Senin, 21 Desember 2015

Pemimimpin Ideal dalam Perspektif Al-Qur'an

PEMIMPIN IDEAL MENURUT AL-QUR`AN
Oleh:
Muhammad Ibdaul Hasan A
I.                   Pendahuluan
Setiap manusia tidak pernah lepas dari yang namanya memimpin dan dipimpin. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad Ṣalla Allāh Alayh wa Sallam bersabda:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما : أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول كلكم راع ومسؤول عن رعيته فالإمام راع وهو مسؤول عن رعيته والرجل في أهله راع وهو مسؤول عن رعيته والمرأة في بيت زوجها راعية وهي مسؤولة عن رعيتها والخادم في مال سيده راع وهو مسؤول عن رعيته[1]
Dari Abdullah bin Umar Raḍiya Allāhu ‘Anhuma, dia mendengar Rasulullah Ṣalla Allāh Alayh wa Sallam bersabda: “Kamu semua adalah pemimpin dan akan ditanyai tentang kepemimpinanmu. Seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanyai tentang kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai tentang kepemimpinannya. Seorang perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan ditanyai tentang kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam harta majikannya dan akan ditanyai tentang kepemimpinannya.
Semua yang ada di dunia membutuhkan pemimpin.  Sebuah kerajaan atau negara membutuhkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Sebuah rumah tangga pun membutuhkan seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keluarganya.
Untuk menjadi pemimpin yang ideal, seseorang tentunya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Secara terpisah, Allah telah memberikan isyarat mengenai kriteria-kriteria dalam al-Qur`an. Makalah ini akan menjelaskan ayat-ayat yang mengisyaratkan kriteria-kriteria menjadi pemimpin yang ideal.

II. Kriteria Pemimpin Ideal
Secara bahasa pemimpin berasal dari kata pimpin yang kemudian mendapat awalan ‘pe’ yang artinnya orang yang memimpin. Sedangkan arti dari memimpin adalah mengetuai atau mengepalai suatu kelompok atau negara.[2]
Dalam al-Qur`an, Allah menjelaskan bahwa salah satu tujuan diciptakannya manusia adalah supaya menjadi pemimpin. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadkan khalifah di Bumi.”[3]
Dalam ayat tersebut pemimpin disebut dengan istilah khalīfah. Jika dilihat dari sejarah perkembangan Islam, istilah khalīfah dinisbatkan kepada seseorang yang memimpin umat Islam, baik memimpin dalam hal agama maupun pemerintahan, setelah wafatnya Nabi Muhammad Ṣalla Allāh Alayh wa Sallam.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal, seseorang harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah disebutkan dalam al-Qur`an, meliputi:
A.    Fisik
Seorang pemimpin dikatakan ideal apabila mempunyai postur fisik yang ideal pula. Postur fisik yang dimaksud di sini bukanlah hanya postur tubuh, melainkan lebih luas dari itu. Kriteria yang dimaksud di sini adalah kriteria yang dapat dilihat secara lahir, meliputi:
1.      Penampilan
Penampilan merupakan hal penting yang harus diperhatikan, apalagi bagi figur seorang pemimpin. Seseorang akan cenderung menilai orang lain dari segi penampilan sebelum melihat yang lainnya. Secara umum penampilan meliputi dua hal pokok, yaitu pakaian dan postur tubuh.


a.       Pakaian
Seorang pemimpin yang ideal harusnya memperhatikan penampilan dalam hal berpakain. Pakaian yang dikenakan seseorang dapat mencerminkan kewibawaan bagi pemakainya. Mengenai hal ini Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Dan bersihkanlah pakaianmu.[4]
Ayat tersebut turun bersamaan dengan perintah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā kepada Nabi Ṣalla Allāh Alayh wa Sallam supaya memberikan peringatan kepada masyarakat Makkah. Ini merupakan awal Nabi Ṣalla Allāh Alayh wa Sallam menjadi pemimpin bagi umat manusia. Melalui wahyu tersebut Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memerintahkan Nabi Ṣalla Allāh Alayh wa Sallam supaya membersihkan pakaiannya, karena dengan pakaian yang bersih dapat menjadikan kepantasan bagi pemakainya, apalagi bagi seorang pemimpin. Karena itulah seorang pemimpin akan terlihat lebih baik jika memakai pakaian yang bersih.
