Sabtu, 26 Desember 2015

Orientalis dalam Bidang Fiqh: Noel J. Coulson

Orientalis Dalam Bidang Fiqh
Oleh: Ahnad Ahzum dan
Muhammad Ibdaul Hasan
I.                   Pendahuluan
Kaum orientalis betul-betul menguras tenaga besar demi melakukan modernisasi terhadap hukum Islam. Mereka mengecam ilmu fikih sebagai ajaran yang statis dan kolot. Mereka mengajak melakukan reformasi terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Syariat menurut mereka tidaklah bersifat baku, karena kehidupan manusia mengalami perkembangan dan modernisasi. Sebenarnya tujuan mereka adalah memisahkan agama dari realitas kehidupan.
Gibb berkata, “Hasil murni dari gerakan pengajaran dan gerakan westernisasi ini adalah keberhasilan melepaskan masyarakat Islam dari kekuasaan agama tanpa dirasakan secara umum oleh masyarakat Islam sendiri. Poin ini saja sudah merupakan permata berharga bagi setiap gerakan westernisasi yang efektif di dunia Islam.” Kaum orientalis yakin bahwa hukum-hukum atau undang-undang tidak masuk dalam pengertian agama. Dengan alasan itu, berarti negara tidak bisa tunduk kepada agama. Hasilnya, banyak hal yang keluar dari ruang lingkup ajaran Islam, seperti ekonomi, sosial, dan politik. Di antara kesesatan mereka yang lain adalah provokasi untuk melenyapkan kekhalifahan. Gibb berkata, “Kaum muslimin yang memiliki orientasi berpikir sekuler dan nasionalis tentu setuju untuk melenyapkan kekhalifahan.”[1]
Tujuan mereka tentu saja untuk memisahkan agama dengan hukum politik. Orientalis Wilfred Smith melemparkan syubhat modernisasi ajaran Islam dengan membandingkan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimallahu Ta’ala dengan Jamaludin Al-Afghani. Menurutnya, Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimallahu Ta’ala mempropagandakan ajaran Islam kuno, sementara Al-Afghani menggabungkan karakter Islam dan pendapat Barat. Menurutnya, Al-Afghani adalah orang modern. Kenyataannya, Al-Afghani ternyata terlibat dalam gerakan Freemasonry. Penyelidikan juga menyatakan bahwa ia penganut Mazindaroni, salah satu anak cabang Syiah Rafidhah.
Kebalikannya, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimallahu Ta’ala adalah mujaddid yang berusaha mengembalikan nilai-nilai Islam yang murni. Begitulah serangan orientalisme terhadap Islam. Anehnya beberapa pemikir muslim ternyata mengikuti langkah-langkah orientalis ini dan jadilah mereka menghujat ajaran-ajaran Islam seperti Ahmad Amin, Thaha Husain, Abu Rayyah. Mayoritas pemikiran orientalisme adalah barang berbahaya bagi Islam. Seorang muslim yang membaca buku-buku karya orientalis hendaknya mempunyai pengetahuan yang benar dan cukup tentang Islam yang sebenarnya sehingga tidak terjebak pada ide-ide kaum kuffar yang menipu. Bagaimana pun juga, Allah akan terus membangkitkan ulama’ untuk membantah pemikiran-pemikiran mereka. Dari uraian ini setidaknya pemakalah akan paparkan pandangan Orientalis dalam bidang fiqh.
II.                Teori Orientalis Terhadap Syari’at
A.    Pandangan Noel J. Coulson
Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya.[2] Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson.[3] Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syariâat agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syariâah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama’ dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah Subhânahu wa Ta’âlâ wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi Islam normatif dan Islam historis. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir hanyalah merupakan sebuah cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan realitas yang terjadi pada umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai orang Indonesia pada khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya, dimana historis yang harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis dan memegang teguh keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui dengan disesuaikan dengan nash Qur’an dan Hadis.[4]
B.     Hamilton A.R. Gibb
Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat sewenang-wenang authoritarian to the last degree (otoriter sampai akhir derajat), kata Hamilton A.R. Gibb.[5] Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan sama menolak mentah-mentah implementasi Syariat di Indonesia negeri yang lebih dari sembilan puluh persen penduduknya beragama Islam karena dinilai menghukum sewenang-wenang. Padahal terdapat banyak data historis betapa luwes dan luasnya praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini, sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.
III.             Kelompok Pemikir Utama Dalam Kajian Hukum Islam
Kelompok Pemikiran Utama dalam Kajian Hukum Islam Pada dasarnya pendekatan sejarah dalam kajian hukum Islam di barat berorientasi pada dua kelompok pemikiran utama yang oleh J. Koren disebut sebagai kelompok tradisionalis dan revisionis.[6]
1.      Kelompok Tradisionalis
Kelompok tradisionalis secara umum, mereka mengkaji hukum Islam melalui literature-literatur yang ditulis oleh orang arab atau orang Islam. Menurut mereka literature tersebut dapat dijadikan sebagai bahan sumber kajian Islam, dan setiap fakta dan data yang ada dipandang benar selama tidak ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya, salah satu pendukung kelompok tradisionalis adalah Montgomery Watt, ia merefleksikan dukungannya melalui karya-karyanya seperti: Muhammad rophet and statesmen. Adapun dalam bidang hukum, antara lain dapat disebutkan nama-nama seperti David S Power dan Wael B Hallaq.
2.      Kelompok Revisionis
Sementara kelompok revisionis lebih ekstrem terhadap Islam, bahkan mereka menyatakan bahwa Islam itu sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran hukum, menurut mereka hampir seluruh formulasi hukum yang ada merupakan hasil jiplakan dari aturan agama sebelumnya, khususnya yahudi dan terkait dengan literature Arab atau Islam yang ada, merupakan upaya menjustifikasi kebenaran dan kehebatan Islam, bukan sebagai data-data sejarah. Akibatnya dalam banyak hal ditemukan sejumlah pendapat yang tidak factual atau kontradiktif. Salah satu contoh adalah hadis Nabi yang menjelaskan tentang pernikahan Nabi pada saat melakukan haji, di satu pihak sumber yang ada menyebutkan Nabi melakukannya pada waktu haji dan sementara di pihak lain menyebutkan sesudahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya silang pendapat di kalangan fuqaha’, apakah kawin pada saat haji itu boleh atau tidak. Kedua kelompok ini saling bertentangan, bahkan diantra mereka saling mengkritisi karya yang satu dengan yang lain, seperti kasus Montgomery Watt ia menyatakan bahwa Mekkah merupakan pusat dan jalur lalu lintas perdagangan, sehingga posisi strategis ini menjadi arti penting dalam penyebaran Islam, pandangan ini ditolak oleh Patricia Crone dengan menyatakan bahwa kota segersang Mekkah tidak mungkin memproduksi bahan yang menarik perhatian luar, oleh karena itu menurutnya perlu fakta lain untuk mengungkapkan kenapa Islam menyebar dengan cepat kewilayah diluar Mekkah. Namun menurut Rodinson bahwa terdapat perbedaan bahkan kontradiksi antara data yang ditulis pengarang satu dengan yana lain, akan tetapi secara tegas Rodinson menyatakan hal itu bukanlah suatu alasan untuk menolak karya orang-orang Arab atau Islam, selain Rodinson, Serjeant juga mengecam hasil penelitian Crone dengan menuduhnya sarjana yang tidak mempunyai bekal bahasa Arab yang memadai dan Crone sendiri menanggapi bahwa serjeant terkesan mengadangada dan sikapnya itu disebabkan karena fanatisme seorang Arab. Tujuan kaum revisionis ialah menghapus sejarah Islam secara menyeluruh dan pemalsuan terhadap sejarah islam, dengan berbagai upaya pengaburan terhadap ajaran Islam, demi sebuah ideologi dan arena politik. Adapun yang menjadi tujuan utama mereka adalah memberikan proteksi yang kuat terhadap agama Kristen dalam menghadapi arus kemajuan agama Islam. Sekarang muncul metode baru dikalangan ilmuwan barat dalam menyerang tradisi buku-buku tafsir yang menuntut pembaharuan. Dengan alasan hak tersendiri dalam menafsirkan kitab suci. Basetti Sani dan Youakim Moubarak keduanya bersikeras bahwa tafsiran Al-Qur’an mesti dibuat sejalan dengan ukuran kebenaran agama Kristen, dan pernyataan mereka mendapat acungan jempol dari W.C. Smith dan Kenneth Cragg, sebagai seorang pemimpin gereja Anglican, Cragg menekankan agar umat Islam menghapus semua ayat yg diturunkan di Madinah (dengan penekanan dibidang politik dan hukum) guna mempertahankan esensi ayat-ayat Makkiyah yang secara umum lebih menyentuh masalah KeEsaan Tuhan (Monotheism) dimana ayat Madaniyyah dianggap meremehkan nilai keTuhanan dari esensi pernyataan Tiada Tuhan Selain Allah. Konsep pemikiran ini bermaksud untuk menggoyangkan orang-orang yg lemah iman dan was-was dengan menggunakan senjata. Sikap ini kaum orientalis yg selalu menghujat al-Qur’an agar semakin mudah menerima ideology Barat.
