Selasa, 09 Februari 2016

Tafsir Tematik: Sholat dalam Perspektif Al-Qur’an

Tafsir Tematik:
Sholat dalam Perspektif Al-Qur’an
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan A.
I.                   Pendahuluan
Sering kali kita sebagai orang Islam tidak mengetahui kewajiban kita sebagai mahluk yang paling sempurna yaitu sholat, atau terkadang kita tahu kewajiban tapi tidak mengerti terhadap apa yang dilakukaan. Selain itu juga bagi kaum fanatis yang tidak menghargai tentang arti khilafiyah, dan menganggap yang berbeda itu yang salah. Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukim laki-laki atau perempuan, meski dalam perjalanan atau menetap. Nabi sendiri memerintahkan umatnya untuk mengerjakanya sesuai dengan Nabi kerjakan.
قال أبو حاتم رضى الله تعالى عَنْهُ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي" لَفْظَةُ أَمْرٍ تَشْتَمِلُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ كَانَ يَسْتَعْمِلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاتِهِ فَمَا كَانَ مِنْ تِلْكَ الْأَشْيَاءِ خَصَّهُ الْإِجْمَاعُ أَوِ الْخَبَرُ بِالنَّفْلِ فَهُوَ لَا حَرَجَ عَلَى تَارِكِهِ فِي صَلَاتِهِ وَمَا لَمْ يَخُصَّهُ الْإِجْمَاعُ أَوِ الْخَبَرُ بِالنَّفْلِ فَهُوَ أَمْرٌ حَتْمٌ عَلَى الْمُخَاطَبِينَ كَافَّةً لَا يَجُوزُ تركه بحال.[1]
Dalam hadis tersebut Nabi secara tegas menyuruh seluruh umatnya untuk melakukan sholat seperti apa yang Nabi kerjakan maksutnya ialah melakukan sholat seuai yang Nabi lakukan.
Sering kali kita sadari bahwasanya kita sering mengaibaikan sebuah keutamaan atau akibat dari sebuah meninggalkan sholat sehingga untuk mengerjakannya menjadi tidak semanggat atau bermalas-malasan. Selain hal ini, hal yang lebih pokok lagi muncul yaitu ketidaktahuan akan sebuah rukun yang harus terpenuhi dengan perantara sebuah syarat-syarat yang harus dilakukan sebelum rukun itu terlaksana. Hal ini hanya berdasarkan pengtaqlidan yang salah dari seorang guru, sehingga kita harus merujuk pada sumber yang lebih akurat yaitu al-Qur’an sendiri. Dengan berbagai masalah yang timbul, ini merupakan tujuan yang akan di sampaikan, mengenai keutamaanya, rukun-rukunnya serta kaitainya dengan sholat itu sendiri.
II.                Keutamaan Sholat
Secara bahasa sholat ialah do’a, sedangkan secara istilah adalah suatu pekerjaan yang diawali dengan takbirotul ihram dan di akhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.[2] Di dalam al-Qur’an Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memberikan sebuah keutamaan dari sholat, yang mana keutamaan itu merupakan buah tersendiri daripadanya.
A.    Bertambahnya Sebuah Amal Perbuatan
Keutamaan sendiri merupakan buah hasil dari sebuah pekerjaan,  buah dari hasil ini sendiri ialah berupa kebaikan apa yang kita inginkan pasti akan mendapatkanya. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S Al-Baqarah 110:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.[3]
Bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapatkanya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwasanya Allah mengatakan, sibukkan dirimu dengan apa yang bermanfaat bagimu, dan jangan tinggalkan itu maka kamu akan mendapatkan siksa di hari akhir.[4] Syaikh al-Bagawî mengatakan bahwasanya orang yang melakukan sholat dan menunaikan zakat akan mendapat tambahan suatu kebaikan yaitu berupa keta’atan dan perbuatan amal sholeh sehingga mendapatkan buah apa yang telah dilakukannya.[5] Jadi dapat di simpulkan bahwasanya keutamaan sholat di atas yaitu berupa bertambahnya sebuah kebaikan setelah kita melakukan sholat dan menunaikan zakat.
