I.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
karakter merupakan sebuah pendidikan yang sangat di galakan baru-baru ini baik
di dalam sebuah lembaga pesantren maupun lembaga pendidikan luar pesantren, hal
ini di karenakan budi pekerti yang baik yang berkembang di Indonesia. Lambat
laun semakin terkikis dengan adanya perkembangan kemajuan zaman baik dalam
bidak teknologi, dengan adanya alat-alat elektronik dan dengan masuknya
budaya-budaya yang kurang baik dari Negara tetangga.
Al Qur’an merupakan kitab yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
turunkan kepada Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam dengan
perantaraan malaikat Jibril merupakan suatu petunjuk bagi semua umat manusia,
baik petunjuk dalam masalah urusan dunia, urusan agama, dan masalah urusan
bergaul dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan keluarga, orang tua, dan
masyarakat luas. Oleh karenanya dalam ayat-ayat al-Qur’anpun terdapat sebuah
nilai pendidikan karakter yang perlu di pelajari oleh seluruh manusia pada
umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Dalam makalah ini akan di jelaskan tentang kandungan sebuah ayat
alqur’an tentang perintah berbuat baik kepada orang tua dan larangan berbicara
kasar terhadap keduanya.
A.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu Birrul Wallida’in...???
2.
Bagaimana cara kita Birrul Wallida’in...???
3.
Pentingkah bagi kehidupan bermasyarakat...???
4.
Apa hukum birrul walida’in...???
B.
Tujuan Penelitian
1.
Menjelaskan secara lengkap tentang tafsiran ayat-ayat yang
berhubungan denagn birrul walida’in dalam perspektif al-Qur’an.
2.
Menjelaskan secara tersusun tentang birrul walida’in, pentingnya
bagi kehidupan manusia sehingga terciptanya keseimbangan sosial.
3.
Menjelaskan tentang
pengolahan sikap terhadap kehidupan bermasyarakat.
C.
Signifikansi Penelitian
Secara ilmiah
penelitian berguna untuk, menambah wawasan kita dan referensi tentang
pentingnya memiliki pradigma dan kesadaran birrul walida’in, untuk menjadikan
acuan normatif bagi masyarakat dan kehidupan pribadi, bahwasanya masyarakat
muslim meyakini bahwa al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber.
II.
Pengertian Birrul Walida’in
A.
Pengertian
Birrul
Walidain berasal dari dua kata, birru (yang artinya kebenaran)[1]
dan al-walidain (ayah dan ibu).[2]
Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru
mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul
khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua
orangtua, termasuk kakek dan nenek. Jadi, birrul walidain adalah sikap
dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan
penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk
memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.[3]
B.
Ayat-Ayat tentang Birrul Walida’in
1.
Q.S. Al-Baqarah 83, 180, dan 215.
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لا تَعْبُدُونَ إِلا
اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلا قَلِيلا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani
Israel (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah
kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah
zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil
daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ
خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى
الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Dari ayat atas ini Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
mewajibkan kita untuk berwasiat apabila kedua orangtua atau kerabat kita
meninggal dengan meninngalkan hartanya.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ
فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang
kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
Ayat ini mengisyaratkan kita supaya kita menafafkahi
kedua orantua, apabila beliau berdua tidak lagi mampu mencari nafkah.
Dan asbabul nuzul ayat 215 ini ialah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij bahwa ayat ini turun ketika
sebagian orang-orang mukmin bertanya kepada Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Tentang kepada siapa mereka memberikan sedekah mereka. Maka
turunlah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, “Mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang apa yang harus mereka infaqkan. Katakanlah, harta apa saja yang
kamu infakkan,...”
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Abu Hayyan bahwa Amr bin Jamuh
bertanya kepada Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam “Apa yang kami
sedekahkan dari harta kami dan kepada siapa kami memberikanya?” maka turunlah
firman Allah di atas.[4]
(Lubâbun Nuqûl: 30).[5]
2.
Q.S an-Nisa’ 36
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ
مُخْتَالا فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Intisari dari ayat ini ialah kita diperintahkan berbuat
baik kepada kedua orang tua, terutama sang Ibu.
3.
Q.S an-Na’am 151.
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا
أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami
(nya).
Adapun pesan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
melalui Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam ialah: Rasulullah Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam diperintahkan untuk menerangkan hal-hal yang
ditetapkan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kepada kaumnya, yaitu agar umatnya
tidak mempersekutukan Allah dengan hal-hal selai-Nya, berbuat baik dan
menghormati kedua orang tua, berhenti membunuh anak-anak hanya takut karena
kekurangan harta benda dan kelaparan karna Allah yang menciptakan makhluk-Nya,
tidak mendekati perbuatan keji, baik yang nampak secara nyata maupun yang tidak
tampak, baik secara langsung maupun tidak secara langsung, tidak melakukan
pembunuhan terhadap hamba-hamba Allah, kecuali dengan jalan yang benar, yaitu
jalan hukum yang diridhai Allah.[6]
4.
Q.S Isra’ 23-24.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Dari kedua ayat tersebut Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan
kita agar kita memberikan penjagaan dan pemeliharaan
di hari tua keduanya dan mengucapkan kepada keduanya perkataan yang mulia.
5.
Q.S Al
Ahkaf: 15.
وَوَصَّيْنَا
الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ
كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ
وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ
الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا
تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ
الْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan
supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri".
Dari ayat diatas birrul walidain menjadi sebab
seseorang akan disayang anak-anaknya dan mendapat bakti mereka. Karena, balasan
bagi seseorang sesuai dengan jenis amalnya. Siapa yang berbakti ke orang tua, maka
anak-anaknya kelak akan berbakti kepadanya sebagai balasan atas baktinya
tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
هَلْ جَزَاءُ
الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
(QS. Al-Rahman: 60).
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
بَرُّوا آبَاءَكُمْ
تَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ
“Berbuat baiklah ke orang tua–orang tua kalian, niscaya
anak-anakmu akan berbuat baik kepadamu.” (HR. Al-Thabrani, Al-Hakim, dan Abul
Qasim dalam Fawaidnya. Syaikh Al-Albani mendhaifkannya).
Q.S Al Ankabut: 8.
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ
لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua
orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan.
Dari kedua ayat diatas Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
meberikan wasiat kepada kita agar kita selalu menjaga kedua orangtua kita
terutama ibu yang selama sembilan bulan mengandung kita.
Asbabul nuzul ayat ini ialah hadis yang diriwayatkan oleh At
Tirmidzi, Muslim, dan lainya dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Ummu
Sa’ad (mendengar putranya telah masuk Islam, ia tidak rela jika anaknya setelah
mengikuti agama Muhammad menjadi tidak lagi berbakti kepadanya). Ia berkata,
“Bukankah Allah menyuruh untuk berbakti. Demi Allah aku tidak makan dan tidak
minum sehingga aku mati atau engkau kembali mengikuti Muhammad!” lalu turunlah
ayat ini.(Lubâbun Nuqûl: 151)[7].[8]
6.
Q.S Luqman: 14.
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا
عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ
الْمَصِيرُ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun(selambat lambatnya
menyapih ialah umur dua tahun).[9]
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.
Ayat ini meisyaratkan kita supaya kita bersyukur kepada
Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ dan kepada
kedua orangtua yang mana telah mengandung selama sembilan bulan dan menyepih
selama dua tahun.
7.
Q.S
Ibrahim: 41.
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ
يَقُومُ الْحِسَابُ
Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku
dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)".
Ayat diatas ini merupakan do’a Nabi Ibrahim yang
dipanjatkan kepada Allah agar anak cucunya mendapatkan kesejahteraan dikota
Mekah, dijadikan Mekah dan Tanah Haram sekitarnya menjadi tempat tujuan
berkumpulnya umat manusia yang beriman untuk beribadah, dilimpahkan kepada
penduduknya buah-buahan, makanan serta kemakmuran yang berlimpah, anak cucunya
dijauhkan dari kemusyrikan senantiasa diberikan hidayah untuk mendirikan sholat
dan agar dosa dan kesalahan dirinya serta kedua orang tuanya dan orang-orang
yang beriman sesudahnya mendapat ampunan Allah kelak pada hari pembalasan.
Q.S Nuh: 28.
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ
مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلا
تَبَارًا
Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang
masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan
perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang lalim itu
selain kebinasaan".
Kedua ayat tersebut nengisyaratkan kita untuk
mendo’akan orangtua, mendo’akan kedua
orangtua adalah tradisi para Anbiyah Alayhi
al-Salâm.
Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm dalam do’anya mengucapkan, “Ya Tuhan kami, ampunilah
aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya
hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Begitu juga Nabi Nuh as, dalam
lantunan do’anya, beliau berujar, “. Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan kedua orang
tuaku..” (Qs. Nuh: 28). Dan dari Q.S al-Isra’ 24 juga diterangkan tentang
dianjurkanya mendo’akan kedua orangtua.
C.
Keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan berbakti kepadanya
·
أَحَبُّ
اْلأَعْمَالِ إِلَى اللهِ بَعْدَ الصَّلاَة (amal yang paling dicintai disisi Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ selepas Solat).
(Sebagaimana
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdir Rahman Abdillah Ibni Mas’ud Radiyallahuanhu
“Aku pernah bertanya kepada Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam amal apa
yang paling di cintai disisi Allah ?” Rasulullah bersabda “Solat tepat pada
waktunya”. Kemudian aku tanya lagi “Apa lagi selain itu ?” bersabda Rasulullah
“Berbakti kepada kedua orang tua” Aku tanya lagi “ Apa lagi ?”. Jawab
Rasulullah “Jihad dijalan Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini tidak berarti jika melakukan Solat tepat pada waktu dan jihad fisabilillah
menafikan kewajipan birrul walidain kerana Rasulullah Salla Allah
‘Alaihi wa sallam. Pernah menolak permohonan salah seorang sahabat untuk
jihad fisabilillah kerana masalah hubungan dengan kedua ibu bapanya.
Lantas Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Memerintahkan beliau
segera pulang menyelesaikan permasalahan tersebut dahulu.
·
مُسْتَجَابُ
الدَّعْوَة ِ (doa mereka mustajab)
Di antara
buktinya adalah kisah ulama
besar hadits yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin, Imam Bukhari rahimahullah.
Beliau buta sewaktu kecil lalu ibunya seringkali berdoa agar Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ memulihkan penglihatan beliau. Suatu malam di dalam mimpi, ibunya
melihat Nabi, al-Khalil, Ibrahim ‘alaihis salam yang berkata kepadanya,
‘Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu karena begitu
banyaknya kamu berdoa.”
Pada pagi harinya, ia melihat anaknya dan ternyata benar, Allah
telah mengembalikan penglihatannya.[10] Hal
di atas menunjukkan benarnya sabda Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan manjurnya do’a orang tua pada anaknya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ
دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ
الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang
berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi).[11]
·
سَبَبُ
نُزُوْلِ الرَّحْمَةِ
(sebab turunnya rahmat)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin rezkinya diperluas, dan agar usianya
diperpanjang (dipenuhi berkah), hendaknya ia menjaga tali silaturahim.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
·
Bukan berarti membalas budi karenana jasa mereka tidak mungkin
terbalas.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Seorang anak tidak akan dapat membalas budi baik ayahnya, kecuali
bila ia mendapatkan ayahnya sebagai hamba, lalu dia merdekakan.” (HR. Muslim).
·
Al ummu hiya ahaqu suhbah (prioritas untuk mendapat perlakuan yang lebih dekat dari kedua
orang tua ialah ibu).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu ia berkata, “Datang
seseorang kepada Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. dan berkata,
’Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ? Nabi Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam. menjawab, ’Ibumu! Orang tersebut kembali bertanya,
’Kemudian siapa lagi ? Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. menjawab,
’Ibumu! Ia bertanya lagi, ’Kemudian siapa lagi?’ Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa
sallam. menjawab, ’Ibumu!, Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa
lagi, ’Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. menjawab, Bapakmu ” (HR.
Bukhari dan Muslim).
·
Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Syurga.
Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. bersabda, “Sungguh
kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang sahabat bertanya,
“Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat
berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara
keduanya, saat umur mereka sudah tua, namun tidak dapat membuatnya masuk
Surga.” (HR. Muslim).
·
Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar.
Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah Salla Allah
‘Alaihi wa sallam. bersabda, “Mahukah kalian kuberitahukan dosa besar yang
terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mahu, wahai Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah,
dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda
lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..” Beliau terus meneruskan mengulang
sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (HR
Bukhari dan Muslim).
D.
Hukum Birrul Walidain
Para Ulama’ Islam
sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya
adalah wajib selain terhadap perkara yang haram.
Syari’at Islam meletakkan kewajipan birrul walidain menempati
ranking ke-dua setelah beribadah kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Dengan
mengesakan-Nya. Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) banyak sekali,
diantaranya terdapat tiga ayat yang menunjukkan kewajipan yag khusus untuk
berbuat baik kepada kedua orang tua:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ
وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah kamu
sekutukan Dia dengan sesuatu apa jua dan hendaklah kamu berbuat baik kepada
kedua ibu bapa“. (QS. An Nisa’ : 36).
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah perintahkan, supaya engkau tidak menyembah
melainkan kepadaNya semata-mata dan hendaklah engkau berbuat baik kepada ibu
bapa. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sekali, sampai kepada
umur tua dalam jagaan dan peliharaanmu, maka janganlah engkau berkata kepada
mereka (sebarang perkataan kasar) sekalipun perkataan “Ha” dan janganlah engkau
menengking menyergah mereka, tetapi katakanlah kepada mereka perkataan yang
mulia (yang bersopan santun).“. (QS. Al Isra’: 23).
وَوَصَّيْنَا
الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapanya;
ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari
awal mengandung hingga akhir menyusunya) dan tempoh menceraikan susunya ialah
dalam masa dua tahun; (dengan yang demikian) bersyukurlah kepadaKu dan kepada
kedua ibubapamu; dan (ingatlah), kepada Akulah jua tempat kembali (untuk
menerima balasan).” (QS. Luqman : 14).
Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoinya, “Tiga ayat
dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa
yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ. “bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua ibubapamu“, Berkata beliau.
“Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur
pada kedua ibubapanya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.”[12]
Berkaitan dengan ini, Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
bersabda: “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan
Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua” (HR. Tirmidzi).[13]
Al Mughirah bin Syu’bah (mudah-mudahan Allah meridhainya) meriwayatkan
daripada i Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. beliau bersabda: “Sesungguhnya
Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak
perempuan, dan tidak mahu memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah
membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata
begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak
bermanfaat), dan membuang-buang harta“. (HR Muslim).
Daftar
Pustaka
Al Qur’an
Ilyas, Yunahar, “Kuliah
Akhlak”, (Yogyakarta: Lembaga pengkajian dan pengalaman Islam, 2006), hlm. 147.
Munawir, A.W, “Kamus
Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap”, (Yogyakarta: Pustaka progressif, 1984),
hal. 74.
Suyuthi(As),
Jalaluddin, Asbabul Nuzul, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 87-88.
Shahih Muslim
(1748) dalam al-Ijtihad was siyar dan at-Tirmidzi (3189) dalam at-Tafsir.
[1] A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap,
(Yogyakarta: Pustaka progressif, 1984), hal. 74.
[2] Ibid.., 1580
[3] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga pengkajian
dan pengalaman Islam, 2006), hlm. 147.
[5] Hijaz Terjemah Tafsir Perkata
[6] Hijaz Terjemah Tafsir Perkata
[7] Shahih Muslim (1748) dalam al-Ijtihad was siyar dan at-Tirmidzi
(3189) dalam at-Tafsir. Disebutkan oleh al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan
al-Wahidi (hlm.285) dalam ayat yang sama.
[8]Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabul Nuzul, (Jakarta: Gema Insani,
2011), hal. 428-429.
[9] Hijaz Terjemah Tafsir Perkata
[10] Asy-Syifa` Ba’da Al-Maradhkarya Ibrahim bin ‘Abdullah al-Hazimy
sebagai yang dinukilnya dari kitab Hadyu as-Saary Fi Muqaddimah Shahih
al-Buukhary karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany.
[11] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan
hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1797.
[12] Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40.
[13] Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shohih, lihat
Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516.