IV.             Dasar Teori Kajian Orientalis dalam Figh Islami
Setiap penelitian ilmiah pakai metode, dan setiap metode punya teori, dan setiap teori mengandung hipotesis atau presuposisi yakni pendapat-pendapat yang kebenarannya memang dianggap tak perlu dan tak boleh sengaja tidak dipertanyakan, sebab jika dipersoalkan niscaya penelitian tersebut mustahil terlaksana, sebab si peneliti harus membuktikan dulu kebenaran presuposisi tersebut sebelum ia dapat memulai risetnya. Maka untuk menghindari sirkularitas alias muter-muter, dianggaplah dan diyakini sajalah presuposisi itu seolah-olah sudah atau bahkan pasti benar. Berikut ini sejumlah teori dan presuposisi yang mendasari kajian orientalis mengenai Syariat dan fiqh Islam.
A.    Teori Evolusi
Ignaz Goldziher yang sering kali secara panjang lebar menulis bahwasanya hukum Islam itu mengalami perkembangan dan pemekaran. Dalam arti, tidak langsung matang, lengkap atau tertib dari permulaan, akan tetapi melalui proses panjang dari masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, pematangan dan akhirnya kemerosotan. Semua itu konon terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa ke masa.[7] Teori yang menyertai pendekatan historis ini menjadi rukun iman orientalisme yang digigit kuat-kuat oleh para pengkaji sezaman maupun sesudahnya Alois Sprenger, David Samuel Margoliouth, Duncan B. Macdonald, dan E. Graf. Padahal realitas saat ini yang dianggap kemerosotan itu adalah aplikasi umat yang kurang sesuai, bukan hukumnya yang tidak sesuai. Fiqh kontemporer yang saat ini digalakkan ulama-ulama merupakan salah satu bentuk usaha untuk menggali hukum untuk problematika baru, dengan tetap berpijak pada Hukum aslinya. Para ulama kontemporer, dengan tetap berpegang pada fiqh yang ada, menggali hukum untuk problematika yang baru, bukan menggali hukum baru.
B.     Teori Pesamaan Ilmu
Teori yang juga merupakan asas dari metode penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan bahwasanya agama seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni adalah hasil budi daya dan reka cipta manusia. Ia muncul berasal dari pergaulan antar anggota masyarakat, bangsa tertentu dengan bangsa lainnya. Maka Islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi). Bertolak dari andaian ini para orientalis mencaricari apa yang mereka percaya sebagai asal-usul, sumber, atau unsur-unsur asing yang mempunyai kesan atau pengaruh terhadap ajaran-ajaran Islam. Para orientalis umumnya mendakwa sebagian besar ajaran Islam berkenaan aqidah dan ibadah diambil dari doktrin dan tradisi agama Yahudi ataupun Nasrani. Demikian menurut Rudolf Macuch, Carl H. Becker, A.J. Wensinck, I.K.A. Howard, Uri Rubin, Georges Vajda, C.S. Hurgronje, H. Lazarus-Yafeh, dan lain-lain. Khusus mengenai fiqh dan ushul fiqh sebagai disiplin ilmu, metodologi, dan falsafah perundang-undangan, maka Alfred von Kremer, I. Goldziher, G. Bergsträsser, Joseph Schacht, G.-H. Bousquet, Judith R. Wegner, Patricia Crone, Norman Calder, Harald Motzki, Christopher Melchert, dan Wael B. Hallaq. Semua orientalis ini pada intinya sebulat suara bahwasanya fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu baru muncul pada abad kedua atau ketiga Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari praktik masyarakat yang tetap terpelihara turun-temurun alias living traditions istilah Schacht yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh sekelompok cendekiawan hingga lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu. Hadis beserta sanadnya dicipta sebagai alat justifikasi suatu tindakan atau pendapat tertentu dalam polemik antar mazhab. Imam as-Syafi’i dinilai berjasa sebagai pengasas ushul fiqh akan tetapi juga dituduh bersalah sebagai pengunci pintu ijtihad dan penyebab kemandekan fiqh. Demikian pendapat Schacht dan para pengekornya.[8]
C.    Teori Kebohongan atau Manipulasi
Teori yang menuding adanya semacam konspirasi para cendekiawan pada abad-abad kedua, ketiga dan keempat Hijriah untuk menipu publik dengan menyuapkan Hadis dan sebagainya ke mulut Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Dengan kata lain, orientalis menuduh ulama terdahulu telah melakukan kebohongan publik dengan bersepakat atas hadis yang mereka buat sendiri, tetapi disandarkan kepada Nabi. Sarjana orientalis semisal Motzki memuji seorang rekannya yang katanya telah mendemonstrasikan dengan contoh-contoh bagaimana tradisi sahabat menjadikan Hadis dari Nabi.
V.                Kesimpulan
Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya.[9] Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson.[10] Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syariâat agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syariâah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama’ dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah Subhânahu wa Ta’âlâ wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi Islam normatif dan Islam historis. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir hanyalah merupakan sebuah cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan realitas yang terjadi pada umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai orang Indonesia pada khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya, dimana historis yang harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis dan memegang teguh keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui dengan disesuaikan dengan nash Qur’an dan Hadis.[11]
Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat sewenang-wenang authoritarian to the last degree (otoriter sampai akhir derajat), kata Hamilton A.R. Gibb.[12] Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan sama menolak mentah-mentah implementasi Syariat di Indonesia negeri yang lebih dari sembilan puluh persen penduduknya beragama Islam karena dinilai menghukum sewenang-wenang. Padahal terdapat banyak data historis betapa luwes dan luasnya praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini, sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.



Daftar Pustaka
Abdullah, Amir, Mencari Islam Study Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Jogja, 2000).
Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS, 2003).
Coulson, Noel J., The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990).
Gibb, H. A. R., Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
Goldziher, Ignaz, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa Hesri Setiawan , (Jakarta: INIS, 1991). 
Mutawalli, Abdul Hamid, Asy-Syariat al islamiyah wa Mauqifu Ulamaâ Al-Musttasyriqin, (Cairo:t.tp, 1976).
Nur, Ma’mun Efendi, Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah WALISONGO Fak. Da’wah (t.tp: t.np, 1994).
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The Clorendon Press, 1965).



[1] H. A. R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal: 28.
[2] Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990), hal:20.
[3] Abdul Hamid Mutawalli , Asy-Syariat al islamiyah wa Mauqifu Ulamaâ Al-Musttasyriqin, (Cairo:t.tp, 1976), hal: 30.

[4] Ma’mun Efendi Nur, Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah WALISONGO Fak. Da’wah (t.tp: t.np, 1994), hal: 45.
[5] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS, 2003), hal: 50.
[6] Amir Abdullah, Mencari Islam Study Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Jogja, 2000), hal 149.
[7] Ignaz Goldziher, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa Hesri Setiawan , (Jakarta: INIS, 1991).
[8] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The Clorendon Press, 1965), hal: 34-35.
[9] Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990), hal:20.
[10] Abdul Hamid Mutawalli , Asy-Syariat al islamiyah wa Mauqifu Ulamaâ Al-Musttasyriqin, (Cairo:t.tp, 1976), hal: 30.
[11] Ma’mun Efendi Nur, Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah WALISONGO Fak. Da’wah (t.tp: t.np, 1994), hal: 45.
[12] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS, 2003), hal: 50.

Senin, 21 Desember 2015

HADIS KEUTAMAAN MEMBACA SURAT YĀSĪN DAN SURAT ṬĀHĀ

HADIS KEUTAMAAN MEMBACA SURAT YĀSĪN
DAN SURAT ṬĀHĀ
Oleh:
Muhammad Ibdaul Hasan A.
I. Pendahuluan
Al-Qur`an adalah wahyu Allah Subḥānahu wa Ta’ālā yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam sebagai kitab suci terakhir untuk dijadikan petunjuk dan pedoman hidup dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Al-Qur`an adalah sumber pokok dan mata air yang memancarkan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu kaum muslimin memiliki kewajiban untuk berinteraksi (al-ta`ammul) dengan al-Qur`an.
Interaksi kaum muslimin dengan al-Qur`an diwujudkan dengan membaca, mempelajari, mengkaji, mengamalkan, mendakwahkan dan menegakkan hukum-hukumnya. Dalam konteks membaca (al-qirā’ah), terdapat banyak dalil baik dari al-Qur`an maupun hadis yang menegaskan pentingnya kaum muslimin untuk membaca al-Qur`an.
Dalam konteks targhīb umat Islam untuk membaca al-Qur`an pada umumnya dan surat-surat tertentu khususnya, terdapat hadis-hadis yang secara khusus menjelaskan tentang keutamaan (faḍīlah) membaca surat-surat tertentu dari al-Qur`an. Di antara contohnya adalah hadis tentang kedudukan surat Ṭāhā dan Yāsīn serta keutamaan membacanya sebagai berikut:
إن الله تبارك و تعالى قرأ طه و يس قبل أن يخلق آدم بألف عام فلما سمعت الملائكة القرآن قالوا طوبى لأمة ينزل هذا عليها و طوبى لا جواف تحمل هذا و طوبى لألسن تكلم بهذا[1]
Sesungguhnya Allah Tabāraka wa Ta’āla membaca surat Ṭāhā dan Yāsīn seribu tahun sebelum menciptakan Adam. Tatkala para Malaikat mendengar al-Qur`an itu mereka berkata “Beruntunglah bagi umat yang diturunkan kepada mereka firman itu, dan beuntunglah hati yang menghafalnya, serta beruntunglah lisan-lisan yang membacanya.”
Hadis di atas dapat dikatakan cukup populer karena terdapat dalam berbagai kitab, tulisan dan ceramah-ceramah keagamaan. Di antara ulama tafsir yang mencantumkan hadis ini dalam kitab tafsirnya yaitu al-Tha’labī dalam al-Kashf wa al-Bayān.[2] Demikian pula al-Qurṭubī dalam al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`ān.[3] Termasuk dalam hal ini Ibnu Kathīr yang tafsirnya juga sangat populer mencantumkan hadis tersebut, namun beliau mengisyaratkan adanya cacat dan kelemahan dalam hadis itu baik secara sanad dan matan.[4] Kitab-kitab lain semacam Iḥya` ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazālī juga mempublikasikan hadis-hadis ini.[5] Keberadaan hadis tersebut dalam berbagai kitab menjadi sarana penyebaran dan popularitas hadis tersebut di tengah-tengah umat.
Sebagaimana dimaklumi bahwa popularitas sesuatu hadis bukanlah tolok ukur untuk meyakini validitas suatu hadis. Betapa banyak hadis-hadis yang populer di tengah-tengah masyarakat namun ternyata setelah diteliti kualitasnya lemah, bahkan palsu.
Dalam makalah ini akan dijelaskan hadis tentang keutamaan membaca surat Ṭāhā dan Yāsīn sebagaimana telah disebutkan di atas dan juga hadis-hadis lain yang mendukung. Di sini juga akan dijelaskan bagaimana kehujahan hadis tersebut, manfaat dan hikmahnya. Demikian pula, akan dibahas tentang pemaknaan hadis tersebut.
II. Hadis-hadis Tentang Keutamaan Membaca Surat Ṭāhā dan Yāsīn
A.    Hadis Riwayat al-Bayhaqī
 أخبرنا أبو سعد الماليني أنا أبو أحمد بن عدي ثنا يحيى بن محمد بن عمران البالسي و عبد الله بن موسى بن الصقر و أحمد بن موسى بن الحوية و عمران بن موسى سجستاني ح و أخبرنا أبو نصر بن قتادة أنا أبو عمرو بن مطر ثنا عبد الله بن الصقر بن موسى بن حلال و خشنام بن بشر بن العنبر قالوا ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي بمكة عن إبراهيم بن المهاجر بن مسمار حدثني عمر بن حفص بن ذكوان عن مولى الحرقة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله تبارك و تعالى قرأ طه و يس قبل أن يخلق آدم بألف عام فلما سمعت الملائكة القرآن قالوا طوبى لأمة ينزل هذا عليها و طوبى لأجواف تحمل هذا و طوبى لألسن تكلم بهذا[6]
Dari Abū Hurayrah berkata, “Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Tabāraka wa Ta’āla membaca surat Ṭāhā dan Yāsīn seribu tahun sebelum menciptakan Adam. Tatkala para Malaikat mendengar al-Qur`an itu mereka berkata ‘Beruntunglah bagi umat yang diturunkan kepada mereka firman itu, dan beuntunglah hati yang menghafalnya, serta beruntunglah lisan-lisan yang membacanya.’”
