FAṬḤ AL-QADĪR:
KONSEP PENGGABUNGAN RIWAYAH DAN DIRAYAH
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan Am Asroh
I.
Pendahuluan
Penafsiran al-Qur`an terus berlangsung dari masa ke masa, sejak
masa Nabi Muhammad ṣallā Allah ‘alayhwasallam masih hidup hingga masa
kontemporer ini. Tentu saja dalam jangka waktu yang sangat panjang tersebut,
metode penafsiran al-Qur`an oleh para penafsir mengalami perubahan serta
perkembangan. Perubahan dan perkembangan ini dipengaruhi oleh latar belakang
serta kondisi lingkungan dari seorang penafsir.
Jika pada masa klasik para penafsir masih mendominasikan penafsiran
dengan riwāyah, maka pada masa setelah itu para penafsir mulai
mengembangkan penafsiran mereka dengan metode dirāyah, yaitu penafsiran
berdasarkan ijtihad. Jadi, dalam menafsiri ayat yang berkaitan dengan hukum,
mereka melakukan istinbāṭ dan membuat kaidah uṣūl al-fiqh yang
baru. Dengan begitu, permasalahan yang terus berlanjut dan berubah di setiap
masa dapat teratasi dengan solusi penafsiran ijtihad, tanpa terikat hanya pada riwāyah
saja.
Akan tetapi, tidak sedikit para penafsir ijtihad yang justru
kehilangan arah disebabkan lebih mengutamakan dirāyah hingga akhirnya
melupakan riwāyah. Bahkan yang lebih parah lagi, ada sebagian mereka
yang berdalil bahwa Nabi dan para sahabat juga manusia yang memiliki akal sama
seperti mereka, dan menyamakan otoritas ijtihad mereka dengan riwāyah dari
Nabi juga sahabat. Penafsiran seperti inilah yang juga harus dijauhi oleh umat
muslim.
Selain mereka, terdapat juga para penafsir yang mengutamakan riwāyah,
akan tetapi terasa tidak lengkap karena semua riwāyah hanya berganti
dari lisan ke lisan, tanpa adanya suatu pengembangan. Yang disayangkan adalah,
para penafsir menjadi berhenti pada satu penafsiran yang sama satu dengan yang
lain. Padahal, ilmu yang terdapat dalam al-Qur`an sangatlah luas dan tidak
terukur.
Maka dari itu, al-Shawkānī, seorang cendekiawan muslim abad 12 H,
mencoba menafsirkan al-Qur`an dengan menggabungkan kedua metode tersebut secara
merata. Ia bertujuan melakukan penafsiran dengan ijtihad tanpa melupakan
penafsiran riwāyah, tanpa memberi dominasi pada salah satu dari
keduanya. Alhasil, buku tafsirnya yang ia namai Faṭḥ al-Qadīr pun menjadi kitab
yang kaya akan ilmu, dan tetap langgeng dikaji sampai sekarang. Maka dalam
makalah ini akan membahas mengenai biografi al-Shawkānī, karyanya, metode penafsiran
serta kekurangan dan kelebihanya.
II.
Mengenal
Kitab Faṭḥ al-Qadīr
A.
Biografi
Al-Shawkānī
Nama aslinya adalah Muḥammad bin ‘Alī bin Muḥammad bin ‘Abdullāh al-Ḥasan
bin Muhammad bin Ṩalāḥ bin Ibrāhīm bin Muhammad al-‘Afīf al-Shawkānī.Dikatakan
bahwa nasabnya bersambung pada Nabi Hūd ‘alayhal-salām.[1]Ia
adalah seorang Imam yang berasal dari Yaman. Ia dilahirkan di Ṣan’ā` ibukota Yaman,
pada hari Senin disiang hari pada tanggal 27 Dzulqa’dah1172 H. Kemudian ia
wafat pada malam Rabu tanggal 27 Jumādil Akhir 1250 H.[2]
Al-Shawkānī adalah seorang Muftī yang luas ilmunya, juga
seorang tokoh agama yang paling tersohor pada saat itu. Al-Shawkānī menjadi
seorang Muftī pada usia 20 tahun. Banyak permintaan fatwa yang datang
dari luar kota Ṣan’ā padahal guru-gurunya saat itu masih hidup. Al-Shawkānī
juga pernah mempelajari ilmu matematika, psikologi, etika, dan fisika. Ia juga
ahli dibidang tafsir al-Qur`an dan hadis yang menolak segala bentuk bid’ah.
Dalam sehari al-Shawkānī mengajar dan belajar lebih dari 10 kajian
dengan berbagai disiplin ilmu. Pada awal belajarnya, al-Shawkānī banyak
menelaah kitab-kitab tarikh dan adab. Kemudian ia menempuh perjalanan
mencari riwayat hadis dengan cara talaqqī kepada para ahli hadis hingga ia
mencapai derajat al-Imām dalam ilmu hadis.[3]
Al-Shawkānī juga mengitari kota Ṩan’ā` untuk menuntut ilmu pada
banyak guru. Di antara guru-gurunya adalah Muhammad bin ‘Abdurrahmān al-Kubasī,
‘Alī bin Ḥasan al-Kubasī, al-Hasan bin Muhammad al-Aḥfash, al-Qāḍī Muhṣin bin
Ahmad al-‘Ābid.
Pada permulaannya mencari ilmu, al-Shawkānī mengikut mazhab
Zaydiyah yang dinisbatkan pada Zayd bin ‘Alī bin al-Husayn bin ‘Alī bin Abī Ṭālib.[4]
Akan tetapi kemudian al-Shawkāni meninggalkan mazhab Zaydiyah dan mengikuti
mazhab Ahlal-Sunnahwaal-Jamā’ah. Sebagai buktinya, salah satu kitab karangannya
yaitu Naylal-Awṭār merupakan kitab Ahlal-Sunnah.[5]
B.
Karya-karya
Al-Shawkānī
Al-Shawkānī telah menulis 278 karya, tetapi yang sempat dicetak hanya
ada 38 kitab, diantanya:
- Ittihāf al-Akābir biIsnād al-Dafātir (1328 H).
- Ibṭāl Da’wā al-Ijmā’ ‘alā Muṭlāq al-Simā’ (1328 H).
- Irshād al-Thiqāt ilā Ittifāq al-Sharā`i’
‘alā al-Tawhīd waal-Mu’ād waal-Nubuwwāt
(1395 H).
- Irshād al-Fuḥūl ilā Tahqīq al-Haqq min
‘Ilmal-Uṣūl (1365 H).
- Irshād al-Sā`il ilā Dalīl al-Masā`il (1395 H).
- Bahthu fī Wujūb Mahabbatillāh (1395 H).
- Bahthu fī al-Istidlāl ‘alā Karamāt
al-Awliyā (1395 H).
- Tanbīh al-I’lām ‘alā Tafsīr al-Mutashābihāt
Baynaal-Halāl waal-Harām (1340 H).
- Jawāb al-Su`āl Yata’allaqubi Mā Warada fī
al-Hiḍīr ‘Alayhal-Salām (1395 H).
- Jawāb al-Sā`il ‘anTafsīr Taqdīr al-Qamar
Manāzil (1395 H).
Karya-karyanya yang terkenal adalah:[6]
1.
Dalam
tafsir: Faṭḥal-Qadīr al-Jāmi’ Bayna Fanayal-Riwāyah waal-Dirāyah.
2.
Dalam
fiqh: al-Saylal-Jarār al-Mutadaffiq ‘alā Hadā`iqal-Azhār, yaitu sharh
dari kitab al-Azhār fī Fiqh Ālial-Bayt.
3.
Dalam
hadits: Naylal-Awṭār Sharhal-Muntaqāal-Akbar.
III. Metode Penafsiran
al-Shawkānī
Penulisan
tafsir Faṭḥ al-Qadīr dilakukan dengan metode taḥlīlī. Metode taḥlīlī sendiri
adalah penafsiran dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana
tercantum di dalam mushaf.[7]
Dalam pendahuluan kitab, al-Shawkānī
menegaskan bahwa mayoritas penafsir itu terbagi menjadi dua golongan. Golongan
pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka dengan jalan riwayat saja.
Sedangkan golongan kedua memfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat.[8]
Maka dari itu, al-Shawkānī hendak menggabungkan kedua metode tersebut secara
sistematis dan teratur supaya dapat menghasilkan penafsiran yang lebih sempurna
lagi.
Dalam menafsirkan ayat, umumnya
al-Shawkānī memulai dengan menjelaskan lafaz yang dianggap gharīb, lalu
menjelaskan kaidah nahwu dan perbedaan qirā`at menurut al-qāri`
lain.
Kaidah nahwupun dijelaskan
dengan panjang lebar oleh al-Shawkānī. Dalam menjelaskannya, disertakan pula
pendapat ulama lain serta syair-syair Arab berkaitan dengan lafaz yang
dijelaskan. Di antara ulama yang sering dikutip al-Shawkānī adalah Imam
Sībawayh.
Contohnya adalah seperti pada
penafsiran potongan ayat berikut:
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ
بِهِ وَالْأَرْحَامَ[9]
Dalam penafsirannya disebutkan bahwa
Qatādah dan Ḥamzah membaca lafaz الْأَرْحَامَ dengan jarr, karena aṭaf pada ḍamīr pada
lafaz بِهِ . Lalu dijelaskan bahwa qirā`at tersebut
diperbolehkan oleh Sībawayh ketika ḍarūrat naẓam, berdasarkan syair:[10]
فاليوم قربت تهجونا وتمدحنا ○ فاذهب فما بك والأيام من عجب
Lalu tidak semua penafsiran ayat
disertakan riwāyah. Jika penafsiran dilakukan dengan dirāyah,
maka al-Shawkānī lebih dulu mendahulukan pendapat para ulama mufassir
lalu menguatkan salah satunya. Namun, tidak jarang juga al-Shawkānī langsung
mengeluarkan ijtihād-nya, seperti dalam penafsiran:
الطَّلَاقُ
مَرَّتَانِ[11]
Al-Shawkani berpendapat bahwasanyatalak
yang bisa rujukhanyalah dilakukan dua kali, yakni: talak pertama dan talak
kedua, dan tidak ada rujuk pada talak ketiga. Sebab, Allah berfirman dengan
lafaz مَرَّتَانِ. Pendapat al-Shawkānī ini juga dikutip dalam Tafsīr Āyatal-Ahkām.
Jika al-Shawkānī menyertakan
pendapat ulama lain, ia memasukkan banyak pendapat kemudian memilih salah satu
yang ia anggap paling kuat. Al-Shawkānī sendiri yang menyebutkan dalam muqaddimah-nya
bahwa ia berniat mengumpulkan banyak pendapat yang bertentangan dan melakukan tarjīh
pada pendapat yang ia nilai paling kuat.[12]
Mengenai penafsiran riwāyah,
al-Shawkānī banyak mengutip dari kitab-kitab tafsir bial-riwāyah lain,
seperti Jāmi’ al-Bayān ‘anTa`wīl al-Qur`ān karya al-Ṭabārī, Tafsīr al-Qur`ān
al-‘Aẓīm karya Ibnu Kathīr dan al-Durral-Manthūr karya al-Suyūṭī.[13]
Mengenai kualitas hadis, al-Shawkānī memaparkan demikian:
Demikian pula,
saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang ṣaḥīḥ berasal dari
Rasulullah ṣallā Allah ‘alayhwasallam, para sahabat, tābi’īn, tābi’al-tābi’īn
dan ulama-ulama yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadis yang lemah
sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadis lain yang bisa
menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula
saya menyebutkan hadis yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa
menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks
asli yang saya kutip, seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarīr, al-Qurṭubī, Ibn Kathīr,
al-Suyūṭī dan ulama tafsir lainnya. Rasanya tidak mungkin mereka mengetahui ada
kelemahan pada hadis lalu tidak menjelaskannya.[14]
Namun begitu, terkadang al-Shawkānī juga menyertakan hadis ḍa’īf
tanpa memberitahunya. Contohnya adalah pengutipan riwayat:
قال صلى الله عليه و سلم : أما إني على ما ترون
بحمد الله قد قرات السبع الطوال[15]
Al-Shawkānī menyebutkan hadis tersebut tanpa menerangkan ḍa’īf-nya.
Akan tetapi, dalam cetakan Faṭḥ al-Qadīr yang di-taḥqīq oleh
‘Abdurrahman ‘Umayrah, dicantumkan keterangan bagi setiap riwayat yang dikutip
oleh al-Shawkānī. ‘Umayrah-lah yang menerangkan bahwa hadits tersebut ḍa’īf.
Al-Shawkānī tidak banyak mengutip isrā`īliyyat. Ia hanya
mengutip sedikit yang tercantum dalam kitab-kitab tafsir rujukannya.
IV. Karakteristik Kitab Faṭḥ
al-Qadīr
Al-Shawkānī menamakan kitabnya Faṭḥ al-Qadīral-Jāmi’
Bayna Fanayal-Riwāyah waal-Dirāyah min ‘Ilmal-Tafsīr. Dari namanya, dapat
diketahui bahwa penafsiran dalam kitab ini adalah penggabungan dari riwāyah
yaitu penafsiran dengan āthar dan dari dirāyah yang berarti
penafsiran dengan bahasa, nahwu, istinbāṭ, uṣūl al-fiqh dan dengan
pembahasan lain yang membutuhkan ijtihad.[16]
Faṭḥ al-Qadīr sendiri merupakan
kitab tafsir yang unik, yang mana dominasi antara penafsiran riwāyah dan
dirāyah-nya seimbang. Jika dalam kitab al-Durral-Manthūr karya
al-Suyūṭī lebih ditekankan penafsiran riwāyah dan dalam kitab al-Jāmi’
liAhkām al-Qur`ān lebih banyak ditekankan penafsiran dengan dirāyah,
maka Faṭḥ al-Qadīr berada pada pertengahannya. Bahkan Nāṣiral-Ḥamīd
menyebutkan bahwasanya bagian dirāyah dalam Faṭḥ al-Qadīr
merupakan ringkasan dari tafsir al-Qurṭūbī dan bagian riwāyah-nya
mendekati riwāyah yang terdapat dalam al-Durral-Manthūr.[17]
V.
Sistematika
Penulisan
Kitab ini disusun atas lima jilid,
pada jilid pertama dibuka dengan muqaddimahdari sang muhaqqiq,
yaitu ‘Abdurrahman ‘Umayrah. Muqaddimah tersebut mencapai 68 halaman,
yang sebagian besar membahas biografi al-Shawkānī. Pembahasan tafsir pada
setiap jilid berjumlah sekitar 750 halaman. Tahqīq kitab ini dilakukan
pada tahun 1996.
Dalam pembukaan setiap surat,
al-Shawkānī memulainya dengan pembahasan seputar nama surat, al-Makkī atau
al-Madānī,
dan
keutamaan surat tersebut. Hanya saja, tidak semua surat disertakan penjelasan
mengenai keutamaannya.
Lalu, penafsirannya dimulai dengan
penulisan satu atau beberapa kumpulan ayat, kemudian menjelaskannya per tarkīb
kata. Dalam penafsirannya, al-Shawkānī menyertakan penjelasan nahwu, qirā`at,
asbāb al-nuzūl, pendapat para ulama dan penafsirannya sendiri. Dalam
beberapa kesempatan, al-Shawkānī juga menyertakan penjelasan ‘ulūm al-Qur`ān,
seperti penjelasan mengenai al-muhkām dan al-mutashābih dalam
penafsiran surat Ālī ‘Imrān ayat 7.
VI.
Kelebihan
dan Kekurangan Faṭḥ al-Qadīr
Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan kelebihan kitab Faṭḥ
al-Qadīr antara lain:
1.
Menggabungkan
riwāyah dan dirāyah secara merata tanpa mendominasi salah satu
dari keduanya. Dengan begitu, penafsiran tersebut menjadi lebih lengkap dan
lebih kompatibel dengan permasalahan-permasalahan yang baru.
2.
Penjelasan
kualitas sanad setiap mengutip riwāyah. Jadi pembaca cukup dimudahkan
dengan mengambil hujjahdari suatu penafsiran.
3.
Penjelasan
nahwu dan qirā`at secara panjang lebar. Hal ini karena
al-Shawkānī menyadari betapa pentingnya memahami kaidah bahasa dalam menafsiri
al-Qur`an.
4.
Tarjīh
yang dilakukan setiap kali mengutip pendapat-pendapat yang
bertentangan. Hal ini tentunya membuat pembaca tidak kebingungan setelah
melihat banyaknya pertentangan.
Sedangkan kekurangannya
adalah sebagai berikut:
1.
Terdapat
hadis ḍa’īf yang dicantumkan tanpa menyebutkan ke-ḍa’īf-annya
pada beberapa tempat. Akan tetapi, jika yang dibaca adalah cetakan dari muhaqqiq
‘Aburrahman ‘Umayrah, maka hal tersebut tidak menjadi masalah, sebab seluruh
hadits dalam Faṭḥ al-Qadīr telah di-takhrīj olehnya.
VII.
Kesimpulan
Muhammad bin ‘Ālī bin Muhammad al-Shawkānī adalah seorang
cendekiawan muslim dan penafsir al-Qur`an yang lahir pada abad 12 H dan wafat
pada abad 13 H. Ia merupakan ahli hadits yang mencapai derajat al-Imām. Ia juga
telah menjadi Muftī pada umur 20 tahun. Pada awalnya ia mengikuti mazhab
Zaydiyah, akan tetapi setelah itu ia beralih kepada mazhab
Ahlal-Sunnah.
Ia menyusun kitab Faṭḥ al-Qadīr yang merupakan gabungan riwāyah dan
dirāyah. Peggabungan tersebut dilakukan secara setara dan sistematis,
tanpa dominasi antar keduanya.
Al-Shawkānī telah menulis 278 karya, tetapi yang sempat dicetak hanya
ada 38 kitab, diantanya:
1. Ittihāf al-Akābir biIsnād al-Dafātir (1328 H).
2. Ibṭāl Da’wā al-Ijmā’ ‘alā Muṭlāq al-Simā’ (1328 H).
3. Irshād al-Thiqāt ilā Ittifāq al-Sharā`i’ ‘alā al-Tawhīd waal-Mu’ād
waal-Nubuwwāt (1395 H).
Penulisan tafsir Faṭḥ al-Qadīr dilakukan dengan metode taḥlīlī. Metode
taḥlīlī sendiri adalah penafsiran dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat
al-Qur`an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat
al-Qur`an sebagaimana tercantum di dalam mushaf.
Dari pembahasan sebelumnya,
dapat disimpulkan kelebihan kitab Faṭḥ al-Qadīr antara lain:
Menggabungkan riwāyah dan dirāyah secara merata tanpa
mendominasi salah satu dari keduanya. Dengan begitu, penafsiran tersebut
menjadi lebih lengkap dan lebih kompatibel dengan permasalahan-permasalahan
yang baru.
Sedangkan kekurangannya adalah sebagai berikut:
Terdapat hadis ḍa’īf yang dicantumkan tanpa menyebutkan ke-ḍa’īf-annya
pada beberapa tempat. Akan tetapi, jika yang dibaca adalah cetakan dari muhaqqiq
‘Aburrahman ‘Umayrah, maka hal tersebut tidak menjadi masalah, sebab seluruh
hadits dalam Faṭḥ al-Qadīr telah di-takhrīj olehnya.
Daftar Pustaka
Al-Qur`an
Baidan,
Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998).
Ja’far,
Muslim Āli, Manāhijal-Mufassirīn, (Software: MaktabahSyamilah), 1:26.
Miṣrī(al-),
Abū Muhammad, Arshīf Multaqī Ahlal-Tafsīr, (Software: MaktabahSyamilah),
1:1708.
Nāyifal-Shuhūd,
‘Alī bin, al-Mufaṣṣal fī Sharh Āyat Lā Ikrāh fial-Dīn, (Software:
MaktabahSyamilah), 1:492.
Shawkānī(al-),
Muhammad bin ‘Alī, al-Badral-Ṭāli’ bi Mahāsin min Ba’dal-Qarnal-Sābi’,
(Software: MaktabahSyamilah), 1:457.
Shawkānī(al-),
Muhammad bin ‘Alī, Nailal-Awṭār, (Libanon: Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah,
1655), 3.
Shawkānī(al-),
Muhammad bin ‘Alī, Faṭḥal-Qadīr al-Jāmi’ Bayna Fanayal-Riwāyah waal-Dirāyah,
(ttp: Lajnahal-Tahqīq waal-Bahts Ii ‘Ilmaybi Dār al-Wafā`, 1996 M), 1:70.
‘Umayrah, ‘Abdurrahman, Muqaddimah Faṭḥal-Qadīr,
(ttp: Lajnahal-Tahqīq waal-Bahts Ii ‘Ilmaybi Dār al-Wafā`, 1996 M), 12.
[1]Muhammad bin
‘Alī al-Shawkānī, al-Badral-Ṭāli’ biMahāsin min Ba’dal-Qarnal-Sābi’,
(Software: MaktabahSyamilah), 1:457.
[2]‘Abdurrahman
‘Umayrah, Muqaddimah Faṭḥal-Qadīr, (ttp: Lajnahal-Tahqīq waal-Bahts Ii
‘Ilmaybi Dār al-Wafā`, 1996 M), 12.
[3]Muhammad bin
‘AlīAl-Shawkānī, Nailal-Awṭār, (Libanon: Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah, 1655),
3.
[4]‘Umayrah, Muqaddimah
Faṭḥ al-Qadīr, 9.
[5]‘Alī bin
Nāyifal-Shuhūd, al-Mufaṣṣal fī Sharh Āyat Lā Ikrāh fial-Dīn, (Software:
MaktabahSyamilah), 1:492.
[6]Ibid.,hal:3.
[7] Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998).
[8]Muhammad bin
‘Alī al-Shawkānī, Faṭḥal-Qadīr al-Jāmi’ BaynaFanayal-Riwāyah waal-Dirāyah, (ttp:
Lajnahal-Tahqīq waal-Bahts Ii ‘Ilmaybi Dār al-Wafā`, 1996 M), 1:70.
[9]Al-Qur`an, 4:1.
[10]Al-Shawkānī, Faṭḥ
al-Qadīr al-Jāmi’ BaynaFanayal-Riwāyah waal-Dirāyah, 1:676.
[11]Al-Qur`an,
2:229.
[12]Al-Shawkānī, Faṭḥ
al-Qadīr al-Jāmi’ BaynaFanayal-Riwāyah waal-Dirāyah, 1:70.
[13]Ibid, 1:71.
[14]Ibid, 1:70-71.
[15]Ibid, 1:673.
[16]Muslim
ĀliJa’far, Manāhijal-Mufassirīn, (Software: MaktabahSyamilah), 1:26.
[17]Abū Muhammad
al-Miṣrī, Arshīf Multaqī Ahlal-Tafsīr, (Software: MaktabahSyamilah),
1:1708.