b.      Postur Tubuh
Selain pakaian, postur tubuh juga turut mempengaruhi penampilan seseorang. Seorang pemimpin akan lebih berwibawa ketika dia mempunyai postur tubuh ideal. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”[5]
Ayat tersebut bercerita tentang Bani Israil yang meminta Nabinya supaya memilih raja untuk mereka. Sebagai tanggapan atas permintaan tersebut, Allah memilih Ṭālūt untuk menjadi raja mereka.[6] Allah memilih Ṭālūt, salah satu alasannya adalah karena dia mempunyai postur tubuh yang perkasa. Tubuh yang perkasa dapat melambangkan kekuatan fisik seseorang. Dengan tubuh perkasa, seorang pemimpin akan lebih disegani rakyatnya. Karena itulah seorang pemimpin yang ideal harus mempunyai postur tubuh ideal pula.
2.      Keturunan
Dalam sistem pemerintahan monarki, kekuasaan akan selalu berada di tangan kaum bangsawan. Seseorang yang bukan keturunan raja tidak memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin. Ini tidak sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh al-Qur`an. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Ṭālūt menjadi rajamu." Mereka menjawab: Bagaimana Ṭālūt memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya.”[7]
Ṭālūt adalah seorang pemimpin yang dipilih Allah untuk kaum Bani Israil. Ṭālūt adalah seorang lelaki dari kalangan prajurit mereka, bukan berasal dari keluarga raja mereka. Raja mereka berasal dari keturunan Yahudha, sedangkan Ṭālūt bukan dari keturunannya.[8] Jika seorang pemimpin harus berasal dari keturunan raja, maka Allah tidak akan memilih Ṭālūt menjadi raja mereka, karena Ṭālūt bukan berasal dari keturunan raja. Tetapi kenyataannya Allah memilih Ṭālūt menjadi raja mereka. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin tidak harus berasal dari keturunan raja, melainkan juga bisa berasal dari rakyat biasa.
3.      Kekayaan
Kekayaan akan harta benda mempunyai pengaruh yang tinggi bagi pergerakan seorang pemimpin. Dengan harta yang banyak, seorang pemimpin akan lebih mudah dalam merealisasikan kebijakan. Tetapi bukan berarti pemimpin yang ideal adalah seseorang yang mempunyai banyak harta. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ
Sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak.[9]
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat di atas. Ṭālūt sebagai raja yang dipilih oleh Allah untuk Bani Israil bukanlah orang yang kaya. Dia hanyalah seorang lelaki miskin dari kalangan prajurit. Meskipun begitu, dia tetaplah seorang pemimpin ideal karena alasan lain. Dari situlah dapat diambil kesimpulan bahwa pemimpin yang ideal tidak harus orang yang mempunyai kekayaan melimpah.
4.      Golongan
Suatu golongan akan merasa lebih aman ketika dipimpin oleh orang yang berasal dari golongan itu sendiri, kerana antara yang memimpin dengan yang dipimpin mempunyai tujuan yang sama, sehingga tidak mungkin saling mengkhianati. Mengenai hal ini Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَاعَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.[10]
Dalam ayat tersebut Allah melarang orang mukmin menjadikan orang-orang yang di luar golongannya, yaitu orang munafik atau kafir sebagai بطانة (teman kepercayaan). Maksud بطانة di sini adalah teman kepercayaan yang dapat mengetahui rahasia pribadi seseorang.[11] Allah melarangnya karena mereka hanya akan menyusahkan orang mukmin. Dari sini, maka dalam hal kepemimpinan orang mukmin tidak diperbolehkan menjadikan orang di luar golongannya sebagai pemimpin, karena hakikat pemimpin adalah orang kepercayaan. Jadi pemimpin ideal bagi suatu golongan adalah yang berasal dari golongan itu sendiri.
Dalam ayat lain, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?[12]
Dalam ayat tersebut, lafal أولياء dimaknai Departemen Agama sebagai wali. Sementa menurut Ibnu Kathīr, yang dimaksud dengan أولياء dalam ayat ini ialah berteman dengan mereka, mempercayai, ikhlas, dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka.[13] Begitu juga dalam hal kepemimpinan, orang mukmin tidak diperbolehkan menjadikan orang kafir sebagai pemimpinnya.
B.     Non-Fisik
1.      Kecerdasan
Cerdas dapat diartikan sebagai kesempurnaan perkembangan akal budi untuk berpikir, memahami dan memberi putusan.[14] Sifat cerdas merupakan kemampuan individu untuk memahami masalah, mencari solusinya, mengukur solusi atau mengkritiknya, atau memodifikasinya.
Kecerdasan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi eksistensi kepemimpinannya. Untuk memiliki kecerdasan yang tinggi, maka seorang pemimpin harus memiliki ilmu yang luas. Hal ini, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”[15]
Untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat, dibutuhkan pemikiran besar dan inovatif serta tindakan nyata. Kecerdasan dalam hal ini mencakup segala aspek kecerdasan, baik kecerdasan emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ). Jadi seorang pemimpin sebagai visioner haruslah orang yang berilmu, berwawasan luas, cerdas, kreatif, dan memiliki pandangan jauh ke depan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai kisah pemilihan Ṭālūt sebagai pemimpim, Ṭālūt dipilih, juga karena memiliki keluasan ilmu. Ṭālūt dipilih karena ilmu yang dimilikinya lebih luas daripada kaum Bani Israil pada umumnya. Oleh karena itu, pemimpin yang ideal harus memiliki ilmu yang luas.
2.      Keikhlasan
وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ
dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.[16]
Dalam kitab Tafsīr al-Jalālayn dijelaskan bahwa lafaz tastakthiru dibaca rafa’, berkedudukan sebagai ḥāl atau kata keterangan keadaan. Maksudnya, janganlah kamu memberi sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh balasan yang lebih banyak dari apa yang telah kamu berikan itu. Hal ini khusus berlaku hanya bagi Nabi Ṣalla Allāh Alayhi wa Sallam. Karena sesungguhnya Nabi Ṣalla Allāh Alayhi wa Sallam diperintahkan untuk mengerjakan akhlak-akhlak yang paling mulia dan pekerti yang lebih baik.[17]
Mangenai makna ayat tesebut, al-Marāghī mengatakan, “Janganlah engkau memberikan kepada sahabat-sahabatmu wahyu yang engkau beritahukan dan sampaikan kepada mereka dengan mengharap engkau akan banyak memberikan hal itu kepada mereka. Bisa juga diartikan, “Janganlah engkau merasa lemah.[18] Al-Marāghī menjelaskan bahwa dalam menyampaikan wahyu kepada sahabat, Nabi Muhammad diperintahkan agar tidak mengharap apa yang diberikan kepada mereka akan membawa banyak hal kepada mereka.
Pemimpin dalam menjalankan tugasnya untuk masyarakat tidak boleh mengharapkan imbalan yang lebih, karena sudah menjadi tugas pemimpin untuk melakukan yang terbaik untuk masyarakat tanpa harus mendapatkan imbalan. Hal ini digambarkan oleh Nabi Ṣalla Allāh Alayhi wa Sallam yang pada masa itu menjabat sebagai pemimpin umat Islam, sehingga seorang pemimpin harus memiliki sifat ikhlas sebagaimana telah dicontohkan Nabi Ṣalla Allāh Alayhi wa Sallam.
III. Sikap dalam Menentukan Keputusan
A.    Musyawarah
Seorang pemimpin tidak boleh egois dalam membuat keputusan. Sebagai contoh, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
قَالَتْ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ
Berkata dia (Balqis): Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).[19]
Ayat ini bercerita tentang Balqis ketika menerima surat dari Nabi Sulaymān Alayhi al-Salām. Balqis merupakan contoh seorang pemimpin yang kafir yang kemudian memperoleh hidayah. Ini merupakan pencapaian yang  tinggi bagi seorang pemimpin. Balqis, dalam menentukan keputusan tidaklah egois dengan meminta pertimbangan dan bermusyawarah dengan penasihat-penasihatnya. Itulah salah satu kunci kesuksesan bagi Balqis. Dari kisah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemimpin yang ideal yang akan membawa kepada kesuksesan harus mengedepankan musyawarah dalam menentukan keputusan.