al-Bayhaqī juga meriwayatkaan hadis yang sama dengan sanad yang berbeda:
أخبرنا أبو سهل أحمد بن محمد بن إبراهيم المهراني وأبو النصر بن قتادة قالا أنا أحمد بن إسحاق بن أيوب الضبعي ثنا الحسن بن علي بن زياد السري ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ثنا إبراهيم بن مهاجر بن مسمار حدثني عمر بن حفص بن ذكوان عن مولى الحرقة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله تعالى قرأ طه و يس قبل أن يخلق آدم عليه السلام بألف عام فلما سمع الملائكة القرآن قالوا طوبى لأمة ينزل هذا عليها وطوبى لجوف يحمل هذا وطوبى لألسن تكلم بهذا[7]
B.     Hadis Riwayat al-Dārimī
حدثنا إبراهيم بن المنذر ثنا إبراهيم بن المهاجر بن المسمار عن عمر بن حفص بن ذكوان عن مولى الحرقة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ان الله تبارك وتعالى قرأ طه ويس قبل ان يخلق السماوات والأرض بألف عام فلما سمعت الملائكة القرآن قالت طوبى لأمة ينزل هذا عليها وطوبى لأجواف تحمل هذا وطوبى لألسنة تتكلم بهذا[8]
Dari Abū Hurayrah berkata, “Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Tabāraka wa Ta’āla membaca surat Ṭāhā dan Yāsīn seribu tahun sebelum menciptakan langit dan Bumi. Tatkala para Malaikat mendengar al-Qur`an itu mereka berkata ‘Beruntunglah bagi umat yang diturunkan kepada mereka firman itu, dan beuntunglah hati yang menghafalnya, serta beruntunglah lisan-lisan yang membacanya.’” 
C.    Hadis Riwayat al-Ṭabrānī 
حدثنا عبدوس بن ديزويه الرازي قال حدثنا ابراهيم بن المنذر الحزامي قال حدثنا ابراهيم بن المهاجر بن مسمار قال حدثنا عمر بن حفص بن ذكوان عن مولى الحرقة عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ان الله قرأ طه و يس قبل ان يخلق آدم بألف عام فلما سمع الملائكة القرآن قالوا طوبى لأمة نزل هذا عليها وطوبى لأجواف تحمل هذا وطوبى لألسن تكلم بهذا[9]
Dari Abū Hurayrah berkata, “Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Tabāraka wa Ta’āla membaca surat Ṭāhā dan Yāsīn seribu tahun sebelum menciptakan Adam. Tatkala para Malaikat mendengar al-Qur`an itu mereka berkata ‘Beruntunglah bagi umat yang diturunkan kepada mereka firman itu, dan beuntunglah hati yang menghafalnya, serta beruntunglah lisan-lisan yang membacanya.’”
III. Kajian Sanad dan Kritik
A.    Kritik Perawi 
1.      Abū Hurayrah
Abū Hurayrah adalah seorang al-Imām al-Faqīh al-Mujtahīd dan salah seorang sahabat Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Nama aslinya diperselisihkan. Menurut al-Dhahabī pendapat yang paling tepat mengenai namanya adalah ‘Abd al-Raḥman bin Ṣakhr.[10]
Abū Hurayrah masuk Islam pada tahun peristiwa Khaibar yaitu tahun ke-7 H. Salah seorang di antara huffāẓ sahabat yang selalu menemani Rasulullah Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam. Meninggal tahun 58 H di Kota Madinah.[11]
Abu Hurairah didoakan oleh Nabi sehingga tidak terkena sifat lupa dari hafalan-hafalan hadis.[12] Menurut al-Dhahaby, jumlah hadis musnad Abu Hurairah sebanyak 5374 hadis, 326 hadis di antaranya berstatus muttafaq ‘alayh (disepakati al-Bukhārī dan Muslim), sementara 93 hadis diriwayatkan oleh al-Bukhārī saja dan 98 hadis oleh Muslim saja.[13] 
2.      Mawlā al-Ḥuraqah
Mawlā al-Ḥuraqah di sini adalah ‘Abd al-Raḥmān bin Ya’qūb. Abū al-‘Alā’ bin ‘Abd al-Raḥmān Mawlā al-Ḥuraqah memiliki riwayat dari Abū Hurayrah. Demikian pula al-Bukhārī menegaskan bertemunya ‘Abd al-Raḥmān Mawlā al-Ḥuraqah dari Abū Hurayrah dan juga Abū Sa’īd. Sementara murid yang meriwayatkan hadis darinya adalah putranya al-‘Alā’ bin ‘Abd al-Raḥmān bin Ya’qūb.[14]
Al-‘Ajlī, mencantumkannya dalam Kitab Ma’rifah al-Thiqāt min Rijāl Ahl al-‘Ilm wa al-Ḥadīth dan berkomentar: madanī, tābi’ī, thiqqah.[15] Al-Ḥākim Muḥammad bin ‘Abdullāh bin Muḥammad bin Hamdawayh al-Naysābūrī  menyebutkan bahwa ‘Abd al-Raḥmān bin Ya’qūb adalah perawi yang hanya diriwayatkan al-Bukhārī.[16] Akan tetapi pendapat ini ditolak oleh Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Ibrāhīm dan ditetapkan bahwa beliau termasuk salah seorang perawi Muslim dalam kitab Sahihnya.[17] Pendapat inilah yang benar bahwa Mawlā al-Ḥuraqah adalah perawi Muslim dalam Sahihnya dan sama sekali bukan perawi al-Bukhārī dalam Sahihnya, karena al-Bukhārī hanya meriwayatkan hadisnya dalam kitab selain Sahihnya.[18]
‘Abd al-Raḥmān bin Ya’qūb Mawlā al-Ḥuraqah ini selain meriwayatkan hadis dari Abū Hurayrah dan Abū Sa’īd al-Khudrī, juga meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās, Ibn ‘Umar, ‘Abd al-Mālik bin Nawfal bin al-Hārith dan bapaknya, Ya’qūb. Sementara yang meriwayatkan hadis darinya, antara lain Sālim Abū al-Naẓr, ‘Umar bin Hafṣ bin Dhakwān, putranya al-‘Alā’, dan Muḥammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah.[34]
3. ‘Umar bin Hafṣ bin Dhakwān
     Jamal al-Din Abu al-Farj ‘Abd al-Rahman bin ‘Ali bin Muhammad al-Jauzy ( 597 H) menjelaskan ‘Umar bin Hafsh bin Dhakwan Abu Hafs al-‘Abdy al-Basry. Dialah yang dikenal dengan nama ‘Umar bin Abi Khalifah meriwayatkan hadis dari Thabit dan Yazid al-Raqashy. Ahmad berkata: Kami membakar hadis-hadisnya. Yahya (bin Ma’in) berkata: laisa bi shai’in. Ali (bin al-Madiny) berkata: laisa bi thiqah. Al-Nasa’i berkata: matruk al-hadith. Al-Daraquthny berkata: d}a’if. Ibnu Hibban berkata: Dulu dia membeli kitab-kitab (hadis) dan meriwayatkanya tanpa mendengar langsung dari perawinya(sima’).[19]
     Informasi yang sama juga diriwayatkan oleh Al-Dhahaby dalam Mizan al-I’tidal dan menyebutkan contoh hadis riwayatnya yang tidak sahih bahkan mengisyaratkan kepalsuan hadis (wa min balayahu) dalam salah satu hadisnya.[20] Bahkan Burhan al-Din al-Halaby Abu al-Wafa Ibrahim bin Muhammad bin Khalil al-Tarablisy al-Shafi’i (841 H) menegaskan dan memastikan kepalsuan hadis di maksud dan mencantumkan ‘Umar bin Hafs ini termasuk dalam jajaran perawi yang tertuduh memalsukan hadis.[21]
   Abu Nu’aim al-Asbahany menyebutkan bahwa ‘Umar ini meriwayatkan sejumlah hadis dari Thabit (al-Banany) yang munkar (al-manakir). Al-Sajy menilainya matruk al-hadith. Yahya bin Ma’in berkata bahwa hadis Abu Hafs al-‘Abdy tertolak. Ibn Hajar menambahkan bahwa ke-da’if-an riwayat-riwayatnya sangat jelas.[22]
4. Ibrahim bin al-Muhajir bin al-Mismar
    Ibrahim bin al-Muhajir bin al-Mismar adalah salah satu dari penduduk Madinah yang meriwatkan hadis dari Umar bin Hafsh bin Dhakwan dan Safwan bin Salim. Dia adalah munkar al-Hadith jiddan. Murid yang meriwayatkan hadis darinya adalah Ma’an bin Abi ‘Isa yang merupakan sepupunya. Ibn Hibban berkomentar; saya tidak tertarik untuk berhujjah dengan khabar darinya bila dia menyendiri dalam periwayatannya (infirad).Yahya Ibn Ma’in menilai negatif tentangnya dan Ibrahim inilah yang meriwayatkan hadis dari ‘Umar bin Hafs bin Dhakwan dari Mawla al-Huraqah dari Abu Hurairah kemudian Ibn Hibban menyebut hadis yang diteliti di atas dan menegaskan bahwa matan hadis ini mawdu’ (palsu).[23]
   Abu Ahmad bin ‘Ady al-Jurjany (365 H) atau lebih di kenal dengan Ibn ‘Ady mencantumkan perawi ini dalam Kitabnya al-Kamil fi Du’afa’ al-Rijal dan menginformasikan bahwa Al-Bukhari menilai Ibrahim bin al-Muhajir bin al-Mismar adalah seorang madany (penduduk Madinah) yang mungkar al-hadis. Sementara Yahya bin Ma’in menilainya salih, laisa bih ba’s.[24] Ibn ‘Ady juga menegaskan bahwa tidak ada hadis yang paling mungkar yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhajir selain hadis tentang “membaca surat Taha dan Yasin”seperti yang sedang dibahas hal ini karena tidak ada perawi hadis pun yang meriwayatkan hadis itu selain Ibrahim bin Muhajir dengan sanad semacam itu ataupun ber-matan sama namun dengan sanad lain. Adapun hadis-hadisnya yang lain salihah (cukup baik validitasnya).[25]
5. Ibrahim bin al-Mundhir al-Hizamy
   Beliau adalah Ibn ‘Abd Allah bin al-Mundhir bin al-Mughirah bin ‘Abd Allah bin Khalid bin Hizam bin Khuwailid bin Asad. Beliau seorang al-Imam, al-hafiz, al-Thiqah, Abu Ishaq al-Qurashy al-Asady al-Hizamy al-Madany. Beliau meriwayatkan hadis dari Sufyan bin ‘Uyainah, al-Walid bin Muslim,’Abd Allah bin Wahb, Ma’an bin ‘Isa, dan sejumlah besar guru. Adapun para muridnya antara lain al-Bukhari dalam al-Tarikh dan Ibn Majah. Sementara ahli hadis yang men-takhrij hadisnya antara lain al-Tirmidhi, al-Nasa’i dengan perantara perawi lain, Baqiy bin Makhlad, dan sejumlah besar perawi lainnya.[26]
   Al-Mizzy menambahkan keterangan bahwa Ibrahim meriwayatkan juga hadis dari Ibrahim bin al-Muhajir bin Mismar dan Ishaq bin Ibrahim bin Sa’id al-Madany, Bakr bin Salim al-Sawwaf, dll. Sementara murid-muridnya antara lain; Abdullah bin Shaqr al-Sukary, Uthman bin Sa’id al-Darimy, Abdus bin Dizawayh, dll.[27]
    Salih bin Jazarah berkata: Saduq. Abu Hatim berkata; Saduq. Menurut Uthman bin Sa’id al-Darimy bahwa dia melihat Yahya bin Ma’in mencatat sejumlah hadis dari Ibrahim bin Mundhir ini yang diperkirakannya hadis-hadis itu tentang al-maghazy (sejarah peperangan).[28]
    Al-Nasa’i berkata : laisa bihi ba’s, Salih bin Muhammad berkata : Saduq. Abu Hatim : Saduq. Zakariya bin Yahya al-Sajy menilai bahwa di antara riwayat-riwayat Ibrahim ini ada yang mungkar (manakir). Al-Hafiz Abu Bakr al-Khatib meluruskan pendapat al-Sajy ini, bahwa riwayat-riwayat manakir-nya sedikit, itupun jika riwayatnya bersumber dari para perawi yang berstatus majhul yang tidak dikenal oleh para ahli hadis. Yahya bin Ma’in dan selainya dari para hufaz menerima dan men-thiqah-kan hadis-hadisnya.[29]
7. Khuthnam bin Bishr bin al-‘Anbar.
    Abu Muhammad al-Naisabury belajar hadir Damaskus dan Mesir. Kunyah-nya Al-Anbar adalah Abu Ma’ruf. Beliau meriwayatkan hadis dari Ibrahim bin al-Mundhir dengan sanadnya dari Abu Hurairah meriwayatkan hadis:
 إن الله قرأ طه ويس قبل أن يخلق آدم بألفي عام
Khuthnam adalah perawi yang thiqah, Sahib Usul. Beliau meninggal pada tahun 291 H.[30]
     Beliau juga meriwyatkan hadis dari Muhammad bin Ramh, Harmalah bin Yahya al-Misry, Abd al-A’la bin Hamd al-Basry, dll. Adapun, di antara yang meriwayatkan hadis darinya adalah Abu ‘Amr Muhammad bin Ja’far bin Mathar, Ahmad bin ‘Ali al-Razy, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ya’qub al-Hafiz, Abu al-Walid Hisan Bin Muhammad al-Faqih, dll.[31]
8. Abu ‘Amr bin Matar
    Beliau adalah seorang al-shaikh al-imam al-qudwah al-‘amil al-muhaddith, Abu ‘Amr Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Matar al-Naisabury al-Muzakky, seorang shaikh al-‘adalah. Meriwayatkan hadis dari Abu ‘Amr Ahmad al-Mustamly, Ibrahim bin ‘Ali al-Dhuhly,Muhammad bin ‘Ayyub al-Bajaly, dan sejumlah perawi dalam tabaqah ini. Beliau adalah perawi yang memiliki kapabalilitas hafalan (hifz) dan ketepatan periwayatan (itqan). Adapun murid-murid yang meriwayatkan hadis darinya adalah Abu ‘Aly al-hafiz, Abu ‘Abd Allah al-Hakim, Abu Nasr bin Qatadah, dll. Beliau meninggal pada tahun 360 H pada umur 95 tahun.[32]
9. Abu Nasr bin Qatadah
   Abu Nasr bin Qatadah adalah gurunya Imam al-Baihaqy. Al-Baihaqy meriwayatkan 331 hadis dalam al-Sunan al-Kubra dari gurunya tersebut.[33] Sementara dalam Kitab Shu’ab al-Iman sendiri terdapat 359 hadis darinya.[34] Al-Baihaqy menggunakan ungkapan haddathana Abu Nasr bin Qatadah atau akhbarana, dll.
Adapun data tentang tarikh dan jarh wa ta’dil-nya tidak ditemukan.[35]
IV. KUALITAS DAN PEMAHAMAN HADIS
A. Kualitas Sanad
    Merujuk kepada skema jalur sanad dapat diketahui bahwa sanad terpendek adalah dari jalur al-Darimy dan Ibn Abi ‘Asim (6 perawi termasuk kedua mukharrij tersebut). Sementara jalur sanad terpanjang adalah dalam riwayat al-Baihaqy yang semuanya terdiri dari 9 perawi (termasuk al-Baihaqy sebagai mukharrij).
    Dari data hubungan guru-murid, dapat ketahui adanya ittisal sanad bahwa baik dari jalur sanad al-Baihaqy maupun al-Darimy dan Ibn Abi ‘Ashim termasuk pula pada jalur Ibn Khuzaimah dan al-Tabrany.
    Hadis di atas termasuk kategori hadis ahad yang gharib, bahkan dari perawi pertama sampai ke-5 sanadnya bersifat al-fard al-mutlaq. Berdasarkan data para perawi yang dipaparkan dalam Bab II juga dapat disimpulkan bahwa permasalahan utama dalam sanad hadis yang diteliti adalah kualitas dan kredibilitas (ke-thiqah-an) perawi. Dua orang perawi yang dikritik (jarh)oleh para ulama adalah Ibrahim bin al-Muhajir bin al-Mismar dan gurunya ‘Umar bin Hafsh bin Dhakwan.
1. Ibrahim bin al-Muhajir bin al-Mismar
   Selain Ibn Ma’in, Ulama jarh wa ta’dil mengkritik Ibrahim bin al-Muhajir bin al-Mismar. Ibn Hibban menilainya munkar al-Hadith jiddan. Al-Bukhari menilainya mungkar al-hadith. Suatu bentuk penilaian al-Bukhari untuk jarh yang cukup berat. Ibn Ady secara juga men-da’if-kannya.
    Dengan demikian riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah bila dia menyendiri dalam periwayatannya (infirad) sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Hibban. Sementara itu, dari penelitian di atas terbukti bahwa adalah Ibrahim bin al-Muhajir bin al-Mismar menyendiri dalam periwayatan hadis di atas.
2. ‘Umar bin Hafsh bin Dhakwan
     Para ulama jarh wa ta’dil sepakat men-jarh ‘ dan menilai d}a’if Umar bin Hafsh bin Dhakwan.
     Abu Nu’aim al-Asbahany menyebutkan bahwa ‘Umar ini meriwayatkan sejumlah hadis dari Thabit (al-Banany) yang munkar (al-manakir). Al-Sajy menilainya matruk al-hadith. Yahya bin Ma’in berkata bahwa hadis Abu Hafs al-‘Abdy tertolak. Ibn Hajar menambahkan bahwa ke-da’if-an riwayat-riwayatnya sangat jelas.[36] Informasi yang diriwayatkan oleh Al-Dhahaby dalam Mizan al-I’tidal pernah terlibat dalam periwayatan hadis palsu. Bahkan Burhan al-Din al-Halaby Abu al-Wafa Ibrahim bin Muhammad bin Khalil al-Tarablisy al-Shafi’i (w. 841 H) mencantumkannya termasuk dalam jajaran perawi yang tertuduh memalsukan hadis.[37]
     Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perawi ini walaupun tidak masuk dalam peringkat tertinggi dalam jarh yaitu kepastian sebagai pemalsu hadis. Namun secara umum tidak dapat diterima periwayatannya dan tidak bisa dijadikan hujjah, apalagi bila tidak terdapat hadis lain yang dapat dijadikan i’tibar.
B. Kualitas Matan
    Ibn Kathir (w. 774 H) dalam Kitab tafsirnya yang sangat populer mencantumkan hadis tersebut, namun beliau mengisyaratkan adanya cacat dan kelemahan dalam hadis itu baik secara sanad dan matan. Ibnu Katsir menyatakan :Hadha hadithun gharibun wa Fihi nakarah (hadis ini gharib dan kandungannya mengandung hal yang ganjil).[38]
    Ibn Hibban menyebut hadis yang diteliti di atas dan menegaskan bahwa matan hadis ini mawd}u’ (palsu).[39]
    Ibn ‘Ady juga menegaskan bahwa tidak ada hadis yang paling mungkar yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhajir selain hadis tentang “membaca surat Taha dan Yasin”seperti yang sedang dibahas hal ini karena tidak ada perawi hadis pun yang meriwayatkan hadis itu selain Ibrahim bin Muhajir dengan sanad semacam itu ataupun ber-matan sama namun dengan sanad lain. Adapun hadis-hadisnya yang lain salihah (cukup baik validitasnya).[40]


C. Kehujjahan Hadis
    Sanad hadis tentang kedudukan dan keutamaan Surat Taha dan Yasin adalah adalah hadis yang da’if jiddan (Sangat da’if). Dengan demikian tidak dapat dijadikan hujjah termasuk dalam masalah fada’il a’mal.
    Secara tekstual, kandungan hadis ini bukan hanya berkaitan dengan fadhilah al-‘Amal yaitu keutamaan membaca al-Quran khususnya Surat Taha dan Yasin. Namun, di dalamnya menyentub persoalan akidah (keyakinan) berupa khabar ghaib bahwa Allah ‘Azza wa Jalla membaca kedua surat tersebut seribu tahun sebelum penciptaan Adam Alayhi al-Salâm (dalam riwayat al-Tabrany, al- Baihaqy, Ibn Abi Ashim, dll) atau penciptaan Langit dan Bumi (dalam riwayat al-Darimy). Sementara ulama hadis menetapkan bahwa persoalan akidah tidak bisa ditetapkan (berhujjah) dengan hadis lemah (da’if), apalagi sangat lemah (da’if jiddan).
     Di antara kitab yang membahas persoalan akidah dan berhujah dengan hadi ini adalah Kitab al-Intisar fi al-Radd ‘ala al-Mu’tazilah al-Qadariyah al-Ashrar karya Abu al-Husain Yahya bin Abu al-Khair bin Salim al-‘Imrany al-Yamany al-Shafi’y (w. 558 H).[41]
D. Pemaknaan Hadis
     Secara umum, hadis yan diteliti mengandung dua permasalahan, (1) tentang masalah akidah, (2) masalah kedudukan dan keutamaan membaca surat Taha dan Yasin.
1. Masalah kedudukan al-Quran sebagai kalam Allah (ilmu kalam).
      Para ulama mencoba menginterpretasi makna qara’a yang dinisbatkan kepada Allah dalam hadis itu.[42] bahwa makna إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَرَأَ yaitu أظهر وأسمع وَأفهم كَلَامه من أَراَد من خلقه من الْمَلَائِكَة فِي ذَلِك الْوَقْت(yaitu Allah menampakkan dan memperdengarkan dan memahamkan kalam-Nya kepada siapa saja yang dikehendakinya dari makhluk-Nya dikalangan para malaikat pada saat itu), sebagaimana makna ini dapat ditemukan dalam ungkapan orang Arab ketika mengunakan kata qara’a.[43] Adapula yang berpendapat makna qara’a di sini adalah تكلم بِهِ (mengucapkannya) dan hal itu adalah majaz (makna simbolik).
      Hadis di atas dipakai oleh ulama kalam (teologian) untuk menetapkan bahwa Kalamullah Ta’ala adalah azali qadimun sabiq dibandingkan sejumlah kejadian yang terjadi (al-hamadith). Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memperdengarkan Kalam-Nya dan memahamkan kepada siapa yang dikehendakinya di suatu waktu dan zaman yang dikehendakinya bukan berarti wujud (eksistensi) penyampaian ucapan Kalam-Nya bergantung kepada waktu dan zaman tertentu.[44]
     Bahwa makna إِنَّ اللَّهَ – تَعَالَى – قَرَأَ طه وَيس yaitu menampakkan / memperdengarkan bacaan kedua surat tersebut dan menjelaskan pahala / ganjaran (thawab) membacanya. Menurut Ibn al-Malak makna qara’a adalah memahamkan pengertian kedua surat tersebut dan mengilhamkan kandungan maknanya. Sementara Ibn Hajar menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada sebagian Malaikat agar membacakan kedua surat itu kepada sebagian yang lainnya sebagai permakluman kepada mereka tentang kemuliaan kedua surat tersebut. Namun demikian menurut Ibn Hajar ada kemungkinan maknanya bersifat tektualis yaitu Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memperdengarkan kepada mereka (para Malaikat) Kalam Nafsi-Nya dengan kedua surat tersebut sebagai bentuk pemuliaan terhadap kedua surat tersebut. Hal memperdengarkan ini (Isma’) disebut qira’ah sebagaimana al-kalam al-nafsy disebut qur’an haqiqah.
     Makna lafal hadisقَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِأَلْفِ عَامٍ فَلَمَّا سَمِعَتِ الْمَلَائِكَةُ الْقُرْآنَmenunjukkan bahwa malaikat diciptakan sebelum penciptaan langit dan bumi beberapa waktu. Adapun kata طُوبَى artinya kondisi yang baik, ketenangan dan istrahat yang sempurna.
     Sementaraitu, Abu al-Hasan ‘Ubaid Allah bin Muhammad ‘Abd al-Salam al-Rahmany al-Mubarakfury (w. 1414 H) menolak adanya takwil dan menegaskan bahwa hadis tersebut tidak perlu dipalingkan darimakna ahkir-nya sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama yang dikutip oleh Mulla Ali al-Qary diatas. Seharusnya hadis tersebut dibiarkan sebagaimana dzahir teksnya karena hal itu lebih pasti. Surat Taha dan Yasin adalah bagian dari Al-Quran dan Al-Quran adalah Kalam Allah dan bukan makhluk. Allah berbicara jika dikehendaki-Nya pada waktu kapan saja dikehendaki-Nya, dengan cara bagaimanapun  sebagaimana dikehendaki-Nya tanpa ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya
(والقرآن كلام الله غير مخلوق، والله تعالى لم يزل متكلماً إذا شاء ومتى شاء وكيف شاء وكما شاء ليس كمثله شي)[45]
2. Masalah Kedudukan dan Keutamaan membaca Surat Taha dan Yasin
Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan para Malaikat ketika mendengar Surat Taha dan Yasin, mereka berkata: “Beruntunglah bagi umat yang diturunkan kepada mereka firman itu, dan beuntunglah hati yang menghafalnya, serta beruntunglah lisan-lisan yang membacanya”.
V. Kesimpulan
  1. Kualitas hadis al-Baihaqy nomor 2225 dalam Kitab Shu’ab al-I><ma>n tentang kedudukan Surat Taha danYasin serta keutamaannya dari segi sanad dan matan adalah dho’if jiddan.
  2. Dari aspek kehujahan hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah termasuk pula dalam masalah fada’il al-A’mal karena tidak memenuhi syarat penggunaan hadis dha’if untuk fadha’il a’mal yang disebutkan ulama hadis yang mu’tawa>sith.
  3. Dari aspek pemaknaan, hadis tersebut menggambarkan kedudukan mulia surat Taha dan Yasin dan juga tentang keutamaan membacanya. Di samping itu pula terdapat topik pembahasan tentang kedudukan al-Quran sebagai kalam Allah yang menjadi diskursus dalam masalah akidah (ilmu kalam).





Daftar Pustaka
‘Ajlī (al), Abū al-Ḥasan Aḥmad bin ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ. Ma’rifah al-Thiqāt min Rijāl Ahl al-‘Ilm wa al-Ḥadīth. Madinah: Maktabah Dār. 1984.
Baṣrī (al), Muḥammad bin Sa’d bin Manī’. al-Ṭabaqāt al-Kubrā. Beirut: Dār Ṣādir. 1968.
Bayhaqī (al), Abū Bakr Aḥmad bin al-Ḥusayn. al-Asmā` wa al-Ṣifāt. t.tp.: t.np.. t.th..
Bayhaqī (al), Abū Bakr Aḥmad bin al-Ḥusayn. Shu’ab al-Īmān. Beirut: Dār Kutub al-‘Ilmiyyah. 1989.
Bukhārī (al), Muḥammad bin Ismā’īl al-Tārikh al-Kabīr. Heidar Abad: Dāwrah al-Ma’ārif al-‘Uthmāniyyah. t.th..
Bustī (al), Muḥammad bin Ḥiban bin Aḥmad Abu Ḥatim. Mashāhir ‘Ulamā` al-Amṣār. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1959.
Dārimī (al), ‘Abdullāh bin ‘Abd al-Raḥmān. Sunan al-Dārimī. Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī. 1986.
Dhahabī (al), Shams al-Dīn Abū ‘Abdullāh Muḥammad bin Aḥmad. Siyar A’lām al-Nubalā`. Beirut: Muassasah al-Risālah. t.th..
Ghazālī (al), Abū Ḥāmid Muḥammad bin Muḥammad. Iḥyā` ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Ma’rifah. t.th..
Ibrāhīm, Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin. Rijal Ṣahīh al-Muslim. Beirut: Dār al-Ma’rifah. 1986.
Kathīr, Ismā’īl bin ‘Umar Ibnu. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Beirut: Dār Ibn Ḥazm. 2000.
Naysābūrī (al), Muḥammad bin ‘Abdullāh bin Muḥammad bin Hamdawayh. Tasmiyah Man Akhrajahum al-Bukhārī wa Muslim wa Ma Infarada Kullu wāhid minhumā. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Thaqāfah. 1986.
Qurṭubī (al), Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Aḥmad. al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`ān. Riyāḍ: Dār ‘Ālim al-Kutub. 2003.
Ṭabrānī (al), Abū al-Qāsim Sulaymān bin Aḥmad. al-Mu’jam al-Awsaṭ. Kairo: Dār al-Ḥaramayn. 1994.
Tha’labī (al), Aḥmad bin Muḥammad bin Ibrāhīm. al-Kashf wa al-Bayān. Beirut: Dār Iḥya` al-Turāth al-‘Arabī. 2002.



[1] Abū Bakr Amad bin al-usayn al-Bayhaqī, Shu’ab al-Īmān,  (Beirut: Dār Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 2:476. Abū Bakr Amad bin al-usayn al-Bayhaqī, al-Asmā` wa al-ifāt, (t.tp.: t.np., t.th.), 2:26.
[2] Amad bin Muammad bin Ibrāhīm al-Tha’labī, al-Kashf wa al-Bayān, (Beirut: Dār Iya` al-Turāth al-‘Arabī, 2002), 6:235.
[3] Abū ‘Abdillāh Muammad bin Amad al-Qurubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`ān, (Riyāḍ: Dār ‘Ālim al-Kutub, 2003), 11:164.
[4] Ismā’īl bin ‘Umar Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2000), 1205.
[5] Abū Ḥāmid Muammad bin Muammad al-Ghazālī, Iyā` ‘Ulūm al-Dīn, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, t.th.), 1:273.
[6] al-Bayhaqī, Shu’ab al-Īmān, 2:476.
[7] _____, al-Asmā` wa al-ifāt, 2:26.
[8] ‘Abdullāh bin ‘Abd al-Ramān al-Dārimī, Sunan al-Dārimī, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1986), 2:547.
