Selasa, 29 Maret 2016

Islam Nusantara



Islam Nusantara
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan
Mendengar judul di atas memang terasa aneh di telinga kita. Bagaimana tidak...??? adanya penggabungan kata Islam dan Nusantara. Untuk lebih jelasnya kita ketahui sejarah hadirnya Islam Nusantara, dimana disaat kaum liberal dan para pembajak akidah beranggapan bahwa Islam yang sekarang dianggap gersang, terkekang, ke-Arab-araban, anti seni, anti budaya, anti kemajuan sekaligus anti emansipasi wanita. Gejala puritanisme menjadi alasan lahirnya wacana Islam Nusantara.  Dengan ini para pendukung Islam Nusantara menginginkan Islam yang toleran, fleksibel, dan sinkretis. Sehingga mereka beranggapan kalau Islam sama dengan agama lain sepertihalnya Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan. Kesamaanya terletak pada sumbernya yaitu sama-sama agama samawi.
Islam Nusantara hadir untuk menggabungkan antara Islam dan budaya atau kultural Indonesia. Dengan adanya wacana ini sehingga Islam harus menerima budaya dan kultural meskipun hal itu dianggap kufur, sesat. Seperti halnya do’a antaragama, pernikahan beda agama dan merayakan hari besar agama lain. Sehingga timbul budaya-budaya kaum abangan yang telah sirna seperti halnya sedekah bumi, sedekah laut, sesajen dan blangkonan. Hal ini merupakan misi Barat untuk mem-Pluralisme-kan agama Islam sehingga Islam keluar dari jalannya. Disamping itu adanya tujuan politik tertentu, yang jelas munculnya ide tersebut telah menimbulkan konflik, pendangkalan akidah serta menambahkan perpecahan di tengah-tengah umat.
Pembelokan agama Islam tak tanggung-tanggung di lakukan oleh kaum orientalis di dalam sosio kultural Nusantara melainkan juga di dalam ranah structural PBNU. Ada sekelompok pengurus yang menyusup yang berlatarbelakang membela Syi’ah, ada yang berkepentingan untuk wahhabiyan dan ada yang mempunyai misi penyebaran ideologis liberal. Menurut K.H Idrus Ramli selaku ulama’ yang menolak adanya Islam Nusantara mengungkapkan beberapa alasan, diantanya: 1. Nusantara adalah istilah pra-Islam. Dalam bahasa agama Nusantara adalah istilah Jahiliyyah, yaitu istilah yang digunakan masyarakat kita sebelum datangnya Islam ke Indonesia. 2. Istilah Islam Nusantara menggaburkan Aswaja, yang mengganggap syari’at yang ada tidak relevan dengan kontek yang ada, bukanya kontek yang menyesuikan dengan syari’at, malah syari’at yang harus menyesuaikan dengan kontek yang ada pada sekarang, bisa juga menyimpang jauh. 3.  Konsep Islam Nusantara Asal-Asalan. Dengan adanya konsep asal-asalan ini secara tidak langsung merusak struktural dan tatanan ideologi NU, yaitu ideologi Sunni, Asya’irah dan Maturidi-yah, berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis serta ulama’-ulama’ salafus sholih dalam bermadzab empat. Konsep asal-asalan ini merubah ideologi NU menjadi ideologi liberal ala Islam Nusantara sebagai bentuk kelangsungan ide Gus Dur “Pribumisasi Islam”. Lewat hal ini mereka ingin menghidupkan kembali sistem Hindhu-Budha ala Majapahit.
Dukungan secara langsung juga di lontarkan presiden Jokowi, beliau ikut mendukung adanya ide pencetusan Islam Nusantara pada saat sambutan di acara Munas NU dan istighosah menyambut bulan Ramadhan 1436 H dengan tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradapan Indonesia dan Dunia” Selasa 14 juni 2015 bertempat di masjid Istiqlal. Salah satu tokoh yang menjadi garda depan dalam mensosialisasikan Islam Nusantara ialah ketua umum PBNU, Said Aqil Siradj yang telah sukses menjadikan Islam Nusantara sebagai tema muktamar NU ke 33 pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur. Ia bahkan dimintai kata pengantar dalam buku yang berjudul “Ijtihad Politik Islam Nusantara; Membumikan Fiqh Siyasah Melalui Pendekatan Maqashid asy-Syari’ah”. Dalam buku tersebut juga mencantumkan pendapat Husein Muhammad, “Larangan pernikahan Muslimah dengan laki-laki Kitabi merupakan setting budaya patriarki (sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama sentral dalam organisasi sosial) yang menempatkan perempuan sebagai subordinat (bawahan) bagi laki-laki. Dalam budaya masyarakat patriarki, posisi wanita selalu terhegemoni oleh laki-laki, sehingga wanita digambarkan sebagai makhluk lemah dan tak berdaya. Budaya itu tentu berbeda dengan budaya masyarakat modern yang telah datang memiliki HAM dan menolak segala sistem atau tata sosial yang diskriminatif, termasuk deskriminasi gender.” Pernyataan ini jelas bertentangan dengan hukum qath’i dari nash Al-Qur’an tentang larangan pernikahan beda agama. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:  
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Q.S. Al-Baqarah ayat 221).
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengharamkan atas orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala. Kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk ke dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan wasaniyah. Akan tetapi di kecualikan dari hal tersebut wanita ahli kitab oleh firman-Nya:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina. (Q.S. Al-Maidah ayat 5).
Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengecualikan dari hal tersebut wanita Ahli Kitab. Hal ini sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, makhul, Al-Hasan, ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan lain-lainnya.