Islam Nusantara
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan
Mendengar judul di atas memang terasa aneh di telinga kita.
Bagaimana tidak...??? adanya penggabungan kata Islam dan Nusantara. Untuk lebih
jelasnya kita ketahui sejarah hadirnya Islam Nusantara, dimana disaat kaum
liberal dan para pembajak akidah beranggapan bahwa Islam yang sekarang dianggap
gersang, terkekang, ke-Arab-araban, anti seni, anti budaya, anti kemajuan
sekaligus anti emansipasi wanita. Gejala puritanisme menjadi alasan lahirnya
wacana Islam Nusantara. Dengan ini para
pendukung Islam Nusantara menginginkan Islam yang toleran, fleksibel, dan
sinkretis. Sehingga mereka beranggapan kalau Islam sama dengan agama lain
sepertihalnya Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan. Kesamaanya terletak
pada sumbernya yaitu sama-sama agama samawi.
Islam Nusantara hadir untuk menggabungkan antara Islam dan budaya
atau kultural Indonesia. Dengan adanya wacana ini sehingga Islam harus menerima
budaya dan kultural meskipun hal itu dianggap kufur, sesat. Seperti halnya do’a
antaragama, pernikahan beda agama dan merayakan hari besar agama lain. Sehingga
timbul budaya-budaya kaum abangan yang telah sirna seperti halnya sedekah bumi,
sedekah laut, sesajen dan blangkonan. Hal ini merupakan misi Barat untuk
mem-Pluralisme-kan agama Islam sehingga Islam keluar dari jalannya. Disamping
itu adanya tujuan politik tertentu, yang jelas munculnya ide tersebut telah
menimbulkan konflik, pendangkalan akidah serta menambahkan perpecahan di
tengah-tengah umat.
Pembelokan agama Islam tak tanggung-tanggung di lakukan oleh kaum orientalis
di dalam sosio kultural Nusantara melainkan juga di dalam ranah structural
PBNU. Ada sekelompok pengurus yang menyusup yang berlatarbelakang membela
Syi’ah, ada yang berkepentingan untuk wahhabiyan dan ada yang mempunyai misi
penyebaran ideologis liberal. Menurut K.H Idrus Ramli selaku ulama’ yang
menolak adanya Islam Nusantara mengungkapkan beberapa alasan, diantanya: 1.
Nusantara adalah istilah pra-Islam. Dalam bahasa agama Nusantara adalah istilah
Jahiliyyah, yaitu istilah yang digunakan masyarakat kita sebelum datangnya
Islam ke Indonesia. 2. Istilah Islam Nusantara menggaburkan Aswaja, yang
mengganggap syari’at yang ada tidak relevan dengan kontek yang ada, bukanya
kontek yang menyesuikan dengan syari’at, malah syari’at yang harus menyesuaikan
dengan kontek yang ada pada sekarang, bisa juga menyimpang jauh. 3. Konsep Islam Nusantara Asal-Asalan. Dengan
adanya konsep asal-asalan ini secara tidak langsung merusak struktural dan
tatanan ideologi NU, yaitu ideologi Sunni, Asya’irah dan Maturidi-yah,
berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis serta ulama’-ulama’ salafus sholih dalam
bermadzab empat. Konsep asal-asalan ini merubah ideologi NU menjadi ideologi
liberal ala Islam Nusantara sebagai bentuk kelangsungan ide Gus Dur
“Pribumisasi Islam”. Lewat hal ini mereka ingin menghidupkan kembali sistem
Hindhu-Budha ala Majapahit.
Dukungan secara langsung juga di lontarkan presiden Jokowi, beliau
ikut mendukung adanya ide pencetusan Islam Nusantara pada saat sambutan di
acara Munas NU dan istighosah menyambut bulan Ramadhan 1436 H dengan
tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradapan Indonesia dan Dunia” Selasa 14
juni 2015 bertempat di masjid Istiqlal. Salah satu tokoh yang menjadi garda
depan dalam mensosialisasikan Islam Nusantara ialah ketua umum PBNU, Said Aqil
Siradj yang telah sukses menjadikan Islam Nusantara sebagai tema muktamar NU ke
33 pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur. Ia bahkan dimintai kata
pengantar dalam buku yang berjudul “Ijtihad Politik Islam Nusantara; Membumikan
Fiqh Siyasah Melalui Pendekatan Maqashid asy-Syari’ah”. Dalam buku tersebut
juga mencantumkan pendapat Husein Muhammad, “Larangan pernikahan Muslimah
dengan laki-laki Kitabi merupakan setting budaya patriarki (sistem sosial yang
menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama sentral dalam organisasi
sosial) yang menempatkan perempuan sebagai subordinat (bawahan) bagi laki-laki.
Dalam budaya masyarakat patriarki, posisi wanita selalu terhegemoni oleh
laki-laki, sehingga wanita digambarkan sebagai makhluk lemah dan tak berdaya.
Budaya itu tentu berbeda dengan budaya masyarakat modern yang telah datang
memiliki HAM dan menolak segala sistem atau tata sosial yang diskriminatif,
termasuk deskriminasi gender.” Pernyataan ini jelas bertentangan dengan hukum qath’i
dari nash Al-Qur’an tentang larangan pernikahan beda agama. Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ berfirman:
وَلا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran. (Q.S. Al-Baqarah ayat 221).
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, bahwasanya Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ mengharamkan atas orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita yang
musyrik dari kalangan penyembah berhala. Kemudian jika makna yang dimaksud
bersifat umum, berarti termasuk ke dalam pengertian setiap wanita musyrik
kitabiyah dan wasaniyah. Akan tetapi di kecualikan dari hal tersebut
wanita ahli kitab oleh firman-Nya:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
مُحْصِنِينَ
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina.
(Q.S. Al-Maidah ayat 5).
Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya:
وَلا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman.
Bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengecualikan dari hal
tersebut wanita Ahli Kitab. Hal ini sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id
ibnu Jubair, makhul, Al-Hasan, ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi’ ibnu Anas,
dan lain-lainnya.