Selasa, 17 November 2015

Mengenal Kitab FAṬḤ AL-QADĪR karya al-Shawkānī

FAṬḤ AL-QADĪR:
KONSEP PENGGABUNGAN RIWAYAH DAN DIRAYAH
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan Am Asroh
I.       Pendahuluan
Penafsiran al-Qur`an terus berlangsung dari masa ke masa, sejak masa Nabi Muhammad ṣallā Allah ‘alayhwasallam masih hidup hingga masa kontemporer ini. Tentu saja dalam jangka waktu yang sangat panjang tersebut, metode penafsiran al-Qur`an oleh para penafsir mengalami perubahan serta perkembangan. Perubahan dan perkembangan ini dipengaruhi oleh latar belakang serta kondisi lingkungan dari seorang penafsir.
Jika pada masa klasik para penafsir masih mendominasikan penafsiran dengan riwāyah, maka pada masa setelah itu para penafsir mulai mengembangkan penafsiran mereka dengan metode dirāyah, yaitu penafsiran berdasarkan ijtihad. Jadi, dalam menafsiri ayat yang berkaitan dengan hukum, mereka melakukan istinbāṭ dan membuat kaidah uṣūl al-fiqh yang baru. Dengan begitu, permasalahan yang terus berlanjut dan berubah di setiap masa dapat teratasi dengan solusi penafsiran ijtihad, tanpa terikat hanya pada riwāyah saja.
Akan tetapi, tidak sedikit para penafsir ijtihad yang justru kehilangan arah disebabkan lebih mengutamakan dirāyah hingga akhirnya melupakan riwāyah. Bahkan yang lebih parah lagi, ada sebagian mereka yang berdalil bahwa Nabi dan para sahabat juga manusia yang memiliki akal sama seperti mereka, dan menyamakan otoritas ijtihad mereka dengan riwāyah dari Nabi juga sahabat. Penafsiran seperti inilah yang juga harus dijauhi oleh umat muslim.
Selain mereka, terdapat juga para penafsir yang mengutamakan riwāyah, akan tetapi terasa tidak lengkap karena semua riwāyah hanya berganti dari lisan ke lisan, tanpa adanya suatu pengembangan. Yang disayangkan adalah, para penafsir menjadi berhenti pada satu penafsiran yang sama satu dengan yang lain. Padahal, ilmu yang terdapat dalam al-Qur`an sangatlah luas dan tidak terukur.
Maka dari itu, al-Shawkānī, seorang cendekiawan muslim abad 12 H, mencoba menafsirkan al-Qur`an dengan menggabungkan kedua metode tersebut secara merata. Ia bertujuan melakukan penafsiran dengan ijtihad tanpa melupakan penafsiran riwāyah, tanpa memberi dominasi pada salah satu dari keduanya. Alhasil, buku tafsirnya yang ia namai Faṭḥ al-Qadīr pun menjadi kitab yang kaya akan ilmu, dan tetap langgeng dikaji sampai sekarang. Maka dalam makalah ini akan membahas mengenai biografi al-Shawkānī, karyanya, metode penafsiran serta kekurangan dan kelebihanya.
II.    Mengenal Kitab Faṭḥ al-Qadīr
A.    Biografi Al-Shawkānī
Nama aslinya adalah Muḥammad bin ‘Alī bin Muḥammad bin ‘Abdullāh al-Ḥasan bin Muhammad bin Ṩalāḥ bin Ibrāhīm bin Muhammad al-‘Afīf al-Shawkānī.Dikatakan bahwa nasabnya bersambung pada Nabi Hūd ‘alayhal-salām.[1]Ia adalah seorang Imam yang berasal dari Yaman. Ia dilahirkan di Ṣan’ā` ibukota Yaman, pada hari Senin disiang hari pada tanggal 27 Dzulqa’dah1172 H. Kemudian ia wafat pada malam Rabu tanggal 27 Jumādil Akhir 1250 H.[2]
Al-Shawkānī adalah seorang Muftī yang luas ilmunya, juga seorang tokoh agama yang paling tersohor pada saat itu. Al-Shawkānī menjadi seorang Muftī pada usia 20 tahun. Banyak permintaan fatwa yang datang dari luar kota Ṣan’ā padahal guru-gurunya saat itu masih hidup. Al-Shawkānī juga pernah mempelajari ilmu matematika, psikologi, etika, dan fisika. Ia juga ahli dibidang tafsir al-Qur`an dan hadis yang menolak segala bentuk bid’ah.
Dalam sehari al-Shawkānī mengajar dan belajar lebih dari 10 kajian dengan berbagai disiplin ilmu. Pada awal belajarnya, al-Shawkānī banyak menelaah kitab-kitab tarikh dan adab. Kemudian ia menempuh perjalanan mencari riwayat hadis dengan cara talaqqī kepada para ahli hadis hingga ia mencapai derajat al-Imām dalam ilmu hadis.[3]
Al-Shawkānī juga mengitari kota Ṩan’ā` untuk menuntut ilmu pada banyak guru. Di antara guru-gurunya adalah Muhammad bin ‘Abdurrahmān al-Kubasī, ‘Alī bin Ḥasan al-Kubasī, al-Hasan bin Muhammad al-Aḥfash, al-Qāḍī Muhṣin bin Ahmad al-‘Ābid.
Pada permulaannya mencari ilmu, al-Shawkānī mengikut mazhab Zaydiyah yang dinisbatkan pada Zayd bin ‘Alī bin al-Husayn bin ‘Alī bin Abī Ṭālib.[4] Akan tetapi kemudian al-Shawkāni meninggalkan mazhab Zaydiyah dan mengikuti mazhab Ahlal-Sunnahwaal-Jamā’ah. Sebagai buktinya, salah satu kitab karangannya yaitu Naylal-Awṭār merupakan kitab Ahlal-Sunnah.[5]
B.           Karya-karya Al-Shawkānī
Al-Shawkānī telah menulis 278 karya, tetapi yang sempat dicetak hanya ada 38 kitab, diantanya:
  1. Ittihāf al-Akābir biIsnād al-Dafātir (1328 H).
  2. Ibṭāl Da’wā al-Ijmā’ ‘alā Muṭlāq al-Simā’ (1328 H).
  3. Irshād al-Thiqāt ilā Ittifāq al-Sharā`i’ ‘alā al-Tawhīd waal-Mu’ād waal-Nubuwwāt (1395 H).
  4. Irshād al-Fuḥūl ilā Tahqīq al-Haqq min ‘Ilmal-Uṣūl (1365 H).