B.     Mendapatkan Pahala yang Mengalir
Apakah arti dari sebuah pahala itu, kita sering membicarakanya, mencarinya, bahkan berebut-rebut untuk mendapatkanya. Pahala sendiri yaitu sebuah balasan apa yang telah diperbuat oleh seorang hamba, perbuatan disini maksutnya ialah perbuatan yang bersifat positif. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah 277:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.[6]
Pada lafad awal diatas إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ bahwasanya orang-orang yang iman dan melakukan amal sholeh merupakan athof pada lafad الْإِيمَانِ, yang dimaksut amal sholeh disini yaitu perbuatan sholat dan menunaikan zakat. Lain halnya dengan orang yang masuk dalam kategori ini yaitu orang kafir yang menghalangi manusia untuk menuju jalan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ maka mereka akan kekal di neraka dan Allah tidak akan mengampuni dosa-dosanya. Sedangkan orang yang melakukan amal sholeh maka mereka akan mendapat ganjaran atau pahala yang mengalir padanya.[7] Seperti halnya dalam Q.S. Al-A’raf 170.
وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ إِنَّا لا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ
Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang  mengadakan perbaikan.[8]
Secara tegas ayat diatas mengungkapkan bahwasanya orang yang mendirikan sholat akan diberi pahala, kaitanya dengan mendirikan sholat juga berarti memperbaiki diri dalam sholat dan amal kebaikan.
 Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seseorang yang melakukan amal sholeh yaitu berupa melakukan sholat dan menunaikan zakat akan mendapat pahala yang mengalir padanya.
C.    Menghapus Perbuatan Buruk
Suatu perbuatan pasti tak pernah lekang dari diri kita, baik itu perbuatan yang bersifat positif atau perbuatan itu bersifat negatif. Kebanyakan dari kita tak menyadari bahwasanya perbuatan negatif lebih condong pada diri kita, dibandingkan dengan perbuatan yang bersifat positif, oleh hal itu untuk menjadikannya setara atau melebihinya kita harus berusaha menambah keta’atan baik yang bersifat mahdoh atau ghoiru mahdoh. Alllah Subhânahu wa Ta’âlâ  berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ[9]
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.[10]
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa lafad yang dimaksut وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ merupakan sholat subuh dan sholat magrib. Ibnu Katsir berlandasan pada hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbâs {وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ} قَالَ: يَعْنِي الصُّبْحَ وَالْمَغْرِبَ hal ini seperti apa yang dikatakan oleh ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam tetapi dalam riwayat yang berbeda yaitu dari Qatadah, al-Dzuhâk dan lain-lainnya. Sedangkan Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksut طَرَفَيِ النَّهَار adalah sholat subuh pada awal pagi, sholat dzuhur, dan sholat ashar pada akhir waktu. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad bin Ka’ab al-Quradî dan al-Dzuhâk.[11] Sedangkan lafad وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ Ibnu Katsir tafsirkan dengan sholat sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbâs {وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَمُجَاهِدٌ، وَالْحَسَنُ، وَغَيْرُهُمْ: يَعْنِي صَلَاةَ الْعِشَاءِ. Dari riwayat yang berbeda al-Hasan mengatakan dalam riwayat Ibnu al-Mubârak bahwasanya yang dimaksut وَزُلَفًا adalah sholat magrib dan isya’ dan Rasulullah mengatakan itu juga.[12] Hal ini sama apa yang telah Imam Thabari jelaskan dalam kitab Tafsîr Thabari.[13] Hal ini seperti apa yang dikatakan Mujahid dan Muhammad bin Ka'ab dan Qatadah dan al-Dzuhâk bahwasanya lafad وَزُلَفًا maksutnya ialah sholat magrib dan isya', ayat tersebut turun sebelum adanya sholat fardu lima waktu pada malam isra', maka sholat lima waktu itu seperti apa yang di wajibkan dalam dua sholat yakni sholat sebelum terbitnya matahari dan sholat sebelum tenggelamnya matahari.[14]
Ibnu Katsir menjelaskan lafad إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ bahwasanya barangsiapa melakukan perbuatan bagus seperti halnya sholat maka Allah Subhânahu wa Ta’âlâ akan menghapus dosa kalian, dosa apa yang telah lewat.[15] Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang melakukan amal perbuatan baik seperti halnya sholat maka Allah Subhânahu wa Ta’âlâ akan menghapus dosa hambanya yang telah berlalu, ini merupakan keutamaan tersendiri dari sholat.
