Sabtu, 26 Desember 2015

Orientalis dalam Bidang Fiqh: Noel J. Coulson

Orientalis Dalam Bidang Fiqh
Oleh: Ahnad Ahzum dan
Muhammad Ibdaul Hasan
I.                   Pendahuluan
Kaum orientalis betul-betul menguras tenaga besar demi melakukan modernisasi terhadap hukum Islam. Mereka mengecam ilmu fikih sebagai ajaran yang statis dan kolot. Mereka mengajak melakukan reformasi terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Syariat menurut mereka tidaklah bersifat baku, karena kehidupan manusia mengalami perkembangan dan modernisasi. Sebenarnya tujuan mereka adalah memisahkan agama dari realitas kehidupan.
Gibb berkata, “Hasil murni dari gerakan pengajaran dan gerakan westernisasi ini adalah keberhasilan melepaskan masyarakat Islam dari kekuasaan agama tanpa dirasakan secara umum oleh masyarakat Islam sendiri. Poin ini saja sudah merupakan permata berharga bagi setiap gerakan westernisasi yang efektif di dunia Islam.” Kaum orientalis yakin bahwa hukum-hukum atau undang-undang tidak masuk dalam pengertian agama. Dengan alasan itu, berarti negara tidak bisa tunduk kepada agama. Hasilnya, banyak hal yang keluar dari ruang lingkup ajaran Islam, seperti ekonomi, sosial, dan politik. Di antara kesesatan mereka yang lain adalah provokasi untuk melenyapkan kekhalifahan. Gibb berkata, “Kaum muslimin yang memiliki orientasi berpikir sekuler dan nasionalis tentu setuju untuk melenyapkan kekhalifahan.”[1]
Tujuan mereka tentu saja untuk memisahkan agama dengan hukum politik. Orientalis Wilfred Smith melemparkan syubhat modernisasi ajaran Islam dengan membandingkan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimallahu Ta’ala dengan Jamaludin Al-Afghani. Menurutnya, Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimallahu Ta’ala mempropagandakan ajaran Islam kuno, sementara Al-Afghani menggabungkan karakter Islam dan pendapat Barat. Menurutnya, Al-Afghani adalah orang modern. Kenyataannya, Al-Afghani ternyata terlibat dalam gerakan Freemasonry. Penyelidikan juga menyatakan bahwa ia penganut Mazindaroni, salah satu anak cabang Syiah Rafidhah.
Kebalikannya, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimallahu Ta’ala adalah mujaddid yang berusaha mengembalikan nilai-nilai Islam yang murni. Begitulah serangan orientalisme terhadap Islam. Anehnya beberapa pemikir muslim ternyata mengikuti langkah-langkah orientalis ini dan jadilah mereka menghujat ajaran-ajaran Islam seperti Ahmad Amin, Thaha Husain, Abu Rayyah. Mayoritas pemikiran orientalisme adalah barang berbahaya bagi Islam. Seorang muslim yang membaca buku-buku karya orientalis hendaknya mempunyai pengetahuan yang benar dan cukup tentang Islam yang sebenarnya sehingga tidak terjebak pada ide-ide kaum kuffar yang menipu. Bagaimana pun juga, Allah akan terus membangkitkan ulama’ untuk membantah pemikiran-pemikiran mereka. Dari uraian ini setidaknya pemakalah akan paparkan pandangan Orientalis dalam bidang fiqh.
II.                Teori Orientalis Terhadap Syari’at
A.    Pandangan Noel J. Coulson
Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya.[2] Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson.[3] Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syariâat agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syariâah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama’ dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah Subhânahu wa Ta’âlâ wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi Islam normatif dan Islam historis. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir hanyalah merupakan sebuah cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan realitas yang terjadi pada umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai orang Indonesia pada khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya, dimana historis yang harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis dan memegang teguh keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui dengan disesuaikan dengan nash Qur’an dan Hadis.[4]
B.     Hamilton A.R. Gibb
Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat sewenang-wenang authoritarian to the last degree (otoriter sampai akhir derajat), kata Hamilton A.R. Gibb.[5] Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan sama menolak mentah-mentah implementasi Syariat di Indonesia negeri yang lebih dari sembilan puluh persen penduduknya beragama Islam karena dinilai menghukum sewenang-wenang. Padahal terdapat banyak data historis betapa luwes dan luasnya praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini, sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.
III.             Kelompok Pemikir Utama Dalam Kajian Hukum Islam
Kelompok Pemikiran Utama dalam Kajian Hukum Islam Pada dasarnya pendekatan sejarah dalam kajian hukum Islam di barat berorientasi pada dua kelompok pemikiran utama yang oleh J. Koren disebut sebagai kelompok tradisionalis dan revisionis.[6]
1.      Kelompok Tradisionalis
Kelompok tradisionalis secara umum, mereka mengkaji hukum Islam melalui literature-literatur yang ditulis oleh orang arab atau orang Islam. Menurut mereka literature tersebut dapat dijadikan sebagai bahan sumber kajian Islam, dan setiap fakta dan data yang ada dipandang benar selama tidak ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya, salah satu pendukung kelompok tradisionalis adalah Montgomery Watt, ia merefleksikan dukungannya melalui karya-karyanya seperti: Muhammad rophet and statesmen. Adapun dalam bidang hukum, antara lain dapat disebutkan nama-nama seperti David S Power dan Wael B Hallaq.
2.      Kelompok Revisionis
Sementara kelompok revisionis lebih ekstrem terhadap Islam, bahkan mereka menyatakan bahwa Islam itu sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran hukum, menurut mereka hampir seluruh formulasi hukum yang ada merupakan hasil jiplakan dari aturan agama sebelumnya, khususnya yahudi dan terkait dengan literature Arab atau Islam yang ada, merupakan upaya menjustifikasi kebenaran dan kehebatan Islam, bukan sebagai data-data sejarah. Akibatnya dalam banyak hal ditemukan sejumlah pendapat yang tidak factual atau kontradiktif. Salah satu contoh adalah hadis Nabi yang menjelaskan tentang pernikahan Nabi pada saat melakukan haji, di satu pihak sumber yang ada menyebutkan Nabi melakukannya pada waktu haji dan sementara di pihak lain menyebutkan sesudahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya silang pendapat di kalangan fuqaha’, apakah kawin pada saat haji itu boleh atau tidak. Kedua kelompok ini saling bertentangan, bahkan diantra mereka saling mengkritisi karya yang satu dengan yang lain, seperti kasus Montgomery Watt ia menyatakan bahwa Mekkah merupakan pusat dan jalur lalu lintas perdagangan, sehingga posisi strategis ini menjadi arti penting dalam penyebaran Islam, pandangan ini ditolak oleh Patricia Crone dengan menyatakan bahwa kota segersang Mekkah tidak mungkin memproduksi bahan yang menarik perhatian luar, oleh karena itu menurutnya perlu fakta lain untuk mengungkapkan kenapa Islam menyebar dengan cepat kewilayah diluar Mekkah. Namun menurut Rodinson bahwa terdapat perbedaan bahkan kontradiksi antara data yang ditulis pengarang satu dengan yana lain, akan tetapi secara tegas Rodinson menyatakan hal itu bukanlah suatu alasan untuk menolak karya orang-orang Arab atau Islam, selain Rodinson, Serjeant juga mengecam hasil penelitian Crone dengan menuduhnya sarjana yang tidak mempunyai bekal bahasa Arab yang memadai dan Crone sendiri menanggapi bahwa serjeant terkesan mengadangada dan sikapnya itu disebabkan karena fanatisme seorang Arab. Tujuan kaum revisionis ialah menghapus sejarah Islam secara menyeluruh dan pemalsuan terhadap sejarah islam, dengan berbagai upaya pengaburan terhadap ajaran Islam, demi sebuah ideologi dan arena politik. Adapun yang menjadi tujuan utama mereka adalah memberikan proteksi yang kuat terhadap agama Kristen dalam menghadapi arus kemajuan agama Islam. Sekarang muncul metode baru dikalangan ilmuwan barat dalam menyerang tradisi buku-buku tafsir yang menuntut pembaharuan. Dengan alasan hak tersendiri dalam menafsirkan kitab suci. Basetti Sani dan Youakim Moubarak keduanya bersikeras bahwa tafsiran Al-Qur’an mesti dibuat sejalan dengan ukuran kebenaran agama Kristen, dan pernyataan mereka mendapat acungan jempol dari W.C. Smith dan Kenneth Cragg, sebagai seorang pemimpin gereja Anglican, Cragg menekankan agar umat Islam menghapus semua ayat yg diturunkan di Madinah (dengan penekanan dibidang politik dan hukum) guna mempertahankan esensi ayat-ayat Makkiyah yang secara umum lebih menyentuh masalah KeEsaan Tuhan (Monotheism) dimana ayat Madaniyyah dianggap meremehkan nilai keTuhanan dari esensi pernyataan Tiada Tuhan Selain Allah. Konsep pemikiran ini bermaksud untuk menggoyangkan orang-orang yg lemah iman dan was-was dengan menggunakan senjata. Sikap ini kaum orientalis yg selalu menghujat al-Qur’an agar semakin mudah menerima ideology Barat.
IV.             Dasar Teori Kajian Orientalis dalam Figh Islami
Setiap penelitian ilmiah pakai metode, dan setiap metode punya teori, dan setiap teori mengandung hipotesis atau presuposisi yakni pendapat-pendapat yang kebenarannya memang dianggap tak perlu dan tak boleh sengaja tidak dipertanyakan, sebab jika dipersoalkan niscaya penelitian tersebut mustahil terlaksana, sebab si peneliti harus membuktikan dulu kebenaran presuposisi tersebut sebelum ia dapat memulai risetnya. Maka untuk menghindari sirkularitas alias muter-muter, dianggaplah dan diyakini sajalah presuposisi itu seolah-olah sudah atau bahkan pasti benar. Berikut ini sejumlah teori dan presuposisi yang mendasari kajian orientalis mengenai Syariat dan fiqh Islam.
A.    Teori Evolusi
Ignaz Goldziher yang sering kali secara panjang lebar menulis bahwasanya hukum Islam itu mengalami perkembangan dan pemekaran. Dalam arti, tidak langsung matang, lengkap atau tertib dari permulaan, akan tetapi melalui proses panjang dari masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, pematangan dan akhirnya kemerosotan. Semua itu konon terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa ke masa.[7] Teori yang menyertai pendekatan historis ini menjadi rukun iman orientalisme yang digigit kuat-kuat oleh para pengkaji sezaman maupun sesudahnya Alois Sprenger, David Samuel Margoliouth, Duncan B. Macdonald, dan E. Graf. Padahal realitas saat ini yang dianggap kemerosotan itu adalah aplikasi umat yang kurang sesuai, bukan hukumnya yang tidak sesuai. Fiqh kontemporer yang saat ini digalakkan ulama-ulama merupakan salah satu bentuk usaha untuk menggali hukum untuk problematika baru, dengan tetap berpijak pada Hukum aslinya. Para ulama kontemporer, dengan tetap berpegang pada fiqh yang ada, menggali hukum untuk problematika yang baru, bukan menggali hukum baru.
B.     Teori Pesamaan Ilmu
Teori yang juga merupakan asas dari metode penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan bahwasanya agama seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni adalah hasil budi daya dan reka cipta manusia. Ia muncul berasal dari pergaulan antar anggota masyarakat, bangsa tertentu dengan bangsa lainnya. Maka Islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi). Bertolak dari andaian ini para orientalis mencaricari apa yang mereka percaya sebagai asal-usul, sumber, atau unsur-unsur asing yang mempunyai kesan atau pengaruh terhadap ajaran-ajaran Islam. Para orientalis umumnya mendakwa sebagian besar ajaran Islam berkenaan aqidah dan ibadah diambil dari doktrin dan tradisi agama Yahudi ataupun Nasrani. Demikian menurut Rudolf Macuch, Carl H. Becker, A.J. Wensinck, I.K.A. Howard, Uri Rubin, Georges Vajda, C.S. Hurgronje, H. Lazarus-Yafeh, dan lain-lain. Khusus mengenai fiqh dan ushul fiqh sebagai disiplin ilmu, metodologi, dan falsafah perundang-undangan, maka Alfred von Kremer, I. Goldziher, G. Bergsträsser, Joseph Schacht, G.-H. Bousquet, Judith R. Wegner, Patricia Crone, Norman Calder, Harald Motzki, Christopher Melchert, dan Wael B. Hallaq. Semua orientalis ini pada intinya sebulat suara bahwasanya fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu baru muncul pada abad kedua atau ketiga Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari praktik masyarakat yang tetap terpelihara turun-temurun alias living traditions istilah Schacht yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh sekelompok cendekiawan hingga lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu. Hadis beserta sanadnya dicipta sebagai alat justifikasi suatu tindakan atau pendapat tertentu dalam polemik antar mazhab. Imam as-Syafi’i dinilai berjasa sebagai pengasas ushul fiqh akan tetapi juga dituduh bersalah sebagai pengunci pintu ijtihad dan penyebab kemandekan fiqh. Demikian pendapat Schacht dan para pengekornya.[8]
C.    Teori Kebohongan atau Manipulasi
Teori yang menuding adanya semacam konspirasi para cendekiawan pada abad-abad kedua, ketiga dan keempat Hijriah untuk menipu publik dengan menyuapkan Hadis dan sebagainya ke mulut Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Dengan kata lain, orientalis menuduh ulama terdahulu telah melakukan kebohongan publik dengan bersepakat atas hadis yang mereka buat sendiri, tetapi disandarkan kepada Nabi. Sarjana orientalis semisal Motzki memuji seorang rekannya yang katanya telah mendemonstrasikan dengan contoh-contoh bagaimana tradisi sahabat menjadikan Hadis dari Nabi.
V.                Kesimpulan
Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya.[9] Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson.[10] Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syariâat agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syariâah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama’ dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah Subhânahu wa Ta’âlâ wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi Islam normatif dan Islam historis. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir hanyalah merupakan sebuah cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan realitas yang terjadi pada umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai orang Indonesia pada khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya, dimana historis yang harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis dan memegang teguh keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui dengan disesuaikan dengan nash Qur’an dan Hadis.[11]
Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat sewenang-wenang authoritarian to the last degree (otoriter sampai akhir derajat), kata Hamilton A.R. Gibb.[12] Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan sama menolak mentah-mentah implementasi Syariat di Indonesia negeri yang lebih dari sembilan puluh persen penduduknya beragama Islam karena dinilai menghukum sewenang-wenang. Padahal terdapat banyak data historis betapa luwes dan luasnya praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini, sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.



Daftar Pustaka
Abdullah, Amir, Mencari Islam Study Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Jogja, 2000).
Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS, 2003).
Coulson, Noel J., The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990).
Gibb, H. A. R., Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
Goldziher, Ignaz, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa Hesri Setiawan , (Jakarta: INIS, 1991). 
Mutawalli, Abdul Hamid, Asy-Syariat al islamiyah wa Mauqifu Ulamaâ Al-Musttasyriqin, (Cairo:t.tp, 1976).
Nur, Ma’mun Efendi, Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah WALISONGO Fak. Da’wah (t.tp: t.np, 1994).
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The Clorendon Press, 1965).



[1] H. A. R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal: 28.
[2] Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990), hal:20.
[3] Abdul Hamid Mutawalli , Asy-Syariat al islamiyah wa Mauqifu Ulamaâ Al-Musttasyriqin, (Cairo:t.tp, 1976), hal: 30.

[4] Ma’mun Efendi Nur, Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah WALISONGO Fak. Da’wah (t.tp: t.np, 1994), hal: 45.
[5] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS, 2003), hal: 50.
[6] Amir Abdullah, Mencari Islam Study Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Jogja, 2000), hal 149.
[7] Ignaz Goldziher, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa Hesri Setiawan , (Jakarta: INIS, 1991).
[8] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The Clorendon Press, 1965), hal: 34-35.
[9] Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990), hal:20.
[10] Abdul Hamid Mutawalli , Asy-Syariat al islamiyah wa Mauqifu Ulamaâ Al-Musttasyriqin, (Cairo:t.tp, 1976), hal: 30.
[11] Ma’mun Efendi Nur, Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah WALISONGO Fak. Da’wah (t.tp: t.np, 1994), hal: 45.
[12] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS, 2003), hal: 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar