PEMIMPIN IDEAL
MENURUT AL-QUR`AN
Oleh:
Muhammad Ibdaul Hasan A
I.
Pendahuluan
Setiap manusia tidak pernah lepas dari yang
namanya memimpin dan dipimpin. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad Ṣalla Allāh
Alayh wa Sallam bersabda:
عن عبد الله
بن عمر رضي الله عنهما : أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول كلكم راع
ومسؤول عن رعيته فالإمام راع وهو مسؤول عن رعيته والرجل في أهله راع وهو مسؤول عن
رعيته والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسؤولة عن رعيتها والخادم في مال سيده راع
وهو مسؤول عن رعيته[1]
Dari Abdullah bin Umar Raḍiya Allāhu
‘Anhuma, dia mendengar Rasulullah Ṣalla
Allāh Alayh wa Sallam bersabda: “Kamu semua adalah
pemimpin dan akan ditanyai tentang kepemimpinanmu. Seorang imam adalah pemimpin
dan akan ditanyai tentang kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin
dalam keluarganya dan akan ditanyai tentang kepemimpinannya. Seorang perempuan
adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan ditanyai tentang kepemimpinannya.
Seorang pembantu adalah pemimpin dalam harta majikannya dan akan ditanyai
tentang kepemimpinannya.
Semua yang ada di dunia membutuhkan pemimpin. Sebuah kerajaan atau negara membutuhkan
seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Sebuah rumah tangga pun
membutuhkan seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keluarganya.
Untuk menjadi pemimpin yang ideal, seseorang tentunya
harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Secara terpisah, Allah telah memberikan
isyarat mengenai kriteria-kriteria dalam al-Qur`an. Makalah ini akan
menjelaskan ayat-ayat yang mengisyaratkan kriteria-kriteria menjadi pemimpin
yang ideal.
II. Kriteria
Pemimpin Ideal
Secara bahasa pemimpin berasal dari kata pimpin
yang kemudian mendapat awalan ‘pe’ yang artinnya orang yang memimpin. Sedangkan
arti dari memimpin adalah mengetuai atau mengepalai suatu kelompok atau negara.[2]
Dalam al-Qur`an, Allah menjelaskan bahwa
salah satu tujuan diciptakannya manusia adalah supaya menjadi pemimpin. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
menjadkan khalifah di Bumi.”[3]
Dalam ayat tersebut pemimpin disebut dengan
istilah khalīfah. Jika dilihat
dari sejarah perkembangan Islam, istilah khalīfah dinisbatkan kepada seseorang yang memimpin umat
Islam, baik memimpin dalam hal agama maupun pemerintahan, setelah wafatnya Nabi
Muhammad Ṣalla Allāh Alayh wa Sallam.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal,
seseorang harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah disebutkan dalam
al-Qur`an, meliputi:
A. Fisik
Seorang pemimpin dikatakan ideal apabila mempunyai
postur fisik yang ideal pula. Postur fisik yang dimaksud di sini bukanlah hanya
postur tubuh, melainkan lebih luas dari itu. Kriteria yang dimaksud di sini
adalah kriteria yang dapat dilihat secara lahir, meliputi:
1. Penampilan
Penampilan merupakan hal penting yang harus
diperhatikan, apalagi bagi figur seorang pemimpin. Seseorang akan cenderung
menilai orang lain dari segi penampilan sebelum melihat yang lainnya. Secara
umum penampilan meliputi dua hal pokok, yaitu pakaian dan postur tubuh.
a.
Pakaian
Seorang pemimpin yang ideal harusnya memperhatikan
penampilan dalam hal berpakain. Pakaian yang dikenakan seseorang dapat
mencerminkan kewibawaan bagi pemakainya. Mengenai hal ini Allah Subḥānahu wa
Ta’ālā berfirman:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Dan bersihkanlah pakaianmu.[4]
Ayat tersebut turun bersamaan dengan perintah
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā kepada Nabi Ṣalla Allāh Alayh wa Sallam
supaya memberikan peringatan kepada masyarakat Makkah. Ini merupakan awal Nabi Ṣalla
Allāh Alayh wa Sallam menjadi pemimpin bagi umat manusia. Melalui wahyu
tersebut Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memerintahkan Nabi Ṣalla Allāh
Alayh wa Sallam supaya membersihkan pakaiannya, karena dengan pakaian yang
bersih dapat menjadikan kepantasan bagi pemakainya, apalagi bagi seorang
pemimpin. Karena itulah seorang pemimpin akan terlihat lebih baik jika memakai
pakaian yang bersih.
b.
