Tafsir Tematik:
Sholat dalam Perspektif Al-Qur’an
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan A.
I.
Pendahuluan
Sering kali kita sebagai orang Islam tidak mengetahui kewajiban
kita sebagai mahluk yang paling sempurna yaitu sholat, atau terkadang kita tahu
kewajiban tapi tidak mengerti terhadap apa yang dilakukaan. Selain itu juga
bagi kaum fanatis yang tidak menghargai tentang arti khilafiyah, dan
menganggap yang berbeda itu yang salah. Shalat merupakan salah satu kewajiban
bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukim
laki-laki atau perempuan, meski dalam perjalanan atau menetap. Nabi sendiri
memerintahkan umatnya untuk mengerjakanya sesuai dengan Nabi kerjakan.
قال أبو حاتم رضى الله تعالى عَنْهُ قَوْلُهُ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي"
لَفْظَةُ أَمْرٍ تَشْتَمِلُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ كَانَ يَسْتَعْمِلُهُ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاتِهِ فَمَا كَانَ مِنْ تِلْكَ الْأَشْيَاءِ
خَصَّهُ الْإِجْمَاعُ أَوِ الْخَبَرُ بِالنَّفْلِ فَهُوَ لَا حَرَجَ عَلَى
تَارِكِهِ فِي صَلَاتِهِ وَمَا لَمْ يَخُصَّهُ الْإِجْمَاعُ أَوِ الْخَبَرُ
بِالنَّفْلِ فَهُوَ أَمْرٌ حَتْمٌ عَلَى الْمُخَاطَبِينَ كَافَّةً لَا يَجُوزُ
تركه بحال.[1]
Dalam hadis tersebut Nabi secara tegas
menyuruh seluruh umatnya untuk melakukan sholat seperti apa yang Nabi kerjakan
maksutnya ialah melakukan sholat seuai yang Nabi lakukan.
Sering kali kita sadari bahwasanya
kita sering mengaibaikan sebuah keutamaan atau akibat dari sebuah meninggalkan sholat
sehingga untuk mengerjakannya menjadi tidak semanggat atau bermalas-malasan.
Selain hal ini, hal yang lebih pokok lagi muncul yaitu ketidaktahuan akan
sebuah rukun yang harus terpenuhi dengan perantara sebuah syarat-syarat yang
harus dilakukan sebelum rukun itu terlaksana. Hal ini hanya berdasarkan
pengtaqlidan yang salah dari seorang guru, sehingga kita harus merujuk pada
sumber yang lebih akurat yaitu al-Qur’an sendiri. Dengan berbagai masalah yang
timbul, ini merupakan tujuan yang akan di sampaikan, mengenai keutamaanya,
rukun-rukunnya serta kaitainya dengan sholat itu sendiri.
II.
Keutamaan Sholat
Secara bahasa sholat ialah do’a, sedangkan secara istilah
adalah suatu pekerjaan yang diawali dengan takbirotul ihram dan di
akhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.[2] Di
dalam al-Qur’an Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memberikan sebuah keutamaan
dari sholat, yang mana keutamaan itu merupakan buah tersendiri daripadanya.
A.
Bertambahnya Sebuah Amal Perbuatan
Keutamaan sendiri merupakan buah hasil dari sebuah pekerjaan, buah dari hasil ini sendiri ialah berupa
kebaikan apa yang kita inginkan pasti akan mendapatkanya. Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ berfirman dalam Q.S Al-Baqarah 110:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan
dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.
Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.[3]
Bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan
apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapatkanya. Ibnu
Katsir menjelaskan bahwasanya Allah mengatakan, sibukkan dirimu dengan apa yang
bermanfaat bagimu, dan jangan tinggalkan itu maka kamu akan mendapatkan siksa
di hari akhir.[4] Syaikh al-Bagawî
mengatakan bahwasanya orang yang melakukan sholat dan menunaikan zakat akan
mendapat tambahan suatu kebaikan yaitu berupa keta’atan dan perbuatan amal
sholeh sehingga mendapatkan buah apa yang telah dilakukannya.[5]
Jadi dapat di simpulkan bahwasanya keutamaan sholat di atas yaitu berupa
bertambahnya sebuah kebaikan setelah kita melakukan sholat dan menunaikan
zakat.
B.
Mendapatkan Pahala yang Mengalir
Apakah arti dari sebuah pahala itu, kita sering
membicarakanya, mencarinya, bahkan berebut-rebut untuk mendapatkanya. Pahala
sendiri yaitu sebuah balasan apa yang telah diperbuat oleh seorang hamba,
perbuatan disini maksutnya ialah perbuatan yang bersifat positif. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah 277:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ
أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.[6]
Pada lafad awal diatas إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ bahwasanya
orang-orang yang iman dan melakukan amal sholeh merupakan athof pada lafad الْإِيمَانِ, yang dimaksut amal sholeh disini yaitu perbuatan sholat dan
menunaikan zakat. Lain halnya dengan orang yang masuk dalam kategori ini yaitu
orang kafir yang menghalangi manusia untuk menuju jalan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
maka mereka akan kekal di neraka dan Allah tidak akan mengampuni dosa-dosanya.
Sedangkan orang yang melakukan amal sholeh maka mereka akan mendapat ganjaran
atau pahala yang mengalir padanya.[7]
Seperti halnya dalam Q.S. Al-A’raf 170.
وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ
بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ إِنَّا لا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ
Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Kitab (Taurat)
serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengadakan perbaikan.[8]
Secara tegas ayat diatas mengungkapkan bahwasanya orang
yang mendirikan sholat akan diberi pahala, kaitanya dengan mendirikan sholat
juga berarti memperbaiki diri dalam sholat dan amal kebaikan.
Jadi dapat
diambil kesimpulan bahwasanya seseorang yang melakukan amal sholeh yaitu berupa
melakukan sholat dan menunaikan zakat akan mendapat pahala yang mengalir
padanya.
C.
Menghapus Perbuatan Buruk
Suatu perbuatan pasti tak pernah lekang dari diri kita,
baik itu perbuatan yang bersifat positif atau perbuatan itu bersifat negatif.
Kebanyakan dari kita tak menyadari bahwasanya perbuatan negatif lebih condong
pada diri kita, dibandingkan dengan perbuatan yang bersifat positif, oleh hal
itu untuk menjadikannya setara atau melebihinya kita harus berusaha menambah
keta’atan baik yang bersifat mahdoh atau ghoiru mahdoh. Alllah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلاةَ
طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ
السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ[9]
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan
petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.[10]
Ibnu Katsir menjelaskan
bahwa lafad yang dimaksut وَأَقِمِ الصَّلاةَ
طَرَفَيِ النَّهَارِ merupakan sholat subuh dan sholat magrib. Ibnu Katsir
berlandasan pada hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbâs {وَأَقِمِ الصَّلاةَ
طَرَفَيِ النَّهَارِ} قَالَ: يَعْنِي الصُّبْحَ وَالْمَغْرِبَ hal
ini seperti apa yang dikatakan oleh ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam tetapi
dalam riwayat yang berbeda yaitu dari Qatadah, al-Dzuhâk dan lain-lainnya.
Sedangkan Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksut طَرَفَيِ النَّهَار adalah
sholat subuh pada awal pagi, sholat dzuhur, dan sholat ashar pada akhir waktu.
Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad bin Ka’ab al-Quradî dan al-Dzuhâk.[11]
Sedangkan lafad وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ Ibnu
Katsir tafsirkan dengan sholat sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
‘Abbâs {وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ} قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ، وَمُجَاهِدٌ، وَالْحَسَنُ، وَغَيْرُهُمْ: يَعْنِي صَلَاةَ
الْعِشَاءِ. Dari riwayat yang berbeda al-Hasan mengatakan dalam
riwayat Ibnu al-Mubârak bahwasanya yang dimaksut وَزُلَفًا adalah
sholat magrib dan isya’ dan Rasulullah mengatakan itu juga.[12]
Hal ini sama apa yang telah Imam Thabari jelaskan dalam kitab Tafsîr Thabari.[13]
Hal ini seperti apa yang dikatakan Mujahid dan Muhammad bin Ka'ab dan Qatadah
dan al-Dzuhâk bahwasanya lafad وَزُلَفًا maksutnya ialah sholat magrib dan isya', ayat tersebut
turun sebelum adanya sholat fardu lima waktu pada malam isra', maka
sholat lima waktu itu seperti apa yang di wajibkan dalam dua sholat yakni
sholat sebelum terbitnya matahari dan sholat sebelum tenggelamnya matahari.[14]
Ibnu Katsir menjelaskan lafad إِنَّ
الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ bahwasanya barangsiapa
melakukan perbuatan bagus seperti halnya sholat maka Allah Subhânahu wa Ta’âlâ akan menghapus
dosa kalian, dosa apa yang telah lewat.[15]
Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang melakukan amal perbuatan baik seperti
halnya sholat maka Allah Subhânahu wa Ta’âlâ akan menghapus dosa
hambanya yang telah berlalu, ini merupakan keutamaan tersendiri dari sholat.
III.
Syarat-Syarat
Sholat
Syarat merupakan
suatu perbuatan yang bukan dari bagian sholat tetapi suatu hal yang bisa
membuat syahnya sholat seorang hamba. Seperti halnya wudhu, wudhu merupakan
tidak bagian dari sholat akan tetapi wudhu merupakan bagian yang bisa
mengesyahkan sholat. Dan hal ini tidak boleh di tinggal melainkan harus
dilakukannya.
A. Suci Sebelum
Sholat
Apa yang dimaksut suci disini ialah suci baik dari hadas kecil atau
suci dari hadas besar, begitu juga halnya dengan berwudhu, bertayamum, mandi
besar atau junub sebelum melakukan sholat. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ[16]
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.[17]
Ibnu Katsîr menjelaskan lafad إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ dengan pengertian yaitu ketika kalian berdiri
atau bangun dari tidur menuju ke sholat, kedua perbuatan itu diartikan dengan
masa yang dekat. Sedangkan pendapat yang memaknainya dengan makna yang umum
dari segala perbuatan bukan hanya bangun dari tidur saja, maka setelah itu
diperintah untuk wudhu sebelum melakukan sholat, akan tetapi dengan wudhu
dengan jalan yang benar atau dengan kebenaran sesuci atas jalan kesunahan. Pendapat
yang lain mengartikan sesungguhnya seseorang diperintahkan berwudhu pada setiap
sholat bahwasanya itu wajib dalam permulaan Islam, kemudian perkataan ini di nasih
oleh Imam Ahmad bin Hanbal, bahwasanya Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa
sallam wudhu pada setiap sholatnya, adapun hari itu termasuk juga hari
pembukaan, dan Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam menggusab pada sepatu
beliau atau muzahnya. Dan Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam melakukan
beberapa sholat dengan sekali wudhu. Kemudian 'Umar berkata: wahai Rasulullah
sesungguhnya engkau melakukan sesuatu yang belum pernah engkau lakukan...? Nabi
Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata sesungguhnya saya sengaja melakukan
itu wahai 'Umar. Imam Tirmidzî mengomentari hadis ini bahwasnaya hadis tersebut
termasuk dalam kategori hasan shahih.[18]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seseorang ketika ingin
melakukan sholat maka seseorang tersebut harus suci dulu baik dari hadas besar
maupun hadas kecil, dengan melakukan mandi atau dengan wudhu saja bahkan perlu
juga dengan keduannya melihat najis yang terkena pada seseorang tersebut.
B.
Sehat Akalnya
Berakal disini ialah berakal secara sempurna, dapat berfikir dengan
tenang, tidak berkata-kata yang tidak di dasari dengan kemauan sendiri, mungkin
disebabkan oleh mabuk atau obat-obat terlarang. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا
تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا[19]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.[20]
Ibnu Katsir menjelaskan ayat diatas
maksutnya ialah seseorang dalam keadaan mamang, maksutnya ialah apakah masih
mempunyai wudhu atau tidak, dilarang melakukan sholat. Ini masih di
perselisihkan, bahwasannya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ melarang hambanya
untuk beribadah dari melakukan sholat sedangkan hambanya dalam keadaan mabuk,
yang mana tidak mengetahui apa yang dikerjakanya dan di ucapkanya. Bahwasanya
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah melarang hambanya untuk tidak
mendekatinya dan bahwasanya khomer dan maisir merupakan dosa yang
besar. Seperti halnya Q.S al-Baqarah 219 يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ dan dalam hadis sesungguhnya Rasulullah Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam dalam perkataanya:
تَلَاهَا
عَلَى عُمَرَ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا
شَافِيًا. فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ، تَلَاهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ:
اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا فَكَانُوا لَا يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ فِي أَوْقَاتِ الصَّلَوَاتِ[21]
Berkenaan dengan hadis ini kemudian turunlah ayat al-Mâ’idah ayat
90-91 yang menjelaskan bahwasanya khomar, judi dan semacamnya merupakan
perbuatan syaitan, karna hal ini merupakan perkara yang membuat kita lupa
dengan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.[22]
إِنَّمَا يُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ
أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu.[23]
Kemudian ‘Umar berkata: saya harus mencegahnya, saya
harus mencegahnya.[24]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya sebelum melakukan sholat, seseorang
akalnya harus sempurna, jadi dalam perkataan dan perbuatannya itu jelas, jelas
berdasarkan akal, fikiran dan kehendak sendiri.
C.
Menutup Aurat
Di zaman yang sangat moderen ini, banyak orang yang
mengapresiasikan pakaian sesuai dengan trendinya, yang mana itu semua
bertentangan dengan ketentuan syariat kita, lebih-lebih ketika kaum pria
menggunakannya dalam keadaan sholat, tidak mengetahui apakah pakaian tersebut
suci, bersih atau sopan tidak. Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ
berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا
زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ
لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ[25]
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[26]
Ibnu
Katsir menjelaskan bahwasanya ayat ini merupakan ayat yang di tentang oleh
orang-orang musyrik, ketika orang musyrik tersebut melakukan tawaf dengan
sengaja di 'Uratan. Ada lagi yang mengatakan kalau ayat ini turun ketika Nabi
melakukan sholat di Ni’âl, hanya Allah lah yang mengetahui ini. Hal ini seperti
apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya:
رَوَاهُ
مُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ جَرِيرٍ[27] وَاللَّفْظُ لَهُ مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ،
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْل، عَنْ مُسْلِمٍ البَطِين، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْر،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانُوا يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ عُرَاةً، الرِّجَالُ
وَالنِّسَاءُ: الرِّجَالُ بِالنَّهَارِ، وَالنِّسَاءُ بِاللَّيْلِ. وَكَانَتِ
الْمَرْأَةُ تَقُولُ:
اليومَ يبدُو
بعضُه أَوْ كُلّه ... وَمَا بَدَا مِنْه فَلَا أحِلّهُ ...
فَقَالَ
اللَّهُ تَعَالَى: {خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ}[28]
وَقَالَ
العَوْفي، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ [تَعَالَى] {خُذُوا زِينَتَكُمْ
عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ} الْآيَةَ، قَالَ: كَانَ رِجَالٌ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ
عُرَاةً، فَأَمَرَهُمُ اللَّهُ بِالزِّينَةِ -وَالزِّينَةُ: اللِّبَاسُ، وَهُوَ
مَا يُوَارِي السَّوْأَةَ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ جَيّد البزِّ وَالْمَتَاعِ
-فَأُمِرُوا أَنْ يَأْخُذُوا زِينَتَهُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ.
Hadis kedua merupakan penjelas hadis
pertama, bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan kalian semua
untuk memakai pakai yang indah atau bagus ketika akan masuk disetiap masjid.
Hal ini sama apa yang telah dikatakan oleh Mujâhid, ‘Athâk, Ibrâhîm, Sa’îd bin
Zubaîr, Qatadah, dan lainnya.[29]
Mengenai masalah warna pakaian Ibnu Katsir menerangkan dari perkataan Imam
Ahmad bahwasanya Nabi berkata: pakailah kalian semua pakaian putih, maka
sesungguhnya putih itu suci dan baik/bagus, dan kafanilah kalian semua dengan
itu ketika meninggal nanti,[30]
hadisnya berbunyi:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلَيْكُمْ
بِالثِّيَابِ الْبَيَاضِ فَالْبَسُوهَا؛ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ، وَكَفِّنُوا
فِيهَا مَوْتَاكُمْ"[31]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seseorang ketika akan
memasuki masjid atau akan melakukan sholat pakailah pakaian yang indah, bagus,
bersih dan sopan. Untuk ketentuan warnanya Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa
sallam menyarankan untuk memakai pakaian yang putih, karna putih itu
merupakan pakaian yang suci dan indah.
IV.
Rukun-Rukun Sholat
Ketentuan ini merupakan ketentuan yang wajib. Karna rukun sendiri
merupakan kefarduan dalam sholat, dan ini harus dilaksanakan, maka jika rukun
ini tidak terlaksana maka batallah sholat seorang hamba. Seperti halnya membaca
surat al-Fatihah, dan ini harus dilakukanya jika tidak batallah sholat kita.
A.
Membaca Surat
Membaca surat disini ialah membaca surat al-Fatihah, maka bacalah
surat dari al-Qur’an yang sekirannya mudah bagimu. Dalam fiqh kita, jika kita
tidak bisa membaca al-Fatihah maka bacalah ayat yang lain dari al-Qur’an yang
sekirannya mudah, tapi ayatnya harus sesuai dengan al-Fatihah, Allah berfirman dalam
Q.S al-Muzzammil, 20.
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ
أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ
وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ
الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي
الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ
مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا
وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ[32]
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri
(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.
Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
al-Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari al-Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang
kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah
sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[33]
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman susungguhnya ini surat merupakan peringatan bagi orang
yang berakal. Maka barangsiapa berkehendak mengambil di jalan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ maksutnya ialah Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ
berkehendak memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendakinya, hal ini
seperti apa yang telah di qayyiti dalam surat An-Nisa' ayat 30.[34]
وَمَا
تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.[35]
Imam Abu Hanifah menunjukkan, bahwasanya ini ayat فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ menunjukan atas
tidak adanya ketentuan membaca al-Fatihah dalam sholat, akan tetapi lebih
mengumumkankanya yakni membaba surat al-Fatihah dalam sholat atau selainya dari
ayat al-Qur'an yang ayatnya sesuai dengan al-Fatihah, hal ini sesuai dengan
hadis muttafakun 'alaih: ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ
الْقُرْآنِ"
kemudian bacalah apa yang mudah bersama kalian dari al-Qur’an.[36]
Kemudian hadis ini dijawab oleh
Jumhur ‘Ulama dengan hadis dari ‘Ubâdah bin al-Ssâmit dan ini merupakan hadis Mutafakun
‘alaih, أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ" sesungguhnya
Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata:
janganlan sholat orang yang tidak membaca surat al-fatihah dari al-Qur’an.[37]
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya
orang yang ingin melakukan sholat, baik sholat fardlu atau sholat sunah maka
harus membaca surat al-Fatihah, jika tidak bisa maka bacalah surat yang mudah
dari al-Qur’an yang mana jumlah ayatnya sama dengan surat al-fatihah. Maka jika
hal ini tidak dilaksanakan maka jangan sholat, jika masih dilakukan maka batal
sholat kalian.
B.
Rukuk
dan Sujud
Rukuk dan sujud disini mungkin masih dalam kategori umum ya,
maksutnya ialah tidak ada penjelasan secara langsung dari al-Qur’an kalau rukuk
dan sujud merupakan rukun sholat. Tetapi secara maksut memang sudah mengarah
kalau rukuk dan sujud merupakan rukun dari sholat. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[38]
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.[39]
Ibnu Jarir at-Thabari mejelaskan
ayat diatas bahwasanya يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman hai orang-orang, benarkan Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ dan Rasul kalian, rukuklah kalian semua pada Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ dalam sholat kalian dan sujudlah kalian pada sholat kalian, Imam al-Bagawî
menjelaskan ayat ini dengan tafsiran: sholatlah kalian karna sesungguhnya
sholat itu tidak ada kecuali didalamnya terdapat rukuk dan sujud.[40] Dan
sembahlah tuhanmu dengan keta'atan, kerjakan apa yang diperintah Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ, Imam Jâlaluddin al-Mahalli dan Al-Suyuti menafsirkan ayat ini وَافْعَلُوا الْخَيْرَ dengan melakukan silahturahim dan untuk menyempurnakan
akhlak,[41] supaya
kalian mendapat kebahagiaan,[42]
dalam tafsiran Ibnu Abbas ialah supaya kalian mendapat keberhasilan atau
selamat dari keguguran atau siksa.[43]
Jadi dapat diambil kesimpulan
bahwasanya ayat ini menunjukan kalau rukuk dan sujud merupakan rukun dari
sholat, maka jika kalian tidak melakukannya batallah sholat kalian.
V.
Kesimpulan
A.
Bertambahnya Sebuah Amal Perbuatan
Keutamaan sendiri merupakan buah hasil dari sebuah pekerjaan, buah dari hasil ini sendiri ialah berupa
kebaikan apa yang kita inginkan pasti akan mendapatkanya. Allah berfirman dalam
Q.S Al-Baqarah 110.
Bahwasanya Allah berfirman dan dirikanlah sholat dan
tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu
kamu akan mendapatkanya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwasanya Allah mengatakan,
sibukkan dirimu dengan apa yang bermanfaat bagimu, dan jangan tinggalkan itu
maka kamu akan mendapatkan siksa di hari akhir.[44]
Syaikh al-Bagawî mengatakan bahwasanya orang yang melakukan sholat dan
menunaikan zakat akan mendapat tambahan suatu kebaikan yaitu berupa keta’atan
dan perbuatan amal sholeh sehingga mendapatkan buah apa yang telah
dilakukannya.[45] Jadi dapat di simpulkan
bahwasanya keutamaan sholat di atas yaitu berupa bertambahnya sebuah kebaikan
setelah kita melakukan sholat.
B.
Suci Sebelum Sholat
Apa yang dimaksut suci disini ialah suci baik dari hadas kecil atau
suci dari hadas besar, begitu juga halnya dengan berwudhu, bertayamum, mandi
besar atau junub sebelum melakukan sholat. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
berfirman dalam Q.S Al-Ma’idah 6:
Ibnu Katsîr menjelaskan lafad إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ dengan pengertian yaitu ketika kalian berdiri
atau bangun dari tidur menuju ke sholat, kedua perbuatan itu diartikan dengan
masa yang dekat. Sedangkan pendapat yang memaknainya dengan makna yang umum dari
segala perbuatan bukan hanya bangun dari tidur saja, maka setelah itu
diperintah untuk wudhu sebelum melakukan sholat, akan tetapi dengan wudhu
dengan jalan yang benar atau dengan kebenaran sesuci atas jalan kesunahan.
Pendapat yang lain mengartikan sesungguhnya seseorang diperintahkan berwudhu
pada setiap sholat bahwasanya itu wajib dalam permulaan Islam, kemudian
perkataan ini di nasih oleh Imam Ahmad bin Hanbal, bahwasanya Nabi
Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam wudhu pada setiap sholatnya, adapun
hari itu termasuk juga hari pembukaan, dan Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa
sallam menggusab pada sepatu beliau atau muzahnya. dan Nabi Salla Allah
‘Alaihi wa sallam melakukan beberapa sholat dengan sekali wudhu. kemudian
'Umar berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya engkau melakukan sesuatu yang
belum pernah engkau lakukan...? Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam
berkata sesungguhnya saya sengaja melakukan itu wahai 'Umar. Imam Tirmidzî
mengomentari hadis ini bahwasnaya hadis tersebut termasuk dalam kategori hasan
shahih.[46]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seseorang ketika ingin
melakukan sholat maka seseorang tersebut harus suci dulu baik dari hadas besar
maupun hadas kecil, dengan melakukan mandi atau dengan wudhu saja bahkan perlu
juga dengan keduannya melihat najis yang terkena pada seseorang tersebut.
C.
Membaca Surat
Membaca surat disini ialah membaca surat al-Fatihah, maka bacalah
surat dari al-Qur’an yang sekirannya mudah bagimu. Dalam fiqh kita, jika kita
tidak bisa membaca al-Fatihah maka bacalah ayat yang lain dari al-Qur’an yang
sekirannya mudah, tapi ayatnya harus sesuai dengan al-Fatihah, Allah berfirman dalam
Q.S al-Muzzammil, 20.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman susungguhnya ini surat merupakan peringatan bagi orang
yang berakal. Maka barangsiapa berkehendak mengambil di jalan Allah maksutnya
ialah Allah berkehendak memberikan hidayah kepada orang-orang yang
dikehendakinya, hal ini seperti apa yang telah di qayyiti dalam surat an
Nissa' ayat 30.[47]
وَمَا
تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Imam Abu Hanifah menunjukkan, bahwasanya ini ayat فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ menunjukan atas
tidak adanya ketentuan membaca al-Fatihah dalam sholat, akan tetapi lebih
mengumumkankanya yakni membaba surat al-Fatihah dalam sholat atau selainya dari
ayat al-Qur'an yang ayatnya sesuai dengan al-Fatihah, hal ini sesuai dengan
hadis muttafakun 'alaih: ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ
الْقُرْآنِ"
kemudian bacalah apa yang mudah bersama kalian dari al-Qur’an.[48]
Kemudian hadis ini dijawab oleh
Jumhur ‘Ulama dengan hadis dari ‘Ubâdah bin al-Ssâmit dan ini merupakan hadis Mutafakun
‘alaih, أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ" sesungguhnya
Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata:
janganlan sholat orang yang tidak membaca surat al-fatihah dari al-Qur’an.[49]
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya
orang yang ingin melakukan sholat, baik sholat fardlu atau sholat sunah maka
harus membaca surat al-Fatihah, jika tidak bisa maka bacalah surat yang mudah
dari al-Qur’an yang mana jumlah ayatnya sama dengan surat al-fatihah. Maka jika
hal ini tidak dilaksanakan maka jangan sholat, jika masih dilakukan maka batal
sholat kalian.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
‘Abbâs, ‘Abdullah bin, Tafsîr Ibnu ‘Abbâs,
Lebanon: Dar al-Kitab, 817.
Abî Syujâk,
Ahmad bin al-Husain al-Syahîr bin, Fath al-Qarib, Indonesia: Haramain,
2005.
Bagawî(al), Abû
Muhammad al-Husâini bin Mas’ud, Tafsîr al-Bagawî, Bairut: Dar Thaibah,
1997.
Bukhârî(al),
Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdullah, Shahih Bukhari, Mesir: Dar Thauq
al-Najâh, 1422.
Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: SYGMA,
2009.
Hasani(al), Abû
‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin, Mafâtîh al-Ghaib, Bairut: Dar Ihya’,
1420.
Hibân, Muhammad
bin Hibân bin Ahmad bin, Shahih Ibnu Hibân, Bairut: Mu’assasah
al-Risâlah, 1988.
Katsir, Abû
al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, t.tp: Dar
Thaibah, 1999.
Mahallî(al),
Jâlal al-Dîn Muhammad bin Ahmad dan Suyutî(al), Jâlal al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin
AbÎ Bakr, Tafsîr Jâlalain, Mesir: Dar al-Hadîs, 911.
Nasâî(al), Abû
‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alî, Sunan Nasâî, Bairut: Maktabah
al-Matbû’ât, 1986.
Thabarî(al),
Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, Bairut:
Mu’asasah al-Risâlah, 2000.
[1] Muhammad bin
Hibân bin Ahmad bin Hibân, Shahih Ibnu Hibân, (Bairut: Mu’assasah
al-Risâlah, 1988), 5:504.
[2] Ahmad bin al-Husain
al-Syahîr bin Abî Syujâk, Fath al-Qarib, (Indonesia: Haramain, 2005),
hal: 11.
[3] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 17.
[4] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), hal: 383.
[5] Abû Muhammad
al-Husâini bin Mas’ud al-Bagawî, Tafsîr al-Bagawî, (Bairut: Dar Thaibah,
1997), hal: 136.
[6] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 47.
[7] Abû ‘Abdullah
Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasani, Mafâtîh al-Ghaib, (Bairut: Dar Ihya’,
1420), 7-81.
[8] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 172.
[9] Q.S. Huud 114.
[10] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 234.
[11] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 4:354.
[12] Ibid., 4:355.
[13] Muhammad bin
Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an,
(Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 15:502.
[14] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 4:355.
[15] Ibid., 4:355.
[16] Q.S.
al-Ma’idah 6.
[17] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 108.
[18] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 3:44.
[19] Q.S. An-Nisâ’
43.
[20] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 85.
[21] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 2:308.
[22] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 123.
[23] Ibid., 123.
[24] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 2:308.
[25] Q.S Al-A’raf
31
[26] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 154.
[27] Hadis ini
secara lafad juga sama seperti apa yang Ibnu Mâjah riwayatkan.
[28] Abû ‘Abd
al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alî al-Nasâî, Sunan Nasâî, (Bairut:
Maktabah al-Matbû’ât, 1986), 5:233.
[29] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 3:405.
[30] Ibid.,3:405.
[31] Abû ‘Abd
al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alî al-Nasâî, Sunan Nasâî, (Bairut:
Maktabah al-Matbû’ât, 1986), 8:205.
[32] Q.S Al-Muzzammil,
20.
[33] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 575.
[34] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 8:257.
[35] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 83.
[36] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 8:258.
[37] Muhammad bin
Ismâ’îl Abû ‘Abdullah al-Bukhârî, Shahih Bukhari, (Mesir: Dar Thauq
al-Najâh, 1422), hal:151.
[38] Q.S Al-Hâj 77.
[39] Dapertemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 341.
[40] Abû Muhammad
al-Husâini bin Mas’ud al-Bagawî, Tafsîr al-Bagawî, (Bairut: Dar Thaibah,
1997), 5:401.
[41] Jâlal al-Dîn
Muhammad bin Ahmad al-Mahallî dan Jâlal al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin AbÎ Bakr
al-Suyutî, Tafsîr Jâlalain, (Mesir: Dar al-Hadîs, 911), hal: 445.
[42] Muhammad bin
Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an,
(Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 18:678-688.
[43] ‘Abdullah bin
‘Abbâs, Tafsîr Ibnu ‘Abbâs, (Lebanon: Dar al-Kitab, 817), hal: 284.
[44] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), hal: 383.
[45] Abû Muhammad
al-Husâini bin Mas’ud al-Bagawî, Tafsîr al-Bagawî, (Bairut: Dar Thaibah,
1997), hal: 136.
[46] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 3:44.
[47] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar
Thaibah, 1999), 8:257.
[48] Ibid., 8:258.
[49] Muhammad bin
Ismâ’îl Abû ‘Abdullah al-Bukhârî, Shahih Bukhari, (Mesir: Dar Thauq
al-Najâh, 1422), hal:151.
kerren...
BalasHapus