III.             Syarat-Syarat Sholat
Syarat merupakan suatu perbuatan yang bukan dari bagian sholat tetapi suatu hal yang bisa membuat syahnya sholat seorang hamba. Seperti halnya wudhu, wudhu merupakan tidak bagian dari sholat akan tetapi wudhu merupakan bagian yang bisa mengesyahkan sholat. Dan hal ini tidak boleh di tinggal melainkan harus dilakukannya.
A.    Suci Sebelum Sholat
Apa yang dimaksut suci disini ialah suci baik dari hadas kecil atau suci dari hadas besar, begitu juga halnya dengan berwudhu, bertayamum, mandi besar atau junub sebelum melakukan sholat. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ[16]
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.[17]
Ibnu Katsîr menjelaskan lafad إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ dengan pengertian yaitu ketika kalian berdiri atau bangun dari tidur menuju ke sholat, kedua perbuatan itu diartikan dengan masa yang dekat. Sedangkan pendapat yang memaknainya dengan makna yang umum dari segala perbuatan bukan hanya bangun dari tidur saja, maka setelah itu diperintah untuk wudhu sebelum melakukan sholat, akan tetapi dengan wudhu dengan jalan yang benar atau dengan kebenaran sesuci atas jalan kesunahan. Pendapat yang lain mengartikan sesungguhnya seseorang diperintahkan berwudhu pada setiap sholat bahwasanya itu wajib dalam permulaan Islam, kemudian perkataan ini di nasih oleh Imam Ahmad bin Hanbal, bahwasanya Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam wudhu pada setiap sholatnya, adapun hari itu termasuk juga hari pembukaan, dan Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam menggusab pada sepatu beliau atau muzahnya. Dan Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam melakukan beberapa sholat dengan sekali wudhu. Kemudian 'Umar berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya engkau melakukan sesuatu yang belum pernah engkau lakukan...? Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata sesungguhnya saya sengaja melakukan itu wahai 'Umar. Imam Tirmidzî mengomentari hadis ini bahwasnaya hadis tersebut termasuk dalam kategori hasan shahih.[18]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seseorang ketika ingin melakukan sholat maka seseorang tersebut harus suci dulu baik dari hadas besar maupun hadas kecil, dengan melakukan mandi atau dengan wudhu saja bahkan perlu juga dengan keduannya melihat najis yang terkena pada seseorang tersebut.
B.     Sehat Akalnya
Berakal disini ialah berakal secara sempurna, dapat berfikir dengan tenang, tidak berkata-kata yang tidak di dasari dengan kemauan sendiri, mungkin disebabkan oleh mabuk atau obat-obat terlarang. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا[19]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.[20]
Ibnu Katsir menjelaskan ayat diatas maksutnya ialah seseorang dalam keadaan mamang, maksutnya ialah apakah masih mempunyai wudhu atau tidak, dilarang melakukan sholat. Ini masih di perselisihkan, bahwasannya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ melarang hambanya untuk beribadah dari melakukan sholat sedangkan hambanya dalam keadaan mabuk, yang mana tidak mengetahui apa yang dikerjakanya dan di ucapkanya. Bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah melarang hambanya untuk tidak mendekatinya dan bahwasanya khomer dan maisir merupakan dosa yang besar. Seperti halnya Q.S al-Baqarah 219 يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ dan dalam hadis sesungguhnya Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam dalam perkataanya:
 تَلَاهَا عَلَى عُمَرَ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ، تَلَاهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا فَكَانُوا لَا يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ فِي أَوْقَاتِ الصَّلَوَاتِ[21]
Berkenaan dengan hadis ini kemudian turunlah ayat al-Mâ’idah ayat 90-91 yang menjelaskan bahwasanya khomar, judi dan semacamnya merupakan perbuatan syaitan, karna hal ini merupakan perkara yang membuat kita lupa dengan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.[22]
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu.[23]
Kemudian ‘Umar berkata: saya harus mencegahnya, saya harus mencegahnya.[24] Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya sebelum melakukan sholat, seseorang akalnya harus sempurna, jadi dalam perkataan dan perbuatannya itu jelas, jelas berdasarkan akal, fikiran dan kehendak sendiri.
C.    Menutup Aurat
Di zaman yang sangat moderen ini, banyak orang yang mengapresiasikan pakaian sesuai dengan trendinya, yang mana itu semua bertentangan dengan ketentuan syariat kita, lebih-lebih ketika kaum pria menggunakannya dalam keadaan sholat, tidak mengetahui apakah pakaian tersebut suci, bersih atau sopan tidak. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ[25]
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[26]
Ibnu Katsir menjelaskan bahwasanya ayat ini merupakan ayat yang di tentang oleh orang-orang musyrik, ketika orang musyrik tersebut melakukan tawaf dengan sengaja di 'Uratan. Ada lagi yang mengatakan kalau ayat ini turun ketika Nabi melakukan sholat di Ni’âl, hanya Allah lah yang mengetahui ini. Hal ini seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya:
رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ جَرِيرٍ[27] وَاللَّفْظُ لَهُ مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْل، عَنْ مُسْلِمٍ البَطِين، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْر، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانُوا يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ عُرَاةً، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ: الرِّجَالُ بِالنَّهَارِ، وَالنِّسَاءُ بِاللَّيْلِ. وَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَقُولُ:
اليومَ يبدُو بعضُه أَوْ كُلّه ... وَمَا بَدَا مِنْه فَلَا أحِلّهُ ...
فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ}[28]
وَقَالَ العَوْفي، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ [تَعَالَى] {خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ} الْآيَةَ، قَالَ: كَانَ رِجَالٌ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ عُرَاةً، فَأَمَرَهُمُ اللَّهُ بِالزِّينَةِ -وَالزِّينَةُ: اللِّبَاسُ، وَهُوَ مَا يُوَارِي السَّوْأَةَ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ جَيّد البزِّ وَالْمَتَاعِ -فَأُمِرُوا أَنْ يَأْخُذُوا زِينَتَهُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ.
Hadis kedua merupakan penjelas hadis pertama, bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan kalian semua untuk memakai pakai yang indah atau bagus ketika akan masuk disetiap masjid. Hal ini sama apa yang telah dikatakan oleh Mujâhid, ‘Athâk, Ibrâhîm, Sa’îd bin Zubaîr, Qatadah, dan lainnya.[29] Mengenai masalah warna pakaian Ibnu Katsir menerangkan dari perkataan Imam Ahmad bahwasanya Nabi berkata: pakailah kalian semua pakaian putih, maka sesungguhnya putih itu suci dan baik/bagus, dan kafanilah kalian semua dengan itu ketika meninggal nanti,[30] hadisnya berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلَيْكُمْ بِالثِّيَابِ الْبَيَاضِ فَالْبَسُوهَا؛ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ"[31]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seseorang ketika akan memasuki masjid atau akan melakukan sholat pakailah pakaian yang indah, bagus, bersih dan sopan. Untuk ketentuan warnanya Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam menyarankan untuk memakai pakaian yang putih, karna putih itu merupakan pakaian yang suci dan indah.
IV.             Rukun-Rukun Sholat
Ketentuan ini merupakan ketentuan yang wajib. Karna rukun sendiri merupakan kefarduan dalam sholat, dan ini harus dilaksanakan, maka jika rukun ini tidak terlaksana maka batallah sholat seorang hamba. Seperti halnya membaca surat al-Fatihah, dan ini harus dilakukanya jika tidak batallah sholat kita.
A.    Membaca Surat
Membaca surat disini ialah membaca surat al-Fatihah, maka bacalah surat dari al-Qur’an yang sekirannya mudah bagimu. Dalam fiqh kita, jika kita tidak bisa membaca al-Fatihah maka bacalah ayat yang lain dari al-Qur’an yang sekirannya mudah, tapi ayatnya harus sesuai dengan al-Fatihah, Allah berfirman dalam Q.S al-Muzzammil, 20.
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ[32]
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[33]
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman susungguhnya ini surat merupakan peringatan bagi orang yang berakal. Maka barangsiapa berkehendak mengambil di jalan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ maksutnya ialah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berkehendak memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendakinya, hal ini seperti apa yang telah di qayyiti dalam surat An-Nisa' ayat 30.[34]
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[35]
Imam Abu Hanifah menunjukkan, bahwasanya ini ayat فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ menunjukan atas tidak adanya ketentuan membaca al-Fatihah dalam sholat, akan tetapi lebih mengumumkankanya yakni membaba surat al-Fatihah dalam sholat atau selainya dari ayat al-Qur'an yang ayatnya sesuai dengan al-Fatihah, hal ini sesuai dengan hadis muttafakun 'alaih: ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ" kemudian bacalah apa yang mudah bersama kalian dari al-Qur’an.[36]
Kemudian hadis ini dijawab oleh Jumhur ‘Ulama dengan hadis dari ‘Ubâdah bin al-Ssâmit dan ini merupakan hadis Mutafakun ‘alaih, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ" sesungguhnya Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata: janganlan sholat orang yang tidak membaca surat al-fatihah dari al-Qur’an.[37]
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya orang yang ingin melakukan sholat, baik sholat fardlu atau sholat sunah maka harus membaca surat al-Fatihah, jika tidak bisa maka bacalah surat yang mudah dari al-Qur’an yang mana jumlah ayatnya sama dengan surat al-fatihah. Maka jika hal ini tidak dilaksanakan maka jangan sholat, jika masih dilakukan maka batal sholat kalian.
B.     Rukuk dan Sujud
Rukuk dan sujud disini mungkin masih dalam kategori umum ya, maksutnya ialah tidak ada penjelasan secara langsung dari al-Qur’an kalau rukuk dan sujud merupakan rukun sholat. Tetapi secara maksut memang sudah mengarah kalau rukuk dan sujud merupakan rukun dari sholat. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[38]
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.[39]
Ibnu Jarir at-Thabari mejelaskan ayat diatas bahwasanya يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا Allah Subhânahu wa Ta’âlâ  berfirman hai orang-orang, benarkan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan Rasul kalian, rukuklah kalian semua pada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dalam sholat kalian dan sujudlah kalian pada sholat kalian, Imam al-Bagawî menjelaskan ayat ini dengan tafsiran: sholatlah kalian karna sesungguhnya sholat itu tidak ada kecuali didalamnya terdapat rukuk dan sujud.[40] Dan sembahlah tuhanmu dengan keta'atan, kerjakan apa yang diperintah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, Imam Jâlaluddin al-Mahalli dan Al-Suyuti menafsirkan ayat ini وَافْعَلُوا الْخَيْرَ dengan melakukan silahturahim dan untuk menyempurnakan akhlak,[41] supaya kalian mendapat kebahagiaan,[42] dalam tafsiran Ibnu Abbas ialah supaya kalian mendapat keberhasilan atau selamat dari keguguran atau siksa.[43]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya ayat ini menunjukan kalau rukuk dan sujud merupakan rukun dari sholat, maka jika kalian tidak melakukannya batallah sholat kalian.
V.                Kesimpulan
A.    Bertambahnya Sebuah Amal Perbuatan
Keutamaan sendiri merupakan buah hasil dari sebuah pekerjaan,  buah dari hasil ini sendiri ialah berupa kebaikan apa yang kita inginkan pasti akan mendapatkanya. Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah 110.
Bahwasanya Allah berfirman dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapatkanya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwasanya Allah mengatakan, sibukkan dirimu dengan apa yang bermanfaat bagimu, dan jangan tinggalkan itu maka kamu akan mendapatkan siksa di hari akhir.[44] Syaikh al-Bagawî mengatakan bahwasanya orang yang melakukan sholat dan menunaikan zakat akan mendapat tambahan suatu kebaikan yaitu berupa keta’atan dan perbuatan amal sholeh sehingga mendapatkan buah apa yang telah dilakukannya.[45] Jadi dapat di simpulkan bahwasanya keutamaan sholat di atas yaitu berupa bertambahnya sebuah kebaikan setelah kita melakukan sholat.