Postur Tubuh
Selain pakaian, postur tubuh juga turut mempengaruhi
penampilan seseorang. Seorang pemimpin akan lebih berwibawa ketika dia
mempunyai postur tubuh ideal. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
قَالَ إِنَّ اللَّهَ
اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya
Allah telah memilih rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa.”[5]
Ayat tersebut bercerita tentang Bani Israil yang
meminta Nabinya supaya memilih raja untuk mereka. Sebagai tanggapan atas
permintaan tersebut, Allah memilih Ṭālūt untuk menjadi raja mereka.[6]
Allah memilih Ṭālūt, salah satu alasannya adalah karena dia
mempunyai postur tubuh yang perkasa. Tubuh yang perkasa dapat melambangkan
kekuatan fisik seseorang. Dengan tubuh perkasa, seorang pemimpin akan lebih
disegani rakyatnya. Karena itulah seorang pemimpin yang ideal harus mempunyai
postur tubuh ideal pula.
2. Keturunan
Dalam sistem pemerintahan monarki, kekuasaan akan
selalu berada di tangan kaum bangsawan. Seseorang yang bukan keturunan raja
tidak memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin. Ini tidak sesuai dengan apa
yang telah dicontohkan oleh al-Qur`an. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā
berfirman:
وَقَالَ لَهُمْ
نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى
يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ
Nabi mereka mengatakan
kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Ṭālūt menjadi
rajamu." Mereka
menjawab: “Bagaimana Ṭālūt memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya.”[7]
Ṭālūt adalah seorang pemimpin yang dipilih Allah untuk kaum Bani Israil. Ṭālūt
adalah seorang lelaki dari kalangan prajurit mereka, bukan berasal dari
keluarga raja mereka. Raja mereka berasal dari keturunan Yahudha, sedangkan Ṭālūt bukan dari keturunannya.[8]
Jika seorang pemimpin harus berasal dari keturunan raja, maka Allah tidak akan
memilih Ṭālūt menjadi raja mereka, karena Ṭālūt bukan
berasal dari keturunan raja. Tetapi kenyataannya Allah memilih Ṭālūt menjadi raja mereka. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa seorang
pemimpin tidak harus berasal dari keturunan raja, melainkan juga bisa berasal
dari rakyat biasa.
3. Kekayaan
Kekayaan akan harta benda mempunyai pengaruh yang
tinggi bagi pergerakan seorang pemimpin. Dengan harta yang banyak, seorang
pemimpin akan lebih mudah dalam merealisasikan kebijakan. Tetapi bukan berarti
pemimpin yang ideal adalah seseorang yang mempunyai banyak harta. Allah Subḥānahu
wa Ta’ālā berfirman:
وَلَمْ
يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat di atas. Ṭālūt sebagai raja yang dipilih oleh Allah untuk Bani Israil bukanlah orang
yang kaya. Dia hanyalah seorang lelaki miskin dari kalangan prajurit. Meskipun
begitu, dia tetaplah seorang pemimpin ideal karena alasan lain. Dari situlah
dapat diambil kesimpulan bahwa pemimpin yang ideal tidak harus orang yang
mempunyai kekayaan melimpah.
4. Golongan
Suatu golongan akan merasa lebih aman ketika
dipimpin oleh orang yang berasal dari golongan itu sendiri, kerana antara yang
memimpin dengan yang dipimpin mempunyai tujuan yang sama, sehingga tidak
mungkin saling mengkhianati. Mengenai hal ini Allah Subḥānahu wa Ta’ālā
berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ
خَبَالًا وَدُّوا مَاعَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا
تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْقِلُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar
kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan
bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar
lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya.[10]
Dalam
ayat tersebut Allah melarang orang mukmin menjadikan orang-orang yang di luar
golongannya, yaitu orang munafik atau kafir sebagai بطانة (teman kepercayaan). Maksud بطانة di sini adalah teman kepercayaan yang dapat
mengetahui rahasia pribadi seseorang.[11]
Allah melarangnya karena mereka hanya akan menyusahkan orang mukmin. Dari sini,
maka dalam hal kepemimpinan orang mukmin tidak diperbolehkan menjadikan orang
di luar golongannya sebagai pemimpin, karena hakikat pemimpin adalah orang
kepercayaan. Jadi pemimpin ideal bagi suatu golongan adalah yang berasal dari
golongan itu sendiri.