  5. Irshād al-Sā`il ilā Dalīl al-Masā`il (1395 H).
  6. Bahthu fī Wujūb Mahabbatillāh (1395 H).
  7. Bahthu fī al-Istidlāl ‘alā Karamāt al-Awliyā (1395 H).
  8. Tanbīh al-I’lām ‘alā Tafsīr al-Mutashābihāt Baynaal-Halāl waal-Harām (1340 H).
  9. Jawāb al-Su`āl Yata’allaqubi Mā Warada fī al-Hiḍīr ‘Alayhal-Salām (1395 H).
  10. Jawāb al-Sā`il ‘anTafsīr Taqdīr al-Qamar Manāzil (1395 H).
Karya-karyanya yang terkenal adalah:[6]
1.      Dalam tafsir: Faṭḥal-Qadīr al-Jāmi’ Bayna Fanayal-Riwāyah waal-Dirāyah.
2.      Dalam fiqh: al-Saylal-Jarār al-Mutadaffiq ‘alā Hadā`iqal-Azhār, yaitu sharh dari kitab al-Azhār fī Fiqh Ālial-Bayt.
3.      Dalam hadits: Naylal-Awṭār Sharhal-Muntaqāal-Akbar.
III.  Metode Penafsiran al-Shawkānī
Penulisan tafsir Faṭḥ al-Qadīr dilakukan dengan metode taḥlīlī. Metode taḥlīlī sendiri adalah penafsiran dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum di dalam mushaf.[7]
Dalam pendahuluan kitab, al-Shawkānī menegaskan bahwa mayoritas penafsir itu terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka dengan jalan riwayat saja. Sedangkan golongan kedua memfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat.[8] Maka dari itu, al-Shawkānī hendak menggabungkan kedua metode tersebut secara sistematis dan teratur supaya dapat menghasilkan penafsiran yang lebih sempurna lagi.
Dalam menafsirkan ayat, umumnya al-Shawkānī memulai dengan menjelaskan lafaz yang dianggap gharīb, lalu menjelaskan kaidah nahwu dan perbedaan qirā`at­ menurut al-qāri` lain.
Kaidah nahwupun dijelaskan dengan panjang lebar oleh al-Shawkānī. Dalam menjelaskannya, disertakan pula pendapat ulama lain serta syair-syair Arab berkaitan dengan lafaz yang dijelaskan. Di antara ulama yang sering dikutip al-Shawkānī adalah Imam Sībawayh.
Contohnya adalah seperti pada penafsiran potongan ayat berikut:
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ[9]
Dalam penafsirannya disebutkan bahwa Qatādah dan Ḥamzah membaca lafaz الْأَرْحَامَ dengan jarr, karena aṭaf pada ḍamīr pada lafaz بِهِ . Lalu dijelaskan bahwa qirā`at tersebut diperbolehkan oleh Sībawayh ketika ḍarūrat naẓam, berdasarkan syair:[10]
فاليوم قربت تهجونا وتمدحنا فاذهب فما بك والأيام من عجب
Lalu tidak semua penafsiran ayat disertakan riwāyah. Jika penafsiran dilakukan dengan dirāyah, maka al-Shawkānī lebih dulu mendahulukan pendapat para ulama mufassir lalu menguatkan salah satunya. Namun, tidak jarang juga al-Shawkānī langsung mengeluarkan ijtihād-nya, seperti dalam penafsiran:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ[11]
Al-Shawkani berpendapat bahwasanyatalak yang bisa rujukhanyalah dilakukan dua kali, yakni: talak pertama dan talak kedua, dan tidak ada rujuk pada talak ketiga. Sebab, Allah berfirman dengan lafaz مَرَّتَانِ. Pendapat al-Shawkānī ini juga dikutip dalam Tafsīr Āyatal-Ahkām.
Jika al-Shawkānī menyertakan pendapat ulama lain, ia memasukkan banyak pendapat kemudian memilih salah satu yang ia anggap paling kuat. Al-Shawkānī sendiri yang menyebutkan dalam muqaddimah-nya bahwa ia berniat mengumpulkan banyak pendapat yang bertentangan dan melakukan tarjīh pada pendapat yang ia nilai paling kuat.[12]
Mengenai penafsiran riwāyah, al-Shawkānī banyak mengutip dari kitab-kitab tafsir ­bial-riwāyah lain, seperti Jāmi’ al-Bayān ‘anTa`wīl al-Qur`ān karya al-Ṭabārī, Tafsīr al-Qur`ān al-‘Aẓīm karya Ibnu Kathīr dan al-Durral-Manthūr karya al-Suyūṭī.[13] Mengenai kualitas hadis, al-Shawkānī memaparkan demikian:
Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang ṣaḥīḥ berasal dari Rasulullah ṣallā Allah ‘alayhwasallam, para sahabat, tābi’īn, tābi’al-tābi’īn dan ulama-ulama yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadis yang lemah sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadis lain yang bisa menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan hadis yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya kutip, seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarīr, al-Qurṭu, Ibn Kathīr, al-Suyūṭī dan ulama tafsir lainnya. Rasanya tidak mungkin mereka mengetahui ada kelemahan pada hadis lalu tidak menjelaskannya.[14]
Namun begitu, terkadang al-Shawkānī juga menyertakan hadis ḍa’īf tanpa memberitahunya. Contohnya adalah pengutipan riwayat:
قال صلى الله عليه و سلم : أما إني على ما ترون بحمد الله قد قرات السبع الطوال[15]
Al-Shawkānī menyebutkan hadis tersebut tanpa menerangkan ḍa’īf-nya. Akan tetapi, dalam cetakan Faṭḥ al-Qadīr yang di-taḥqīq oleh ‘Abdurrahman ‘Umayrah, dicantumkan keterangan bagi setiap riwayat yang dikutip oleh al-Shawkānī. ‘Umayrah-lah yang menerangkan bahwa hadits tersebut ḍa’īf.
Al-Shawkānī tidak banyak mengutip isrā`īliyyat. Ia hanya mengutip sedikit yang tercantum dalam kitab-kitab tafsir rujukannya.



IV.  Karakteristik Kitab Faṭḥ al-Qadīr
Al-Shawkānī menamakan kitabnya Faṭḥ al-Qadīral-Jāmi’ Bayna Fanayal-Riwāyah waal-Dirāyah min ‘Ilmal-Tafsīr. Dari namanya, dapat diketahui bahwa penafsiran dalam kitab ini adalah penggabungan dari riwāyah yaitu penafsiran dengan āthar dan dari dirāyah yang berarti penafsiran dengan bahasa, nahwu, istinbāṭ, uṣūl al-fiqh dan dengan pembahasan lain yang membutuhkan ijtihad.[16]
Faṭḥ al-Qadīr sendiri merupakan kitab tafsir yang unik, yang mana dominasi antara penafsiran riwāyah dan dirāyah-nya seimbang. Jika dalam kitab al-Durral-Manthūr karya al-Suyūṭī lebih ditekankan penafsiran riwāyah dan dalam kitab al-Jāmi’ liAhkām al-Qur`ān lebih banyak ditekankan penafsiran dengan dirāyah, maka Faṭḥ al-Qadīr berada pada pertengahannya. Bahkan Nāṣiral-Ḥamīd menyebutkan bahwasanya bagian dirāyah dalam Faṭḥ al-Qadīr merupakan ringkasan dari tafsir al-Qurṭūbī dan bagian riwāyah-nya mendekati riwāyah yang terdapat dalam al-Durral-Manthūr.[17]
V.    Sistematika Penulisan
Kitab ini disusun atas lima jilid, pada jilid pertama dibuka dengan muqaddimahdari sang muhaqqiq, yaitu ‘Abdurrahman ‘Umayrah. Muqaddimah tersebut mencapai 68 halaman, yang sebagian besar membahas biografi al-Shawkānī. Pembahasan tafsir pada setiap jilid berjumlah sekitar 750 halaman. Tahqīq kitab ini dilakukan pada tahun 1996.
Dalam pembukaan setiap surat, al-Shawkānī memulainya dengan pembahasan seputar nama surat, ­­al-Makkī atau al-Madānī, dan keutamaan surat tersebut. Hanya saja, tidak semua surat disertakan penjelasan mengenai keutamaannya.
Lalu, penafsirannya dimulai dengan penulisan satu atau beberapa kumpulan ayat, kemudian menjelaskannya per tarkīb kata. Dalam penafsirannya, al-Shawkānī menyertakan penjelasan nahwu, qirā`at, asbāb al-nuzūl, pendapat para ulama dan penafsirannya sendiri. Dalam beberapa kesempatan, al-Shawkānī juga menyertakan penjelasan ‘ulūm al-Qur`ān, seperti penjelasan mengenai al-muhkām dan al-mutashābih dalam penafsiran surat Ālī ‘Imrān ayat 7.


VI.             Kelebihan dan Kekurangan Faṭḥ al-Qadīr
      Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan kelebihan kitab Faṭḥ al-Qadīr antara lain:
1.      Menggabungkan riwāyah dan dirāyah secara merata tanpa mendominasi salah satu dari keduanya. Dengan begitu, penafsiran tersebut menjadi lebih lengkap dan lebih kompatibel dengan permasalahan-permasalahan yang baru.
2.      Penjelasan kualitas sanad setiap mengutip riwāyah. Jadi pembaca cukup dimudahkan dengan mengambil hujjahdari suatu penafsiran.
3.      Penjelasan nahwu dan qirā`at secara panjang lebar. Hal ini karena al-Shawkānī menyadari betapa pentingnya memahami kaidah bahasa dalam menafsiri al-Qur`an.
4.      Tarjīh yang dilakukan setiap kali mengutip pendapat-pendapat yang bertentangan. Hal ini tentunya membuat pembaca tidak kebingungan setelah melihat banyaknya pertentangan.
                   Sedangkan kekurangannya adalah sebagai berikut:
1.      Terdapat hadis ḍa’īf yang dicantumkan tanpa menyebutkan ke-ḍa’īf-annya pada beberapa tempat. Akan tetapi, jika yang dibaca adalah cetakan dari muhaqqiq ‘Aburrahman ‘Umayrah, maka hal tersebut tidak menjadi masalah, sebab seluruh hadits dalam Faṭḥ al-Qadīr telah di-takhrīj olehnya.
VII.          Kesimpulan
Muhammad bin ‘Ālī bin Muhammad al-Shawkānī adalah seorang cendekiawan muslim dan penafsir al-Qur`an yang lahir pada abad 12 H dan wafat pada abad 13 H. Ia merupakan ahli hadits yang mencapai derajat al-Imām. Ia juga telah menjadi Muftī pada umur 20 tahun. Pada awalnya ia mengikuti mazhab Zaydiyah, akan tetapi setelah itu ia beralih kepada mazhab Ahlal-Sunnah.
Ia menyusun kitab Faṭḥ al-Qadīr yang merupakan gabungan riwāyah dan dirāyah. Peggabungan tersebut dilakukan secara setara dan sistematis, tanpa dominasi antar keduanya.
Al-Shawkānī telah menulis 278 karya, tetapi yang sempat dicetak hanya ada 38 kitab, diantanya:
1.      Ittihāf al-Akābir biIsnād al-Dafātir (1328 H).
2.      Ibṭāl Da’wā al-Ijmā’ ‘alā Muṭlāq al-Simā’ (1328 H).
3.      Irshād al-Thiqāt ilā Ittifāq al-Sharā`i’ ‘alā al-Tawhīd waal-Mu’ād waal-Nubuwwāt (1395 H).
Penulisan tafsir Faṭḥ al-Qadīr dilakukan dengan metode taḥlīlī. Metode taḥlīlī sendiri adalah penafsiran dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum di dalam mushaf.
  Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan kelebihan kitab Faṭḥ al-Qadīr antara lain:
Menggabungkan riwāyah dan dirāyah secara merata tanpa mendominasi salah satu dari keduanya. Dengan begitu, penafsiran tersebut menjadi lebih lengkap dan lebih kompatibel dengan permasalahan-permasalahan yang baru.
Sedangkan kekurangannya adalah sebagai berikut:
Terdapat hadis ḍa’īf yang dicantumkan tanpa menyebutkan ke-ḍa’īf-annya pada beberapa tempat. Akan tetapi, jika yang dibaca adalah cetakan dari muhaqqiq ‘Aburrahman ‘Umayrah, maka hal tersebut tidak menjadi masalah, sebab seluruh hadits dalam Faṭḥ al-Qadīr telah di-takhrīj olehnya.