[9] Abū al-Qāsim Sulaymān bin Amad al-abrānī, al-Mu’jam al-Awsaṭ, (Kairo: Dār al-Ḥaramayn, 1994), 5:133.
[10] Shams al-Dīn Abū ‘Abdullāh Muammad bin Amad al-Dhahabī, Siyar A’lām al-Nubalā`, (Beirut: Muassasah al-Risālah, t.th.), 4:13.
[11] Muammad bin iban bin Amad Abu atim al-Bustī, Mashāhir ‘Ulamā` al-Amṣār, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1959), 15.
[12] Muammad bin Sa’d bin Manī’ al-Barī, al-abaqāt al-Kubrā, (Beirut: Dār Ṣādir, 1968), 2:362.
[13] al-Dhahabī, Siyar A’lām, 4:47.
[14] Muammad bin Ismāīl al-Bukhārī, al-Tārikh al-Kabīr. (Heidar Abad: Dāwrah al-Ma’ārif al-‘Uthmāniyyah, t.th.), 366.
[15] Abū al-Ḥasan Aḥmad bin ‘Abdullāh bin Ṣāliḥ al-‘Ajlī, Ma’rifah al-Thiqāt min Rijāl Ahl al-‘Ilm wa al-Ḥadīth, (Madinah: Maktabah Dār, 1984), 91.
[16] Muḥammad bin ‘Abdullāh bin Muḥammad bin Hamdawayh al-Naysābūrī, Tasmiyah Man Akhrajahum al-Bukhārī wa Muslim wa Ma Infarada Kullu wāhid minhumā, (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Thaqāfah, 1986), 165.
[17] Aḥmad bin ‘Alī bin Muḥammad bin Ibrāhīm, Rijal ahīh al-Muslim, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1986), 425.
[18] Ibid.
[19] al-Jauzy, Al-Du’afa’ wa al-Matrukun. (Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1406), 206.
[20] Al-Dhahaby, Mizan al-I’tidal fi naqd al-Rijal.(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1382 H/1963 M), 189-190.
[21] Muhammad bin Khalil al-Tarablisy al-Shafi’i, Al-Kashf al-Hathith ‘amman Rumiya bi Wad’ al-Hadith. (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1407 H/1987 M), 195.
[22] Ibn Hajar al-Asqalany, Lisan al-Mizan. (Beirut: Muassasah al-A’lamy li al-Mat}bu’ah, 1390 H/1971 M), 2:299.
[23] Ibn Hibban al-Busty, Al-Majruwhin min al-Muhaddithin wa al-Du’afa’ wa al-Matrukin. (Halb: Dar al-Wa’y, 1396 H), 108.
[24] Ibn ‘Ady, Al-Kamil fi Du’afa’ al-Rijal. (Beirut: al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1418 H/1997 M), 352.
[25] Ibn ‘Ady, Al-Kamil.. Vol. 1, 353.
[26] Al-Dhahaby, Siyar A’lam al-Nubala’ (Kairo: Dar al-Hadith, 1427 H/2006 M), 76.
[27] Al-Mizzy, tahdhib al-Kamal.. Vol. 2, 208-209.
[28] Al-Dhahaby, Siyar A’lam al-Nubala’ Vol. 9 (Kairo: Dar al-Hadith, 1427 H/2006 M), 76.
[29] Al-Mizzy, ibid,. Vol. 2, 210.
[30] Muhammad bin Mukrim bin ‘Ali, Abu al-Fad{l Jamaluddin Ibn Madhur al-Ans}ary al-Afriqy. Mukhtas}ar Tarikh Dimashq li Ibn ‘Asakir.Vol. 8. ed. Ruhiyah al-Nuhas, dkk (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 1, 1402 H/1984 M), 54.
[31] Abu al-Qaasim Ibn ‘Asakir. Tarikh Dimasqi. Vol. 16. Ed. ‘Amr bin Gharamah al-‘Umary (Beirut: Dar al-Fikri, 1415 H/1995 M), 379.
[32] Al-Dhahaby, Siyar’…. , Vol. 16, 162-163
[33] Al-Baihaqy, Al-Sunan al-Kubra. Ed. Muhammad’Abd al-Qadir’Ata (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet. 3, 1424 H/2003 M.
[34] al-Baihaqy. Shu’ab al-Iman. Vol. 4. Ed. Abd al-‘Aly’Abd al-Hamid Hamid (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, Cet. 1, 1423 H/2003).
[35] Kami telah berusaha mencari datanya melalui banyak referensi. Hal yang sama juga dialami Seorang peneliti bernama ‘Abd al-Salam bin Muhsin Alu ‘Isa dalam  kitabnya Dirasah Naqdiyah fi al-Marwiyat al-Waridah fi Shakhsiyah ‘Umar bin al-Khattab wa Siyasatuh al-Idariyah radiyallahu ‘anhu. Vol. 2(Madinah: ‘Imadah al-Bahth al-‘Ilmybi al-Jami’ah al-Islamiyah, Cet.1, 1423 H/2002 M), 1046.
[36] Ibn Hajar al-Asqalany, Lisan al-Mizan. Vol. 4 (Beirut: Muassasah al-A’lamy li al-Matbu’ah, Cet. 2, 1390 H/1971 M), 299.
[37] Muhammad bin Khalil al-Tarablisy al-Shafi’i, Al-Kashf al-Hathith ‘amman Rumiya bi Wad’ al-Hadith. Ed. Subhi al-Samirai (Beirut: ‘Alam al-Kutub, Cet.1, 1407 H/1987 M), 195
[38] Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Kathir al-Qurasy al-Basry. Tafsir al-Quran al-Azim. Vol. 5. Ed. Muhammad Husain Shams al-Din (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet. 1, 1419 H), 240.
[39] Ibn Hibban al-Busty, Al-Majruwhin min al-Muhaddithin wa al-Du’afa’ wa al-Matrukin. Vol. 1. Ed. Mahmud Ibrahim Zayad (Halb: Dar al-Wa’y, Cet.1, 1396 H), 108.
[40] Ibn ‘Ady, Al-Kamil.. Vol. 1, 353
[41] Abu al-Husain Yahya bin Abu al-Khair bin Salim al-‘Imrany al-Yamany al-Shafi’y. Al-Intisar fi al-Radd ‘ala al-Mu’tazilah al-Qadariyah al-Ashrar . Vol. 2. Ed. Su’ud bin ‘Abd al-‘Aziz al-Khalf (Riyad} : Adwa’ al-Salaf, Cet. 1, 1419 H/1999 M), 561.
[42] Abu bakar Muhammad bin al-Hasan bin Fuwrak al-Ansary al-Asbahany (w. 406 H) dalam Mushkil al-Hadith wa Bayanuh. Ed. Musa Muhammad ‘Ali (Beirut: ‘Alam al-Kutub, cet. 2, 1985 M), 289,
[43] Ibid,. 290.
[44] Ali bin Sultan Muhammad, Abu al-HasanNur al-Din al-Mala al-Qary (w. 1014 H). Marqah al-Mafatih SyarhMishkah al-Mas{abih.Vol. 1. (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. 1, 1422 H/2002 M), 1479.
[45] Abu al-Hasan ‘Ubaid Allah bin Muhammad ‘Abd al-Salam al-Rahmany al-Mubarakfury (w. 1414 H). Mur’ah al-Mafatih Sharh Mishkah al-Masabi h.Vol. 7 (Banares: Idarah al-Buhuth al-‘Ilmiyahwa al-Da’wahwa al-Ifta’, Cet. 3, 1404 H/1984 H), 226.