Dalam
ayat lain, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا
مُبِينًا
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?[12]
Dalam ayat tersebut, lafal أولياء dimaknai Departemen Agama sebagai wali. Sementa
menurut Ibnu Kathīr,
yang dimaksud dengan أولياء
dalam ayat ini ialah berteman dengan mereka, mempercayai, ikhlas, dan
merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka.[13]
Begitu juga dalam hal kepemimpinan, orang mukmin tidak diperbolehkan menjadikan
orang kafir sebagai pemimpinnya.
B. Non-Fisik
1. Kecerdasan
Cerdas dapat diartikan sebagai
kesempurnaan perkembangan akal budi
untuk berpikir, memahami dan memberi putusan.[14] Sifat cerdas merupakan kemampuan individu untuk memahami masalah, mencari solusinya,
mengukur solusi atau mengkritiknya, atau memodifikasinya.
Kecerdasan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi
eksistensi kepemimpinannya. Untuk memiliki kecerdasan yang tinggi, maka seorang
pemimpin harus memiliki ilmu yang luas. Hal ini, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي
الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya
Allah telah memilih rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa.”[15]
Untuk mewujudkan
kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat, dibutuhkan pemikiran besar dan inovatif serta
tindakan nyata. Kecerdasan dalam hal ini mencakup segala aspek
kecerdasan, baik kecerdasan emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual
(IQ). Jadi seorang pemimpin sebagai visioner haruslah orang yang berilmu,
berwawasan luas, cerdas, kreatif, dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai kisah
pemilihan Ṭālūt sebagai
pemimpim, Ṭālūt dipilih, juga karena memiliki keluasan ilmu. Ṭālūt dipilih
karena ilmu yang dimilikinya lebih luas daripada kaum Bani Israil pada umumnya.
Oleh karena
itu, pemimpin yang ideal harus memiliki ilmu yang luas.
2. Keikhlasan
وَلَا
تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ
dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.[16]
Dalam kitab Tafsīr al-Jalālayn dijelaskan bahwa lafaz tastakthiru dibaca rafa’,
berkedudukan sebagai ḥāl atau kata keterangan keadaan. Maksudnya,
janganlah kamu memberi sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh balasan yang
lebih banyak dari apa yang telah kamu berikan itu. Hal ini khusus berlaku hanya bagi Nabi Ṣalla Allāh Alayhi wa
Sallam. Karena sesungguhnya Nabi Ṣalla Allāh Alayhi wa
Sallam diperintahkan untuk
mengerjakan akhlak-akhlak yang paling mulia dan pekerti yang lebih baik.[17]
Mangenai makna ayat tesebut, al-Marāghī mengatakan, “Janganlah
engkau memberikan kepada sahabat-sahabatmu wahyu yang engkau beritahukan dan
sampaikan kepada mereka dengan mengharap engkau akan banyak memberikan hal itu
kepada mereka.” Bisa juga diartikan, “Janganlah
engkau merasa lemah.”[18] Al-Marāghī
menjelaskan bahwa dalam menyampaikan wahyu kepada sahabat, Nabi Muhammad diperintahkan
agar tidak mengharap apa yang diberikan kepada mereka akan membawa banyak hal
kepada mereka.
Pemimpin dalam menjalankan tugasnya untuk
masyarakat tidak boleh mengharapkan imbalan yang lebih, karena sudah menjadi
tugas pemimpin untuk melakukan yang terbaik untuk masyarakat tanpa harus
mendapatkan imbalan. Hal ini digambarkan oleh Nabi Ṣalla Allāh Alayhi wa
Sallam yang pada masa itu menjabat sebagai pemimpin umat Islam, sehingga
seorang pemimpin harus memiliki sifat ikhlas sebagaimana telah dicontohkan Nabi
Ṣalla Allāh Alayhi wa Sallam.