Daftar Pustaka
Al-Qur`an
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
Ja’far, Muslim Āli, Manāhijal-Mufassirīn, (Software: MaktabahSyamilah), 1:26.
Miṣrī(al-), Abū Muhammad, Arshīf Multaqī Ahlal-Tafsīr, (Software: MaktabahSyamilah), 1:1708.
Nāyifal-Shuhūd, ‘Alī bin, al-Mufaṣṣal fī Sharh Āyat Lā Ikrāh fial-Dīn, (Software: MaktabahSyamilah), 1:492.
Shawkānī(al-), Muhammad bin ‘Alī, al-Badral-Ṭāli’ bi Mahāsin min Ba’dal-Qarnal-Sābi’, (Software: MaktabahSyamilah), 1:457.
Shawkānī(al-), Muhammad bin ‘Alī, Nailal-Awṭār, (Libanon: Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah, 1655), 3.
Shawkānī(al-), Muhammad bin ‘Alī, Faṭḥal-Qadīr al-Jāmi’ Bayna Fanayal-Riwāyah waal-Dirāyah, (ttp: Lajnahal-Tahqīq waal-Bahts Ii ‘Ilmaybi Dār al-Wafā`, 1996 M), 1:70.
 ‘Umayrah, ‘Abdurrahman, Muqaddimah Faṭḥal-Qadīr, (ttp: Lajnahal-Tahqīq waal-Bahts Ii ‘Ilmaybi Dār al-Wafā`, 1996 M), 12.





[1]Muhammad bin ‘Alī al-Shawkānī, al-Badral-Ṭāli’ biMahāsin min Ba’dal-Qarnal-Sābi’, (Software: MaktabahSyamilah), 1:457.
[2]‘Abdurrahman ‘Umayrah, Muqaddimah Faṭḥal-Qadīr, (ttp: Lajnahal-Tahqīq waal-Bahts Ii ‘Ilmaybi Dār al-Wafā`, 1996 M), 12.
[3]Muhammad bin ‘AlīAl-Shawkānī, Nailal-Awṭār, (Libanon: Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah, 1655), 3.
[4]‘Umayrah, Muqaddimah Faṭḥ al-Qadīr, 9.
[5]‘Alī bin Nāyifal-Shuhūd, al-Mufaṣṣal fī Sharh Āyat Lā Ikrāh fial-Dīn, (Software: MaktabahSyamilah), 1:492.
[6]Ibid.,hal:3.
[7] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
[8]Muhammad bin ‘Alī al-Shawkānī, Faṭḥal-Qadīr al-Jāmi’ BaynaFanayal-Riwāyah waal-Dirāyah, (ttp: Lajnahal-Tahqīq waal-Bahts Ii ‘Ilmaybi Dār al-Wafā`, 1996 M), 1:70.
[9]Al-Qur`an, 4:1.
[10]Al-Shawkānī, Faṭḥ al-Qadīr al-Jāmi’ BaynaFanayal-Riwāyah waal-Dirāyah, 1:676.
[11]Al-Qur`an, 2:229.
[12]Al-Shawkānī, Faṭḥ al-Qadīr al-Jāmi’ BaynaFanayal-Riwāyah waal-Dirāyah, 1:70.
[13]Ibid, 1:71.
[14]Ibid, 1:70-71.
[15]Ibid, 1:673.
[16]Muslim ĀliJa’far, Manāhijal-Mufassirīn, (Software: MaktabahSyamilah), 1:26.
[17]Abū Muhammad al-Miṣrī, Arshīf Multaqī Ahlal-Tafsīr, (Software: MaktabahSyamilah), 1:1708.

Selasa, 10 November 2015

Tafsiran Ayat Tentang Langit

Tafsiran Ayat Tentang Langit 
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan 
I.                   Pendahuluan
    Allah Subhânahu wa Ta’âlâ merupakan satu satunya pencipta alam ini, Dalam berbagai ayat, Al Qur’an banyak memberikan indikasi tentang jagat raya dengan segala bagian-bagiannya (langit, bumi, segala benda lainnya yang muldimensional). Isyarat-isyarat itu menunjukkan bukti (istidlal) atas kekuasaan Allah yang tidak terbatas, ilmu dan hikmah (kemahabijaksanaan)Nya yang sangat sempurna dalam menciptakan jagat raya ini. Itu semua sebagai hujjah (argumentasi) terhadap orang-orang kafir, musyrik dan kaum skeptis, dan sekaligus mengukuhkan hakikat uluhiyah Allah, Rabb alam semesta.
Berangkat dari permasalahan di atas, makalah ini akan mengulas mengenai pengertian langit, langit dalam penciptaan, yang menjadi bukti atas kekuasaan Allah yang merujuk pada Al-Qur’an.
II.                Pengertian Langit
      Dalam bahasa Arab, langit disebut sebagai as-sama’ yang merupakan mufrod dari kata as-samawat. Di dalam al-Qur’an, kata tersebut disebutkan sebanyak 310 kali secara terpisah di beberapa surat. Dalam bentuk mufrod disebut sebanyak 120 kali, sedangkan disebutkan dalam bentuk jamak sebanyak 190 kali. Louis Ma’luf dalam kamus al-Munjid mendefinisikan langit sebagai sesuatu yang kita lihat berada di atas kita, seperti atap yang berwarna biru, yang melingkupi bumi atau sesuatu yang melingkupi bumi dari angkasa yang sangat luas.[1]
Sedangkan Ir. Abdurrazaq Nouval mendefinisikan langit sebagai sesuatu yang di atas kita yang tentunya akan melindungi kita. Dengan demikian, langit bisa juga disebut dengan atap rumah yang akan selalu melindungi seluruh alam. Kalau dalam ilmu pengetahun, langit yaitu segala apa yang ada di sekeliling benda-benda yang terdiri dari bintang-bintang dan kumpulan-kumpulan tata surya. Itu artinya, langit merupakan segala sesuatu yang meliputi bumi.[2]
Kata langit dan langit-langit (As-Sama’ Was Samawat) datang berulang-ulang dalam al-Qur’an, berikut adalah penjelasan dan definisi ilmiahnya: Ilmu pengetahuan menginterpretasikan langit sebagai bola dunia yang menghimpun seluruh garis-garis orbit (Al-Aflaak) dan bintang-bintang di majarroh kita yakni batas-batas alam material kita. Dan interpretasi ini sesuai dengan interpretasi imam Muhammad Abduh ketika mengatakan: langit (As-Sama’u) adalah nama bagi sesuatu yang berada di atas anda dan tinggi di atas kepala anda; anda ketika mendengar kata langit ini sebenarnya membayangkan alam yang berada di atas anda ini; di langit itu terdapat matahari dan bulan serta planet-planet lain yang berjalan di garis-garis edar dan bergerak di garis-garis orbitnya.
Inilah yang disebut langit, ia dibangun oleh Allah yakni Dia yang meninggikannya dan menjadikan setiap planetnya sebagai bata dari bangunan atapnya atau sebagai tembok yang mengelilinginya dan planet-planet yang berjalan ini satu sama lain saling tarik-menarik dengan hukum gravitasi yang universal sebagaimana bagian-bagian satu bangunan dihubungkan dengan meletakkan materi antara bangunan itu yang dipergunakan untuk saling tarik-menarik.
Di antara hal-hal yang perlu dijelaskan ialah bahwa langit itu menunjukkan kehampaan yang terakhir di dalam alam dan yang tidak mungkin jika ia kosong tidak diduduki oleh sesuatu, tetapi ia dipenuhi oleh penengah yang non-material (ruang hampa udara yang disebut eter dan di dalam penengah yang non-material inilah kekuatan non-material seperti gelombang-gelombang Al-Asliki atau radio, radar, sinar panas dan kekuatan-kekuatan ini diberi nama gelombang-gelombang eter.[3]




III.             Penafsiran ayat
A.    Penafsiran surat al-Fusilat 11
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ
Artinya: Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
1.      Penjelasan ayat
فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman kepada langit dan bumi: datanglah kalian, saya akan menciptakan sesuatu di dalam kalian. Adapun engkau langit maka kami nampakkan apa yang kami ciptakan di dalamnya berupa matahari, bulan, dan bintang. Dan sedangkan engkau bumi maka kami keluarkan apa yang kami ciptakan di dalamnya berupa pohon-pohon, buah, dan tumbuh-tumbuh-tumbuhan.[4]
قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينkami datang seraya kami berkata kepada tuhan kami, kami menerima perintahmu dan kami tidak akan mendustai perintahmu.
Ibnu ‘Abbas berkata pada lafad فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًاbeliau berkata: Allah berkata kepada langit: saya menampakkan matahari dan rembulan begitu juga dengan para bintang. Dan Allah berkata kepada bumi: saya mengeluarkan buah-buahan begitupula saya tumbuhkan pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan.[5]

B.     Penafsiran surat Al-Ambiya’ 104
يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ
Artinya: (Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.
1.      Penjelasan ayat
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman, inilah kejadian hari kiamat يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ “Yaitu pada hari kami gulung langit seperti kami menggulung lembaran-lembaran kertas”, al-Bukhari berkata pada Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ الله يقبض يوم القيامة الأراضين وتكون السّموات بيمينه
" Sesungguhnya Allah menggenggam bumi pada hari kiamat, sedangkan langit berada di tangan kanan-Nya.” Lafazh ini hanya diriwayatkan oleh al-Bukhari.[6]
Ibnu Abi Hatim berkata bahwa Ibnu ‘Abbas: Allah menggulung tujuh lapis dengan makhluk yang ada di dalamnya serta tujuh lapis bumi dengan makhluk yang ada di dalamnya yang kesemuanya di gulung dengan tangan kanan-Nya. Semua itu berada di tangan-Nya seperti sebuah biji kecil.
Apa yang di maksud  hari di situ merupakan hari kiamat sesuai firman Allah yang lain dalam surat az-zumar 68
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.[7]
Pada lafad كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ, yaitu sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Dikatakan, yang dimaksud as-Sijl adalah kitab. Kata as-Sijl dalam kitab jalalain artinya ialah malaikat pencatat amal perbuatan amalan anak adam, sewaktu anak bersangkutan mati.[8]
Pendapat yang shahih dari Ibnu ‘Abbas bahwa as-Sijl adalah lembaran-lembaran. Pendapat ini dikatakan oleh Ali bin Abi Thalhah dan al-‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas dan dinashkan oleh Mujahid, Qatadah dan selain mereka serta dipilih oleh Ibnu Jarir, karena kata itulah yang dikenal dalam bahasa. Atas dasar ini, maka maknanya adalah: pada hari kami gulung langit seperti gulungan kertas dengan makna sesuatu yang ditulis, seperti firman-Nya:فلمّا أسلم وتله للجبين “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya,(nyatalah kesabaran keduanya)(Q.S ash-Shaaffaat:103).[9]

D. penafsiran ayat Addzariyat 47
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
Artinya: Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.
1.      penafsiran ayat
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman seraya mengingatkan penciptaan alam bagian atas dan alam bagian bawah وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا “Dan langit itu kami bangun”. Maksudnya, kami jadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara dan tinggi. بِأَيْدٍ “dengan kekuasaan” maksudnya dengan kekuatan. Dalam kitab jalalain juga di katakan bahwa بِأَيْدٍ bermakna kekuatan.[10] Demikian yang dikemukakan Ibnu ‘Abbas Radiyallahuanhu, mujahid, Qatadah, ats-Tsauri dan lain-lain. وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ ‘dan sesungguhnya kami benar-benar meluaskannya” maksudnya, kami telah menjadikan seluruh penjurunya luas, kemudian kami meninngikannya tanpa menngunakan tiang kemudian ia menggantung sebagaimana adanya.[11]
Lafad وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ artinya ialah Allah mengangkat langit dengan daya kekuatan. Pengertian ini di ta’wili oleh ahli ta’wil dengan kekuatan diambil dari hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas:[12]
يقول : بقوّة عن ابن عباس قوله وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ
IV.             Kesimpulan
     Dalam bahasa Arab, langit disebut sebagai as-sama’ yang merupakan mufrod dari kata as-samawat. Di dalam al-Qur’an, kata tersebut disebutkan sebanyak 310 kali secara terpisah di beberapa surat. Dalam bentuk mufrod disebut sebanyak 120 kali, sedangkan disebutkan dalam bentuk jamak sebanyak 190 kali. Louis Ma’luf dalam kamus al-Munjid mendefinisikan langit sebagai sesuatu yang kita lihat berada di atas kita, seperti atap yang berwarna biru, yang melingkupi bumi atau sesuatu yang melingkupi bumi dari angkasa yang sangat luas.
فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman kepada langit dan bumi: datanglah kalian, saya akan menciptakan sesuatu di dalam kalian. Adapun engkau langit maka kami nampakkan apa yang kami ciptakan di dalamnya berupa matahari, bulan, dan bintang. Dan sedangkan engkau bumi maka kami keluarkan apa yang kami ciptakan di dalamnya berupa pohon-pohon, buah, dan tumbuh-tumbuh-tumbuhan.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Dimisyqi (al-), Abî al-Fidâ’ Ismail, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Dar Taibah, Saudi Arab, 1999) 5:382.
Ibrahim, Muhammad Ismail, Sisi Mulia: Agama dan Ilmu, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 85-86.
Mahalli (al-),  Jalaluddin dan Suyuti (as-), Jalaluddin Tafsir Jalalain,(Dar Al-Kutub, jakarta, 2011), 636.

Nor Ichwan Mohammad, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Yogyakarta; Menara Kudus, 2004), h. 188-189.

Noval, Abdurrozaq, Langit dan Para Penghuninya.
Tabari (At-), Ibnu Jarir, Jamiul bayan,(Dar fikr: ttp, 2009), 13:10.



[1] Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Yogyakarta; Menara Kudus, 2004), h. 188-189.
[2] Abdurrozaq Noval, Langit dan Para Penghuninya.
[3] Muhammad Ismail Ibrahim, Sisi Mulia: Agama dan Ilmu, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 85-86.
[4] Ibnu Jarir At-Tabari, Jamiul bayan,( ttp: Dar fikr, 2009), 12:108.
[5] Ibid., 12:108.
[6] Abî al-Fidâ’ Ismail al-Dimisyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Saudi Arab: Dar Taibah, 1999) 5:382.
[7] Ibid.,5:382.
[8] Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-suyûti, Tafsir Jalalain,( jakarta:Dar Al-Kutub, 2011), 418.
[9] Abî al-Fidâ’ Ismail al-Dimisyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Saudi Arab, Dar Taibah, 1999) 5:382.
[10] Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-suyuti, Tafsir Jalalain,( jakarta:Dar Al-Kutub, , 2011), 636.
[11] Ibid., 7:543.
[12] Ibnu Jarir At-Tabari, Jamiul bayan,( ttp: Dar fikr, 2009), 13:10.