B.     Adil
1.      Sesuai dengan Kebenaran
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ   
Hai Daud Alayhi al-Salām, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khālifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memberi wasiat agar memberikan penghukuman diantara manusia dengan adil/benar.[20]  Arti kebenaran disini ialah amanat, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ sebagai pemberi amanah telah menentukan bahwa pemimpin itu harus menegakkan hukum dan keadilan. Tanpa keadilan, yang akan berlaku adalah hukum rimba: siapa yang kuat(siapa yang punya pasukan), maka dialah yang menang. Dalam ayat surat An-Nisa’ Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan berbuat adil dalam menyampaikan amanat إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا dan memberikan penghukuman yang adil أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ.
Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata khālifah digunakan oleh al-Qur’an untuk siapa yang diberi kekuasaan memimpin wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud Alayhi al-Salām memimpin wilayah Palestina, sedangkan Adam Alayhi al-Salām secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
Jadi yang dimaksud kebenaran disini ialah menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, mencakup ucapannya dan tindakannya.
2.  Tidak Mengikuti Hawa Nafsu
Adapun pengertian hawa nafsu adalah sesuatu yang disenangi oleh jiwa kita yang cenderung negatif, baik bersifat jasmani maupun nafsu yang bersifat rohani. Nafsu yang bersifat jasmani yaitu sesuatu yang berkaitan dengan tubuh kita seperti makanan, minum, dan kebutuhan biologis lainnya, Nafsu yang bersifat rohani seperti, nafsu ingin diperhatikan orang lain, ingin dianggap sebagai orang yang paling penting, paling pinter, paling berperan, paling hebat, nafsu ingin disanjung. Hawa nafsu inilah yang mengakibatkan pengaruh buruk / negatif bagi manusia. Dalam al-Qur’an memberikan peringatan akan larangan mengikuti hawa nafsu dalam Q.S Shad ayat 26:
وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat.
Dalam tafsirannya ayat ini Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memberi wasiat agar tidak memberi suatu pengadilan atau keputusan dengan menggunakan hawa nafsu, sesungguhnya orang tersebut dikatakan sesat dari jalan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.[21] إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ lafad ini dalam tafsirannya bahwasanya Allah memilih Ṭālūt menjadi pemimpin diantara kalian dan Allah lebih mengetahui di antara kalian semua. Nabi musa Alayhi al-Salām menjelaskan akan hal itu atas bantahan dari bani Isra’il yang mengatakan bahwa Ṭālūt tidak layak menjadi pemimpin karna dia tidak termasuk orang yang kaya.[22]
Jadi yang dimaksud hawa nafsu disini ialah hawa nafsu yang negatif, sehingga orang tersebut terjerumus dan menjadi sesat. Dan hal ini sangatlah di benci oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,  berbeda lagi dengan nafsu positif yang mengantarkan diri kita lebih dekat dengan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
3.      Tidak Membeda-bedakan
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menyukai orang-orang yang adil.[23]
Apabila kalian memberi putusan diantara kelompokmu maka putuskanlah dengan adil, maksudnya dengan kebenaran dan keadilan, walaupun orang yang datang diantara kalian orang yang dholim yang keluar dari jalan keadilan dan meminta putusan padamu maka putuskanlah dengan adil dan benar, jikalau meminta putusan dengan didasari oleh nafsu belaka maka berpalinglah dari mereka, maka mereka tidak akan memberi madharat kepadamu sedikitpun.[24] 
Pada ayat dalam Q.S Shad 26 Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan kembali, فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ  disini Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan Nabi Dawud ‘Alayhi Wa Sallam  sebagai khālifah di muka bumi, dan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan atau berwasiat kepada Nabi Dawud ‘Alayhi Wa Sallam untuk memberi putusan diantara manusia dengan adil. Arti adil disini belum tentu harus proposional atau setara pada setiap orang yang meminta putusan, akan tetapi harus melihat sesuai dengan kebutuhan perorangan, tidak semua putusan yang diberikan kepada orang satu sama dengan orang satu yang lainnya melainkan harus melihat dengan kadar semampu orang tersebut bisa melakukannya.[25] Dan ingat bahwa Allah tidak memberikan cobaan pada hambanya melebihi kemampuannya.[26]
Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh membeda bedakan suatu putusan pada seseorang, baik orang itu dari golongan kita maupun tidak, yang berarti memberi keadilan pada setiap orang sesuai dengan kadarnya dengan benar dan adil.