III. Sikap dalam
Menentukan Keputusan
A. Musyawarah
Seorang pemimpin tidak boleh egois dalam membuat
keputusan. Sebagai contoh, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
قَالَتْ
يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا
حَتَّى تَشْهَدُونِ
Berkata
dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku
tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majelis(ku).”[19]
Ayat ini bercerita tentang Balqis ketika menerima
surat dari Nabi Sulaymān Alayhi
al-Salām. Balqis merupakan contoh seorang pemimpin yang kafir yang kemudian
memperoleh hidayah. Ini merupakan pencapaian yang tinggi bagi seorang pemimpin. Balqis, dalam
menentukan keputusan tidaklah egois dengan meminta pertimbangan dan bermusyawarah
dengan penasihat-penasihatnya. Itulah salah satu kunci kesuksesan bagi Balqis.
Dari kisah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemimpin yang ideal yang
akan membawa kepada kesuksesan harus mengedepankan musyawarah dalam menentukan
keputusan.
B. Adil
1. Sesuai dengan
Kebenaran
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ
النَّاسِ بِالْحَقِّ
Hai Daud Alayhi al-Salām,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khālifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memberi wasiat agar memberikan penghukuman
diantara manusia dengan adil/benar.[20] Arti kebenaran disini ialah amanat, Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ sebagai pemberi amanah telah menentukan bahwa pemimpin itu harus
menegakkan hukum dan keadilan. Tanpa keadilan, yang akan berlaku adalah hukum
rimba: siapa yang kuat(siapa yang punya pasukan), maka dialah yang menang.
Dalam ayat surat An-Nisa’ Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan berbuat
adil dalam menyampaikan amanat إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا dan memberikan penghukuman yang adil أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ.
Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
kata khālifah digunakan oleh
al-Qur’an untuk siapa yang diberi kekuasaan memimpin wilayah, baik luas maupun
terbatas. Dalam hal ini Daud Alayhi al-Salām memimpin wilayah Palestina,
sedangkan Adam Alayhi al-Salām secara potensial atau aktual diberi tugas
mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
Jadi yang dimaksud kebenaran disini ialah
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, mencakup ucapannya dan
tindakannya.
2. Tidak Mengikuti Hawa Nafsu
Adapun pengertian hawa nafsu adalah sesuatu
yang disenangi oleh jiwa kita yang cenderung negatif, baik bersifat jasmani maupun
nafsu yang bersifat rohani. Nafsu yang bersifat jasmani yaitu sesuatu yang
berkaitan dengan tubuh kita seperti makanan, minum, dan kebutuhan biologis lainnya,
Nafsu yang bersifat rohani seperti, nafsu ingin diperhatikan orang lain, ingin
dianggap sebagai orang yang paling penting, paling pinter, paling berperan,
paling hebat, nafsu ingin disanjung. Hawa nafsu inilah yang mengakibatkan
pengaruh buruk / negatif bagi manusia. Dalam al-Qur’an memberikan peringatan
akan larangan mengikuti hawa nafsu dalam Q.S Shad ayat 26:
وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat.
Dalam tafsirannya ayat ini Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ memberi wasiat agar tidak memberi suatu pengadilan atau keputusan
dengan menggunakan hawa nafsu, sesungguhnya orang tersebut dikatakan sesat dari
jalan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.[21]
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ lafad ini dalam
tafsirannya bahwasanya Allah memilih Ṭālūt menjadi pemimpin diantara kalian dan Allah lebih mengetahui di antara
kalian semua. Nabi musa Alayhi al-Salām menjelaskan akan hal itu atas
bantahan dari bani Isra’il yang mengatakan bahwa Ṭālūt tidak layak menjadi pemimpin karna dia tidak termasuk orang yang kaya.[22]
Jadi yang dimaksud hawa nafsu disini ialah
hawa nafsu yang negatif, sehingga orang tersebut terjerumus dan menjadi sesat.
Dan hal ini sangatlah di benci oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, berbeda lagi dengan nafsu positif yang
mengantarkan diri kita lebih dekat dengan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
3. Tidak
Membeda-bedakan
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ
جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ
فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Mereka itu adalah
orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika
mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah
(perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu
sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara
itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
menyukai orang-orang yang adil.[23]
Apabila kalian memberi putusan diantara
kelompokmu maka putuskanlah dengan adil, maksudnya dengan kebenaran dan
keadilan, walaupun orang yang datang diantara kalian orang yang dholim
yang keluar dari jalan keadilan dan meminta putusan padamu maka putuskanlah
dengan adil dan benar, jikalau meminta putusan dengan didasari oleh nafsu
belaka maka berpalinglah dari mereka, maka mereka tidak akan memberi madharat
kepadamu sedikitpun.[24]
Pada ayat dalam Q.S Shad 26 Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ menegaskan kembali, فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
disini Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ menjadikan Nabi Dawud ‘Alayhi Wa Sallam sebagai khālifah di muka bumi, dan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
memerintahkan atau berwasiat kepada Nabi Dawud ‘Alayhi Wa Sallam untuk
memberi putusan diantara manusia dengan adil. Arti adil disini belum tentu
harus proposional atau setara pada setiap orang yang meminta putusan, akan
tetapi harus melihat sesuai dengan kebutuhan perorangan, tidak semua putusan
yang diberikan kepada orang satu sama dengan orang satu yang lainnya melainkan
harus melihat dengan kadar semampu orang tersebut bisa melakukannya.[25]
Dan ingat bahwa Allah tidak memberikan cobaan pada hambanya melebihi kemampuannya.[26]
Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang
pemimpin tidak boleh membeda bedakan suatu putusan pada seseorang, baik orang
itu dari golongan kita maupun tidak, yang berarti memberi keadilan pada setiap orang
sesuai dengan kadarnya dengan benar dan adil.
IV. Kesimpulan
Tiga
pokok untuk menjadi pemimpin yang ideal, meliputi:
1. pemimpin yang
memiliki pakaian dan postur fisik yang mumpuni untuk menunjang kinerjanya dan
penilaian orang lain. Dan pemimpin tidaklah harus dari golongan bangsawan atau
orang kaya.
2. Pemimpin harus dapat
dipercaya, amanah, adil dan cerdas yang meliputi: berintelektualan, berwawasan
luas dan berilmu tinggi.
3. Pemimpin harus ikhlas
dalam menjalankan tugasnya, dan lebih mementingkan kemaslahatan orang banyak
dari pada kepentingan sendiri.
Daftar Pustaka
Al
Qur’an Terj. Departemen Agama dalam Al-Qur`an al-Hadi, v1.1.
Bukhārī(Al), Muḥammad bin Ismā’īl, Ṣahīh al-Bukhārī, (Beirut: Dār
Ibnu Kathīr, 1987).
Damasyqî(Al),
Abu al-Fida’ Ismâ’îl, al-Qur’an al-Adzîm, (ttp: Dar Thaibah, 1999).
Ibnu Kathīr, Ismā’īl bin ‘Umar, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Beirut: Dār
Ibn Ḥazm, 2000).
Jalālayn(Al),
Jalāluddīn al-maḥallī dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālayn,
(Kairo: Dār al-Ḥadīth, t.th.)
KBBI offline v1.1.
Marāghī(Al), Aḥmad bin Muṣṭāfā, Tafsīr al-Marāghī, (t.tp: Ṣirkah
Maktabah wa Maṭba’ah Muṣṭāfā al-Bābī, 1946).
[2] KBBI offline v1.1.
[14] KBBI offline v1.1.
[17]
Jalāluddīn
al-maḥallī dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālayn, (Kairo: Dār al-Ḥadīth,
t.th.), 776
[18] Aḥmad bin Muṣṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (t.tp.: Ṣirkah Maktabah wa Maṭba’ah Muṣṭāfā al-Bābī, 1946), 29:127.
[20] Abu al-Fida’ Ismâ’îl al-Damasyqî, al-Qur’an
al-Adzîm, (ttp: Dar Thaibah, 1999), 7:62.
[21] Ibid., 7:62
[22] Ibid., 1:666
[24] Ibid., 3:113
[25] Ibid .,7:62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar