasan para ahli fikih.
• Ibnu ash-Shabbagh rahimahullah mengatakan, “Yang wajib atas seorang pria adalah dipotong kulit yang menutupi kepala kemaluan sehingga terbuka semua. Adapun wanita, dia memiliki selaput (kulit lembut yang menutupi klitoris, -pen.) semacam jengger ayam yang terletak di bagian teratas kemaluannya dan berada di antara dua bibir kemaluannya. Itu dipotong dan pokoknya (klitorisnya) yang seperti biji kurma ditinggal (tidak dipotong).”
• Al-Mawardi rahimahullah berkata, “Khitan wanita adalah dengan memotong kulit lembut pada vagina yang berada di atas tempat masuknya penis dan di atas tempat keluarnya air kencing, yang menutupi (kelentit) yang seperti biji kurma. Yang dipotong adalah kulit tipis yang menutupinya, bukan bijinya.”
• Dalam kitab Hasyiyah ar-Raudhul Murbi’ disebutkan, “Di atas tempat keluarnya kencing ada kulit yang lembut semacam pucuk daun, berada di antara dua bibir kemaluan, dan dua bibir tersebut meliputi seluruh kemaluan. Kulit tipis tersebut dipotong saat khitan. Itulah khitan wanita.”
• Al-‘Iraqi rahimahullah mengatakan, “Khitan adalah dipotongnya kulup yang menutupi kepala penis seorang pria. Pada wanita, yang dipotong adalah kulit tipis di bagian atas vagina.” Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah kiranya seperti apa khitan yang syar’I bagi wanita.
Namun, ada pendapat lain dari kalangan ulama masa kini, di antaranya asy-Syaikh al-Albani, yaitu yang dipotong adalah klitoris itu sendiri, bukan kulit lembut yang menutupinya, kulup, atau prepuce. Sebelum ini, penulis pun cenderung kepada pendapat ini. Tetapi, tampaknya pendapat ini lemah, dengan membandingkan dengan ucapan-ucapan ulama di atas. Namun, pemilik pendapat ini pun tidak mengharuskan semua wanita dikhitan, karena tidak setiap wanita tumbuh klitorisnya. Beliau hanya mewajibkan khitan yang demikian pada wanita-wanita yang kelentitnya tumbuh memanjang. Ini biasa terjadi di daerahdaerah yang bersuhu sangat panas, semacam Sa’id Mesir (Epper Egypt), Sudan, dan lain-lain. Banyak wanita di daerah tersebut memiliki kelentit yang tumbuh, bahkan sebagian mereka tumbuhnya pesat hingga sulit melakukan ‘hubungan’. (Rawai’uth Thib al-Islami, 1/109, program Syamilah)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah khitan yang tidak syar’i, yaitu khitan firauni, khitan menurut pendapat yang lemah, dan khitan syar’i sebagaimana penjelasan ulama di atas. Oleh karena itu, tiada celah bagi siapa pun untuk mengingkari khitan yang syar’i, karena khitan yang syar’I bagi wanita sejatinya sama dengan khitan bagi pria. Tidak ada kerugian sama sekali bagi yang bersangkutan. Bahkan, wanita tersebut akan mendapatkan berbagai maslahat karena banyaknya hikmah yang terkandung. Di antaranya, dikhitan akan lebih bersih karena kotoran di sekitar kelentit akan mudah dibersihkan, persis dengan hikmah khitan pada kaum pria. Bahkan, khitan akan sangat membantu wanita dalam hubungannya dengan suaminya, karena dia akan lebih mudah terangsang dan mencapai puncak yang dia harapkan. Hikmah yang paling utama adalah kita bisa melaksanakan tuntunan para nabi  dan beribadah kepada Allah  Subhanahu wata’ala dengan melaksanakannya.
Yang aneh, orang-orang yang anti- Islam di satu sisi mendiskreditkan Islam dengan alasan khitan wanita, padahal khitan ini juga dilakukan di negeri nonmuslim, walau tidak dengan nama khitan. Bahkan, tindakan ini menjadi pengobatan atau solusi bagi wanita yang kesulitan mencapai orgasme, dan solusi ini berhasil. Pada 1958, Dr. McDonald meluncurkan sebuah makalah di majalah General Practitioner yang menyebutkan bahwa dia melakukan operasi ringan untuk melebarkan kulup wanita pada 40 orang wanita, baik dewasa maupun anak-anak, karena besarnya kulup mereka dan menempel dengan klitoris. Operasi ringan ini bertujuan agar klitoris terbuka dengan cara menyingkirkan kulup tanpa menghabiskannya. Dr. McDonald menyebutkan bahwa dirinya dibanjiri ucapan terima kasih oleh wanita-wanita dewasa tersebut setelah operasi. Sebab, menurut mereka, mereka bisa merasakan kepuasan dalam hubungan biologis pertama kali dalam kehidupannya.
Seorang dokter ahli operasi kecantikan di New York ditanya tentang cara mengurangi kulup klitoris dan apakah hal itu operasi yang aman. Dia menjawab, caranya adalah menghilangkan kulit yang menutupi klitoris. Kulit ini terdapat di atas klitoris, menyerupai bentuk huruf V yang terbalik. Terkadang kulit ini kecil/sempit, ada pula yang panjang hingga menutupi klitoris. Akibatnya, kepekaan pada wilayah ini berkurang sehingga mengurangi kepuasan seksual. Sesungguhnya memotong kulit ini berarti mengurangi penutup klitoris. David Haldane pernah melakukan wawancara—yang kemudian diterbitkan di majalah Forum UK di Inggris—dengan beberapa ahli spesialis yang melakukan penelitian tentang pemotongan kulup pada vagina. Di antara hasil wawancara tersebut sebagaimana berikut ini.
David Haldane melakukan wawancara dengan dr. Irene Anderson, yang menjadi sangat bersemangat dalam hal ini setelah mencobanya secara pribadi. Operasi ini dilakukan terhadapnya pada 1991 sebagai pengobatan atas kelemahan seksualnya. Ia mendapatkan hasil yang luar biasa sebagaimana penuturannya. Ia kemudian mempraktikkannya pada sekitar seratus orang wanita dengan kasus yang sama (kelemahan seksual). Semua menyatakan puas dengan hasilnya, kecuali tiga orang saja. (Khitanul Inats) Sungguh benar sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para pengkhitan wanita saat itu,
إِذَا خَفَضْتِ فَأَشِمِّي وَلاَ تَنْهَكِي، فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ وَأَحْظَى لِلزَّوْجِ
“Apabila engkau mengkhitan, potonglah sedikit saja dan jangan engkau habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih menguntungkan suami.” (HR. ath-Thabarani, dll. Lihat ash- Shahihah no. 722)
Sungguh, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ini termasuk mukjizat yang nyata. Selaku seorang muslim, kita jelas meyakininya. Ringkas kata, orang-orang kafir pun mengakui kebenarannya. Selanjutnya kami merasa perlu menerangkan langkah-langkah pelaksanaan khitan wanita karena informasi tentang hal ini sangat minim di masyarakat kita, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada penjelasan yang mendetail. Yang ada hanya bersifatnya global, padahal informasi ini sangat urgen. Sebetulnya, rasanya tabu untuk menjelaskan di forum umum semacam ini. Namun, ini adalah syariat yang harus diketahui dengan benar, dan “Sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran.” Kami menyadari bahwa kekurangan informasi dalam hal ini bisa berefek negatif yang luar biasa:
1. Anggapan yang negatif tehadap syariat Islam.
2. Bagi yang sudah menerima Islam dan ajarannya, lalu ingin mempraktikkannya, bisa jadi salah praktik (malapraktik), akhirnya sunnah ini tidak terlaksana dengan benar. Bahkan, bisa jadi terjerumus ke dalam praktik khitan firauni yang kita sebut di atas sehingga terjadilah kezaliman terhadap wanita yang bersangkutan, dan mungkin kepada orang lain.
E. Kerangka Teori
         Istilah khitan merupakan istilah yang lazim dipakai dalam masyarakat atas peristiwa atau prosesi pemotongan sebagian organ kelamin  laki-laki dan perempuan. Istilah ini kita sendiri berasal dari bahasa arab secara etimologis, yang berarti memotong.[14] Sedangkan secara istilah khitan adalah suatu pemotongan di bagian tertentu atas alat kelamin laki-laki atau perempuan.
Istilah-istilah lain yang sering disandarkan pada khitan adalah khifad dan ‘izâr. Terdapat perbedaan atas penggunaan kedua istilah tersebut adalah. Istilah pertama khifad diperuntukkan untuk perempuan sedangkan  ‘izâr diperuntukkaan khitan perempuan,melainkan khitan bagi laki-laki.[15]secara kebahasaan istilad khifad dapat diartikan dengan menurunkan atau merendahkan maka tersebut dapat diasumsikan bahwa tujuan khitan perempuan adalah adanya penjagaan atas diri keperawanan perempuan sampai masa pernikahannya.
Di dalam dunia medis, istilah khitan tidak di temukan. Khitan indetik dengan sirkumsisi.[16] Demikan juga dimasyarakat jawa istilah khitan lebih dikenal dengan tetes (netes) yang berarti menjelma atau menyamai.[17] Istilah yang lazim digunakan di Sudan dan Mesir adalah khitan ala Fir’aun yang di adopsi dengan khitan yang ada pada masa pemerintahan Ramses[18]. Istilah lain yang sering kali ditenukan di berbagai buku saat ini adalah Female Genital Mutlation atau female circumsision yang keduanya merujuk pada arti menghilangkan organ kelamin perempuan[19].
Pengertiam khitan dapat diperoleh dalam gambaran pendapat-pendapat Ulama’ seperti Abd al-Salam al-Syuakri yang dimaksud khitan laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala penis sehingga tersingkap semuanya, sedangkan khitan perempuan adalah memotong bagian terbawah kulit terletak persis di vagina.[20]
      Sedangkan khitan perempuan dalam pandangan menurut Imam Mawardi adalah memotong kulit yang berada diatas kemaluan perempuan yang berada ditempat masuknya penis dan bentuknya menyerupai biji-bijian atau jengger ayam.[21]pemikiran senada juga diungkapkan pemikir lainya seperti Ibrahim Muhammad Jalal.[22]Lebih lanjut al-mawardi mengemukan tentang batasan yang harus dipotong alam khitan perempuan yaitu paling tidak adalah bagian kulit yang menggelembir tanpa melenyapkan pada akar-akarnya.
      Setelah melihat berbagai pandangan tentang istilah khitan dan berbagai pendapat Ulama’ da atas, maka pada bagian yang lain dilaksanakan penelusuran secara komperehensif masalah khitan sebagaimana yang tergambar dalam hadits yang sedang dilakukan penelitian. Oleh karena itu, upaya ini berupaya memahami pesan yang dibawa oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Dalam konteksnya pada masa dulu dengan tanpa memberikan interpretasi lain kecuali secara historis dan sosiologisnya. Karena kedua hal tersebut merupakan suatu yang lazim dijadikan pedoman dalam menyusun suatu hukum.
     Hadits tentang khitan sebagaimana yang telah dilakukan penelitian pada bab sebelumnya terdapat empat tema pokok yang menjadi teks bahasan hadits. Keempat pokok bahasan hadits tentang khitan perempuan adalah:
1.      Gambaran atas tradisi khitan perempuan pada masa Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
2.      Khitan merupakan bagian dari fitrah (kesucian).
3.      Wajibnya mandi karna bertemunya jinabat karena bertemunya khitan.
4.      Kemuliaan khitan perempuan dan khitan laki-lakisebagai suatu yang dianjurkan.

      Hadits yang pertama dan keempat adalah Dhoif, maka dengan sendirinya tidak dapat diamalkan. Untuk kedua hadits yang dijadikan penelitian tidak menunjuk pada khitan perempuan semata. Istilah yang digunakan dalam hadits tersebut masih umum yakni khitakna khitan tersebut paralel dengan sebagian fitrah yang lain yakni memotong bulu kemaluan, memotong kuku, memotong bulu ketiak. Melihat istilah yang digunakan tersebut, maka khitan dalam arti ini masih berlaku umum tidak hanya ditujukan atas khitan perempuan saja melainkan juga terhadap laki-laki. Tujuan khitan dalam arti ini dan keempat istilah lainya adalah membersihkan badan dari kuman penyakit. Benih-benih penyakit akan cepat tumbuh jika dalam badan yang sering kali menjadi sumber-sumber penyakit tidak dibersihkan.
      Adapun Hadits yang ketiga ialah prototipe adanya khitan baik laki-laki mapun perempuan. Namun, gambaran yang terdapat dalam hadits Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam tersebut tidak serta merta menunjukan tentang adanya khitan perempuan. Mungkin dalam hal ini secara umum yang lazim digunakan dalam masyarakat adalah khitan, maka dengan demikian istilah bersetubuh juga dimaknai dengan bertemunya atas dua khitan kendati si perempuan tidak melakukan khitan.
F.     Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
      Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian kepustakaan (library resaseach)[23]. Adapun objek penelitian ini adalah al-Hadits dan al-Qur’an yang berkaitan dengan penelitian ini.
2.      Sumber
      Karena penelitian ini library resaseach maka data-data akan diperoleh dari sumber-sumber literer. Yakni data dari sumber-sumber tertulis dari al-Hadits dan al-Qur’an dan buku-buku tentang penelitian ini. Namun disamping itu juga diadakan wawancara pada guru-guru yang pernah mempelajari lebih mendalam dalam hal ini. Wawancara digunakan untuk data tambahan dari data yang belum lengkap.
      Sumber data di sini dibagi menjadi dua yakni sumber primer dan sumber sekunder:
1.      Sumber data primer
                  Sumber data primer di peroleh dari al-Hadits dan al-Qur’an.
2.      Sumber data Sekunder
      Sumber data sekunder adalah sumber data lain yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Dalam hal ini berupa buku-buku maupun kajian yang membahas tentang hal ini.
3.      Teknik Pengumpulan Data
      Dalam penelitian ini, langkah awal yang digunakan adalah sumber dari primer dan sekunder. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data-data penunjang yang berkaitan dengan pembahasan.
4.      Analisis Data
      Dalam melakukan analisis ini penulis menggunakan metode analisi komprehensif. Dalam analisis data komprehensif data yang ada akan dianalisis secara menyeluruh. Maka kaitan antara tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan juga ideologi dengan hasil penafsiran yang digunakan penulis adalah anggapan saling mempengaruhi, bukan terpisan satu dengan yang lainnya.
G.    Sistematika Penulisan
      Pembahasa dalam penelitian ini menggunakan sistem poin per poin. Antara satu poin dengan yang lain merupakan kesinambungan dan saling terkait. Poin pertama bersi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, yang mana dalam latar belakang ini dipaparkan perkara yang melatar belakangi masalah ini.
      Poin yang ke-dua diisi dengan rumusan masalah. Ke-tiga diisi dengan tujuan dan mangfaat, dalam poin ketiga ini telah dijelaskan isinyanya dari poin ini secara singkat. Ke-empat diisi tentang tinjuan pustaka yang mana di dalam poin ini menjelaskan pendapat dari sumber yang ahli dalam penelitian ini. Ke-lima diisi dengan kerangka teori yang berisi tentang istilah istlah dari penelitian ini, baik secara bahasa maupun secara istilah. Ke-enam berisi tentang metode penelitian yang mana menerangkan tentang tata cara penelian dan metode-metode yang digunakan dalam penelitian.






[1] Lihat Alquran surah al-Baqarah, 2:187 dan ar-Ruum, 30:21.
[2] Istilah tersebut adalah khifad, izâr, sunat, sirkumsisi, dan tetes. Lihat Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, “khitan” dalam majalah al-Azhar, edisi Jumadil Ula, 1415 H.,. hlm.7. Lihat juga waharjani, “Khitan dalam tradisi jawa” dalam jurnal Profetika UMS II, vol 2, Juli 2000, hlm. 205.
[3] Ahmad Ramali, peraturan peraturan untuk memelihara kesehatan dalam hukum syara’ islam (jakarta: balai pustaka, 1956), hlm. 342-344.
[4] Tradisi khitan perempuan dapat ditemukan di negar-negara lain seperna di ungkap oleh Mahmoud Karim, Female genital Multlation Circumcision (ilusrated) social, religious, sexual and Legal Aspect (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1995), hlm. 37-38.
[5] Sebagai upaya pengembiran perempuan karena pada awalnya di jadikan ajang untuk mengendalikan para perempuan. Lihat Nawal El-Saadawi, perempuan dalam budaya patriarkhi terj. Zulhimiyasri (yogyakarta: pustaka pelajar, 2001), hlm. 62.
[6] Ekram Husein Attamimi, “Sentuh Bagian Muka saja”Tempo XXI, 3 Oktober 1992, hlm. 62.
[7] Munawar Ahmad Anees, Islam dan masa depan biologis umat manusia, Etika, Jender, Teknologi terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 65-66.
[8] Khitan dianggap sebagai simbol pengorbanan Perjanjian Tuhan dengan bangsa Yahudi. Ibid., hlm. 63-64.
[9] Ibid., hlm. 65.
[10] Pada dasarnya penggunaan dasar hukum Syar’u man qablana masih terdapat perbedaan diantara kalangan Ulama’. Lihat Abdul Wahab Khallaf, IIm Ushul al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Qalam, 1978), hlm. 93-94.
[11] Lihat Abu Dawud 4587 CD Mawsuat al-Hadits al-Syarif.
[12] M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut pembela, pengingkar dan pemalsuanya (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 92-108.
[13] Lihat M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadits Nabi (cet. I; Jakarta: bulan Bintang, 1992), hlm. 7-21, Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritik dan Tinjuan dengan pendekatan Ilmu Sejarah (cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1995,) hlm.85-118.
[14] Istilah tersebut tidak hanya punya satu arti melainkan beberapa arti, seperti memperdayai,menipu dan waniita yang baik-baik. Lihat M. Warson munawwir, kamus Arab Indonesia al-Munawwir (yokyakarta: krapyak,1995),hal.349.
[15] Lihat Jad al-Haq Ali Jad al-Haq,” al-khitan”, hal .7.
[16] Lihat John M. Echols dan Hassan Shadili, kamus Inggris Indonesia (jakarta: gramedia,1995),hal.114.
[17] Lihat Damra jaki Supanjar, Alat Kelamin itu Sakral Dalam Amanah  no 220 thn VIII, 1995,hal 22-23.
[18] Lihat dalam Harmful Teraditional Practice Afeting the Healt  of Women and Childrten Adapted by General Assembly resolution 1979,hal 93.
[19] Ahmad Ramali, peraturan-peraturan untuk memelihara dalam hukum syara’ Islam (Jakarta balai pustaka, 1956),hal 93.
[20] Abd al-Salam al-Syuakri, khitan al-Zakar wa Khifad al-Unsa min Manzu Islami (Mesir: Dar al-Misriyah, 1989),hal: 10.
[21] Lihat al-Syaukani, Nail al-Autâr, juz 1 (Baerut: Dar al_jail, t,th), hlm. 37.
[22] Lihat Ibrahim Muhammad al-Jalal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Baerut: Dar Nahr al-Nil, t.th.) hlm.43.
[23] Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2006) hln: 11.