IV. Kesimpulan
       Tiga pokok untuk menjadi pemimpin yang ideal, meliputi:
1.      pemimpin yang memiliki pakaian dan postur fisik yang mumpuni untuk menunjang kinerjanya dan penilaian orang lain. Dan pemimpin tidaklah harus dari golongan bangsawan atau orang kaya.
2.      Pemimpin harus dapat dipercaya, amanah, adil dan cerdas yang meliputi: berintelektualan, berwawasan luas dan berilmu tinggi.
3.      Pemimpin harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya, dan lebih mementingkan kemaslahatan orang banyak dari pada kepentingan sendiri.




Daftar Pustaka
  Al Qur’an Terj. Departemen Agama dalam Al-Qur`an al-Hadi, v1.1.
  Bukhārī(Al), Muḥammad bin Ismā’īl, Ṣahīh al-Bukhārī, (Beirut: Dār Ibnu Kathīr, 1987).
  Damasyqî(Al), Abu al-Fida’ Ismâ’îl, al-Qur’an al-Adzîm, (ttp: Dar Thaibah, 1999).
  Ibnu Kathīr, Ismā’īl bin ‘Umar, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2000).
  Jalālayn(Al), Jalāluddīn al-maḥallī dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālayn, (Kairo: Dār al-Ḥadīth, t.th.)
  KBBI offline v1.1.
  Marāghī(Al), Aḥmad bin Muṣṭāfā, Tafsīr al-Marāghī, (t.tp: Ṣirkah Maktabah wa Maṭba’ah Muṣṭāfā al-Bābī, 1946).



[1] Muammad bin Ismāīl al-Bukhārī, ahīh al-Bukhārī, (Beirut: Dār Ibnu Kathīr, 1987), 2:848.
[2] KBBI offline v1.1.
[3] Al-Qur`an, 2:30, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[4] Al-Qur`an, 74:4, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[5] Al-Qur`an, 2:247, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[6] Ismā’īl bin ‘Umar Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Beirut: Dār Ibn azm, 2000), 313.
[7] Al-Qur`an, 2:247, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[8] Ismā’īl bin ‘Umar Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Beirut: Dār Ibn azm, 2000), 313.
[9] Al-Qur`an, 2:247, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[10] Al-Qur`an, 3:118, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[11] Ismā’īl bin ‘Umar Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Beirut: Dār Ibn azm, 2000), 394.
[12] Al-Qur`an, 4:144, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[13] Ismā’īl bin ‘Umar Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Beirut: Dār Ibn azm, 2000), 546.
[14] KBBI offline v1.1.
[15] Al-Qur`an, 2:247, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[16] Al-Qur`an, 74:6, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[17] Jalāluddīn al-maḥallī dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālayn, (Kairo: Dār al-Ḥadīth, t.th.), 776
[18] Amad bin Muṣṭāfā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (t.tp.: irkah Maktabah wa Maba’ah Muṣṭāfā al-Bābī, 1946), 29:127.
[19] Al-Qur`an, 27:32, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[20] Abu al-Fida’ Ismâ’îl al-Damasyqî, al-Qur’an al-Adzîm, (ttp: Dar Thaibah, 1999), 7:62.

[21] Ibid., 7:62
[22] Ibid., 1:666
[23] Al-Qur`an, 5:42, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.
[24] Ibid., 3:113
[25] Ibid .,7:62
[26] Al-Qur`an, 2:286, terj. Departemen Agama dalam al-Qur`an al-Hadi v1.1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar