Orientalis
Dalam Bidang Fiqh
Oleh: Ahnad
Ahzum dan
Muhammad
Ibdaul Hasan
I.
Pendahuluan
Kaum orientalis betul-betul menguras tenaga besar demi melakukan modernisasi
terhadap hukum Islam. Mereka mengecam ilmu fikih sebagai ajaran yang statis dan
kolot. Mereka mengajak melakukan reformasi terhadap dasar-dasar ajaran Islam.
Syariat menurut mereka tidaklah bersifat baku, karena kehidupan manusia
mengalami perkembangan dan modernisasi. Sebenarnya tujuan mereka adalah
memisahkan agama dari realitas kehidupan.
Gibb berkata, “Hasil murni dari gerakan pengajaran dan gerakan
westernisasi ini adalah keberhasilan melepaskan masyarakat Islam dari kekuasaan
agama tanpa dirasakan secara umum oleh masyarakat Islam sendiri. Poin ini saja
sudah merupakan permata berharga bagi setiap gerakan westernisasi yang efektif
di dunia Islam.” Kaum orientalis yakin bahwa hukum-hukum atau undang-undang
tidak masuk dalam pengertian agama. Dengan alasan itu, berarti negara tidak
bisa tunduk kepada agama. Hasilnya, banyak hal yang keluar dari ruang lingkup
ajaran Islam, seperti ekonomi, sosial, dan politik. Di antara kesesatan mereka
yang lain adalah provokasi untuk melenyapkan kekhalifahan. Gibb berkata, “Kaum
muslimin yang memiliki orientasi berpikir sekuler dan nasionalis tentu setuju
untuk melenyapkan kekhalifahan.”[1]
Tujuan mereka tentu saja untuk memisahkan agama dengan hukum
politik. Orientalis Wilfred Smith melemparkan syubhat modernisasi ajaran Islam
dengan membandingkan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimallahu Ta’ala
dengan Jamaludin Al-Afghani. Menurutnya, Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimallahu
Ta’ala mempropagandakan ajaran Islam kuno, sementara Al-Afghani
menggabungkan karakter Islam dan pendapat Barat. Menurutnya, Al-Afghani adalah
orang modern. Kenyataannya, Al-Afghani ternyata terlibat dalam gerakan Freemasonry.
Penyelidikan juga menyatakan bahwa ia penganut Mazindaroni, salah satu anak
cabang Syiah Rafidhah.
Kebalikannya, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimallahu
Ta’ala adalah mujaddid yang berusaha mengembalikan nilai-nilai Islam yang
murni. Begitulah serangan orientalisme terhadap Islam. Anehnya beberapa pemikir
muslim ternyata mengikuti langkah-langkah orientalis ini dan jadilah mereka
menghujat ajaran-ajaran Islam seperti Ahmad Amin, Thaha Husain, Abu Rayyah.
Mayoritas pemikiran orientalisme adalah barang berbahaya bagi Islam. Seorang
muslim yang membaca buku-buku karya orientalis hendaknya mempunyai pengetahuan
yang benar dan cukup tentang Islam yang sebenarnya sehingga tidak terjebak pada
ide-ide kaum kuffar yang menipu. Bagaimana pun juga, Allah akan terus
membangkitkan ulama’ untuk membantah pemikiran-pemikiran mereka. Dari uraian
ini setidaknya pemakalah akan paparkan pandangan Orientalis dalam bidang fiqh.
II.
Teori Orientalis Terhadap Syari’at
A.
Pandangan Noel J. Coulson
Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak
lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya.[2] Teori
ini dipegang oleh Noel J. Coulson.[3]
Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam,
seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syariâat
agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum
Syariâah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka.
Semua ulama’ dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa.
Peliknya teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini
oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi
Islam normatif dan Islam historis. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir
hanyalah merupakan sebuah cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan
realitas yang terjadi pada umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai
orang Indonesia pada khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya,
dimana historis yang harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis
dan memegang teguh keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui
dengan disesuaikan dengan nash Qur’an dan Hadis.[4]
B.
Hamilton A.R. Gibb
Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat
sewenang-wenang authoritarian to the last degree (otoriter sampai akhir derajat), kata Hamilton A.R. Gibb.[5]
Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan
sama menolak mentah-mentah implementasi Syariat di Indonesia negeri yang lebih
dari sembilan puluh persen penduduknya beragama Islam karena dinilai menghukum
sewenang-wenang. Padahal terdapat banyak data historis betapa luwes dan luasnya
praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini,
sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.
III.
Kelompok Pemikir Utama Dalam Kajian Hukum Islam
Kelompok Pemikiran Utama dalam Kajian Hukum Islam Pada dasarnya
pendekatan sejarah dalam kajian hukum Islam di barat berorientasi pada dua
kelompok pemikiran utama yang oleh J. Koren disebut sebagai kelompok
tradisionalis dan revisionis.[6]
1.
Kelompok Tradisionalis
Kelompok tradisionalis secara umum, mereka mengkaji hukum Islam
melalui literature-literatur yang ditulis oleh orang arab atau orang Islam.
Menurut mereka literature tersebut dapat dijadikan sebagai bahan sumber kajian
Islam, dan setiap fakta dan data yang ada dipandang benar selama tidak ada
fakta lain yang membuktikan sebaliknya, salah satu pendukung kelompok
tradisionalis adalah Montgomery Watt, ia merefleksikan dukungannya melalui
karya-karyanya seperti: Muhammad rophet and statesmen. Adapun dalam bidang
hukum, antara lain dapat disebutkan nama-nama seperti David S Power dan Wael B
Hallaq.
2.
Kelompok Revisionis
Sementara kelompok revisionis lebih ekstrem terhadap Islam, bahkan
mereka menyatakan bahwa Islam itu sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran
hukum, menurut mereka hampir seluruh formulasi hukum yang ada merupakan hasil
jiplakan dari aturan agama sebelumnya, khususnya yahudi dan terkait dengan
literature Arab atau Islam yang ada, merupakan upaya menjustifikasi kebenaran
dan kehebatan Islam, bukan sebagai data-data sejarah. Akibatnya dalam banyak
hal ditemukan sejumlah pendapat yang tidak factual atau kontradiktif. Salah
satu contoh adalah hadis Nabi yang menjelaskan tentang pernikahan Nabi pada
saat melakukan haji, di satu pihak sumber yang ada menyebutkan Nabi
melakukannya pada waktu haji dan sementara di pihak lain menyebutkan
sesudahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya silang pendapat di kalangan fuqaha’,
apakah kawin pada saat haji itu boleh atau tidak. Kedua kelompok ini saling
bertentangan, bahkan diantra mereka saling mengkritisi karya yang satu dengan
yang lain, seperti kasus Montgomery Watt ia menyatakan bahwa Mekkah merupakan
pusat dan jalur lalu lintas perdagangan, sehingga posisi strategis ini menjadi
arti penting dalam penyebaran Islam, pandangan ini ditolak oleh Patricia Crone
dengan menyatakan bahwa kota segersang Mekkah tidak mungkin memproduksi bahan
yang menarik perhatian luar, oleh karena itu menurutnya perlu fakta lain untuk
mengungkapkan kenapa Islam menyebar dengan cepat kewilayah diluar Mekkah. Namun
menurut Rodinson bahwa terdapat perbedaan bahkan kontradiksi antara data yang
ditulis pengarang satu dengan yana lain, akan tetapi secara tegas Rodinson
menyatakan hal itu bukanlah suatu alasan untuk menolak karya orang-orang Arab
atau Islam, selain Rodinson, Serjeant juga mengecam hasil penelitian Crone
dengan menuduhnya sarjana yang tidak mempunyai bekal bahasa Arab yang memadai
dan Crone sendiri menanggapi bahwa serjeant terkesan mengadangada dan sikapnya
itu disebabkan karena fanatisme seorang Arab. Tujuan kaum revisionis ialah
menghapus sejarah Islam secara menyeluruh dan pemalsuan terhadap sejarah islam,
dengan berbagai upaya pengaburan terhadap ajaran Islam, demi sebuah ideologi
dan arena politik. Adapun yang menjadi tujuan utama mereka adalah memberikan
proteksi yang kuat terhadap agama Kristen dalam menghadapi arus kemajuan agama
Islam. Sekarang muncul metode baru dikalangan ilmuwan barat dalam menyerang
tradisi buku-buku tafsir yang menuntut pembaharuan. Dengan alasan hak tersendiri
dalam menafsirkan kitab suci. Basetti Sani dan Youakim Moubarak keduanya bersikeras
bahwa tafsiran Al-Qur’an mesti dibuat sejalan dengan ukuran kebenaran agama
Kristen, dan pernyataan mereka mendapat acungan jempol dari W.C. Smith dan
Kenneth Cragg, sebagai seorang pemimpin gereja Anglican, Cragg menekankan agar
umat Islam menghapus semua ayat yg diturunkan di Madinah (dengan penekanan
dibidang politik dan hukum) guna mempertahankan esensi ayat-ayat Makkiyah yang
secara umum lebih menyentuh masalah KeEsaan Tuhan (Monotheism) dimana ayat
Madaniyyah dianggap meremehkan nilai keTuhanan dari esensi pernyataan Tiada
Tuhan Selain Allah. Konsep pemikiran ini bermaksud
untuk menggoyangkan orang-orang yg lemah iman dan was-was dengan menggunakan
senjata. Sikap ini
kaum orientalis yg selalu menghujat al-Qur’an agar semakin mudah menerima
ideology Barat.
IV.
Dasar
Teori Kajian Orientalis dalam Figh Islami
Setiap
penelitian ilmiah pakai metode, dan setiap metode punya teori, dan setiap teori
mengandung hipotesis atau presuposisi yakni pendapat-pendapat yang kebenarannya
memang dianggap tak perlu dan tak boleh sengaja tidak dipertanyakan, sebab jika
dipersoalkan niscaya penelitian tersebut mustahil terlaksana, sebab si peneliti
harus membuktikan dulu kebenaran presuposisi tersebut sebelum ia dapat memulai
risetnya. Maka untuk menghindari sirkularitas alias muter-muter, dianggaplah
dan diyakini sajalah presuposisi itu seolah-olah sudah atau bahkan pasti benar.
Berikut ini sejumlah teori dan presuposisi yang mendasari kajian orientalis
mengenai Syariat dan fiqh Islam.
A. Teori Evolusi
Ignaz
Goldziher yang sering kali secara panjang lebar menulis bahwasanya hukum Islam
itu mengalami perkembangan dan pemekaran. Dalam arti, tidak langsung matang,
lengkap atau tertib dari permulaan, akan tetapi melalui proses panjang dari
masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, pematangan dan akhirnya kemerosotan.
Semua itu konon terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa
ke masa.[7]
Teori yang menyertai pendekatan historis ini menjadi rukun iman orientalisme
yang digigit kuat-kuat oleh para pengkaji sezaman maupun sesudahnya Alois
Sprenger, David Samuel Margoliouth, Duncan B. Macdonald, dan E. Graf. Padahal
realitas saat ini yang dianggap kemerosotan itu adalah aplikasi umat yang
kurang sesuai, bukan hukumnya yang tidak sesuai. Fiqh kontemporer yang saat ini
digalakkan ulama-ulama merupakan salah satu bentuk usaha untuk menggali hukum
untuk problematika baru, dengan tetap berpijak pada Hukum aslinya. Para ulama
kontemporer, dengan tetap berpegang pada fiqh yang ada, menggali hukum untuk
problematika yang baru, bukan menggali hukum baru.
B. Teori Pesamaan Ilmu
Teori
yang juga merupakan asas dari metode penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan
bahwasanya agama seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni adalah hasil
budi daya dan reka cipta manusia. Ia muncul berasal dari pergaulan antar
anggota masyarakat, bangsa tertentu dengan bangsa lainnya. Maka Islam pun
beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi).
Bertolak dari andaian ini para orientalis mencaricari apa yang mereka percaya
sebagai asal-usul, sumber, atau unsur-unsur asing yang mempunyai kesan atau
pengaruh terhadap ajaran-ajaran Islam. Para orientalis umumnya mendakwa
sebagian besar ajaran Islam berkenaan aqidah dan ibadah diambil dari doktrin
dan tradisi agama Yahudi ataupun Nasrani. Demikian menurut Rudolf Macuch, Carl
H. Becker, A.J. Wensinck, I.K.A. Howard, Uri Rubin, Georges Vajda, C.S.
Hurgronje, H. Lazarus-Yafeh, dan lain-lain. Khusus mengenai fiqh dan ushul fiqh
sebagai disiplin ilmu, metodologi, dan falsafah perundang-undangan, maka Alfred
von Kremer, I. Goldziher, G. Bergsträsser, Joseph Schacht, G.-H. Bousquet,
Judith R. Wegner, Patricia Crone, Norman Calder, Harald Motzki, Christopher
Melchert, dan Wael B. Hallaq. Semua orientalis ini pada intinya sebulat suara
bahwasanya fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu baru muncul pada
abad kedua atau ketiga Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah
wafatnya Nabi Muhammad Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam. Masih menurut mereka,
fiqh bermula dari praktik masyarakat yang tetap terpelihara turun-temurun alias
living traditions istilah Schacht yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh
sekelompok cendekiawan hingga lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi
sebuah disiplin ilmu. Hadis beserta sanadnya dicipta sebagai alat justifikasi
suatu tindakan atau pendapat tertentu dalam polemik antar mazhab. Imam
as-Syafi’i dinilai berjasa sebagai pengasas ushul fiqh akan tetapi juga dituduh
bersalah sebagai pengunci pintu ijtihad dan penyebab kemandekan fiqh. Demikian
pendapat Schacht dan para pengekornya.[8]
C. Teori Kebohongan atau Manipulasi
Teori
yang menuding adanya semacam konspirasi para cendekiawan pada abad-abad kedua,
ketiga dan keempat Hijriah untuk menipu publik dengan menyuapkan Hadis dan
sebagainya ke mulut Nabi Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam. Dengan kata lain,
orientalis menuduh ulama terdahulu telah melakukan kebohongan publik dengan
bersepakat atas hadis yang mereka buat sendiri, tetapi disandarkan kepada Nabi.
Sarjana orientalis semisal Motzki memuji seorang rekannya yang katanya telah
mendemonstrasikan dengan contoh-contoh bagaimana tradisi sahabat menjadikan
Hadis dari Nabi.
V.
Kesimpulan
Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak
lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya.[9] Teori
ini dipegang oleh Noel J. Coulson.[10]
Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam,
seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syariâat
agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum
Syariâah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka.
Semua ulama’ dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa.
Peliknya teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini
oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi
Islam normatif dan Islam historis. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir
hanyalah merupakan sebuah cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan
realitas yang terjadi pada umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai
orang Indonesia pada khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya,
dimana historis yang harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis
dan memegang teguh keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui
dengan disesuaikan dengan nash Qur’an dan Hadis.[11]
Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat
sewenang-wenang authoritarian to the last degree (otoriter sampai akhir derajat), kata Hamilton A.R. Gibb.[12]
Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan
sama menolak mentah-mentah implementasi Syariat di Indonesia negeri yang lebih
dari sembilan puluh persen penduduknya beragama Islam karena dinilai menghukum
sewenang-wenang. Padahal terdapat banyak data historis betapa luwes dan luasnya
praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini,
sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amir,
Mencari Islam Study Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana Jogja, 2000).
Badawi,
Abdurrahman, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS, 2003).
Coulson, Noel
J., The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University Press,
1990).
Gibb, H. A. R.,
Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996).
Goldziher,
Ignaz, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa Hesri Setiawan ,
(Jakarta: INIS, 1991).
Mutawalli,
Abdul Hamid, Asy-Syariat al islamiyah wa Mauqifu Ulamaâ Al-Musttasyriqin,
(Cairo:t.tp, 1976).
Nur, Ma’mun
Efendi, Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah
WALISONGO Fak. Da’wah (t.tp: t.np, 1994).
Schacht,
Joseph, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The Clorendon Press,
1965).
[1] H. A. R. Gibb,
Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hal: 28.
[2] Noel J.
Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University
Press, 1990), hal:20.
[3] Abdul Hamid Mutawalli , Asy-Syariat al
islamiyah wa Mauqifu Ulamaâ Al-Musttasyriqin, (Cairo:t.tp, 1976), hal: 30.
[4] Ma’mun Efendi
Nur, Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah
WALISONGO Fak. Da’wah (t.tp: t.np, 1994), hal: 45.
[6] Amir Abdullah,
Mencari Islam Study Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana Jogja, 2000), hal 149.
[7] Ignaz
Goldziher, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa Hesri Setiawan ,
(Jakarta: INIS, 1991).
[8] Joseph
Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The Clorendon Press,
1965), hal: 34-35.
[9] Noel J.
Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University
Press, 1990), hal:20.
[10] Abdul Hamid Mutawalli , Asy-Syariat al
islamiyah wa Mauqifu Ulamaâ Al-Musttasyriqin, (Cairo:t.tp, 1976), hal: 30.
[11] Ma’mun Efendi
Nur, Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah
WALISONGO Fak. Da’wah (t.tp: t.np, 1994), hal: 45.