B.     Suci Sebelum Sholat
Apa yang dimaksut suci disini ialah suci baik dari hadas kecil atau suci dari hadas besar, begitu juga halnya dengan berwudhu, bertayamum, mandi besar atau junub sebelum melakukan sholat. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S Al-Ma’idah 6:
Ibnu Katsîr menjelaskan lafad إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ dengan pengertian yaitu ketika kalian berdiri atau bangun dari tidur menuju ke sholat, kedua perbuatan itu diartikan dengan masa yang dekat. Sedangkan pendapat yang memaknainya dengan makna yang umum dari segala perbuatan bukan hanya bangun dari tidur saja, maka setelah itu diperintah untuk wudhu sebelum melakukan sholat, akan tetapi dengan wudhu dengan jalan yang benar atau dengan kebenaran sesuci atas jalan kesunahan. Pendapat yang lain mengartikan sesungguhnya seseorang diperintahkan berwudhu pada setiap sholat bahwasanya itu wajib dalam permulaan Islam, kemudian perkataan ini di nasih oleh Imam Ahmad bin Hanbal, bahwasanya Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam wudhu pada setiap sholatnya, adapun hari itu termasuk juga hari pembukaan, dan Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam menggusab pada sepatu beliau atau muzahnya. dan Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam melakukan beberapa sholat dengan sekali wudhu. kemudian 'Umar berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya engkau melakukan sesuatu yang belum pernah engkau lakukan...? Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata sesungguhnya saya sengaja melakukan itu wahai 'Umar. Imam Tirmidzî mengomentari hadis ini bahwasnaya hadis tersebut termasuk dalam kategori hasan shahih.[46]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seseorang ketika ingin melakukan sholat maka seseorang tersebut harus suci dulu baik dari hadas besar maupun hadas kecil, dengan melakukan mandi atau dengan wudhu saja bahkan perlu juga dengan keduannya melihat najis yang terkena pada seseorang tersebut.
C.    Membaca Surat
Membaca surat disini ialah membaca surat al-Fatihah, maka bacalah surat dari al-Qur’an yang sekirannya mudah bagimu. Dalam fiqh kita, jika kita tidak bisa membaca al-Fatihah maka bacalah ayat yang lain dari al-Qur’an yang sekirannya mudah, tapi ayatnya harus sesuai dengan al-Fatihah, Allah berfirman dalam Q.S al-Muzzammil, 20.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman susungguhnya ini surat merupakan peringatan bagi orang yang berakal. Maka barangsiapa berkehendak mengambil di jalan Allah maksutnya ialah Allah berkehendak memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendakinya, hal ini seperti apa yang telah di qayyiti dalam surat an Nissa' ayat 30.[47]
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Imam Abu Hanifah menunjukkan, bahwasanya ini ayat فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ menunjukan atas tidak adanya ketentuan membaca al-Fatihah dalam sholat, akan tetapi lebih mengumumkankanya yakni membaba surat al-Fatihah dalam sholat atau selainya dari ayat al-Qur'an yang ayatnya sesuai dengan al-Fatihah, hal ini sesuai dengan hadis muttafakun 'alaih: ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ" kemudian bacalah apa yang mudah bersama kalian dari al-Qur’an.[48]
Kemudian hadis ini dijawab oleh Jumhur ‘Ulama dengan hadis dari ‘Ubâdah bin al-Ssâmit dan ini merupakan hadis Mutafakun ‘alaih, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ" sesungguhnya Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam berkata: janganlan sholat orang yang tidak membaca surat al-fatihah dari al-Qur’an.[49]
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya orang yang ingin melakukan sholat, baik sholat fardlu atau sholat sunah maka harus membaca surat al-Fatihah, jika tidak bisa maka bacalah surat yang mudah dari al-Qur’an yang mana jumlah ayatnya sama dengan surat al-fatihah. Maka jika hal ini tidak dilaksanakan maka jangan sholat, jika masih dilakukan maka batal sholat kalian.



Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
 ‘Abbâs, ‘Abdullah bin, Tafsîr Ibnu ‘Abbâs, Lebanon: Dar al-Kitab, 817.
Abî Syujâk, Ahmad bin al-Husain al-Syahîr bin, Fath al-Qarib, Indonesia: Haramain, 2005.
Bagawî(al), Abû Muhammad al-Husâini bin Mas’ud, Tafsîr al-Bagawî, Bairut: Dar Thaibah, 1997.
Bukhârî(al), Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdullah, Shahih Bukhari, Mesir: Dar Thauq al-Najâh, 1422.
Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: SYGMA, 2009.
Hasani(al), Abû ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin, Mafâtîh al-Ghaib, Bairut: Dar Ihya’, 1420.
Hibân, Muhammad bin Hibân bin Ahmad bin, Shahih Ibnu Hibân, Bairut: Mu’assasah al-Risâlah, 1988.
Katsir, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, t.tp: Dar Thaibah, 1999.
Mahallî(al), Jâlal al-Dîn Muhammad bin Ahmad dan Suyutî(al), Jâlal al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin AbÎ Bakr, Tafsîr Jâlalain, Mesir: Dar al-Hadîs, 911.
Nasâî(al), Abû ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alî, Sunan Nasâî, Bairut: Maktabah al-Matbû’ât, 1986.
Thabarî(al), Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000.




[1] Muhammad bin Hibân bin Ahmad bin Hibân, Shahih Ibnu Hibân, (Bairut: Mu’assasah al-Risâlah, 1988), 5:504.
[2] Ahmad bin al-Husain al-Syahîr bin Abî Syujâk, Fath al-Qarib, (Indonesia: Haramain, 2005), hal: 11.
[3] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  17.
[4] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), hal: 383.
[5] Abû Muhammad al-Husâini bin Mas’ud al-Bagawî, Tafsîr al-Bagawî, (Bairut: Dar Thaibah, 1997), hal: 136.
[6] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  47.
[7] Abû ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasani, Mafâtîh al-Ghaib, (Bairut: Dar Ihya’, 1420), 7-81.
[8] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  172.
[9] Q.S. Huud 114.
[10] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  234.
[11] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 4:354.
[12] Ibid., 4:355.
[13] Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, (Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 15:502.
[14] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 4:355.
[15] Ibid., 4:355.
[16] Q.S. al-Ma’idah 6.
[17] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009), 108.
[18] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 3:44.
[19] Q.S. An-Nisâ’ 43.
[20] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  85.
[21] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 2:308.
[22] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  123.
[23] Ibid., 123.
[24] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 2:308.
[25] Q.S Al-A’raf 31
[26] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  154.
[27] Hadis ini secara lafad juga sama seperti apa yang Ibnu Mâjah riwayatkan.
[28] Abû ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alî al-Nasâî, Sunan Nasâî, (Bairut: Maktabah al-Matbû’ât, 1986), 5:233.
[29] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 3:405.
[30] Ibid.,3:405.
[31] Abû ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Alî al-Nasâî, Sunan Nasâî, (Bairut: Maktabah al-Matbû’ât, 1986), 8:205.
[32] Q.S Al-Muzzammil, 20.
[33] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  575.
[34] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 8:257.
[35] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  83.
[36] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 8:258.
[37] Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdullah al-Bukhârî, Shahih Bukhari, (Mesir: Dar Thauq al-Najâh, 1422), hal:151.
[38] Q.S Al-Hâj 77.
[39] Dapertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: SYGMA, 2009),  341.
[40] Abû Muhammad al-Husâini bin Mas’ud al-Bagawî, Tafsîr al-Bagawî, (Bairut: Dar Thaibah, 1997),  5:401.
[41] Jâlal al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî dan Jâlal al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin AbÎ Bakr al-Suyutî, Tafsîr Jâlalain, (Mesir: Dar al-Hadîs, 911), hal: 445.
[42] Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, (Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 18:678-688.
[43] ‘Abdullah bin ‘Abbâs, Tafsîr Ibnu ‘Abbâs, (Lebanon: Dar al-Kitab, 817), hal: 284.
[44] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), hal: 383.
[45] Abû Muhammad al-Husâini bin Mas’ud al-Bagawî, Tafsîr al-Bagawî, (Bairut: Dar Thaibah, 1997), hal: 136.
[46] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 3:44.
[47] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (t.tp: Dar Thaibah, 1999), 8:257.
[48] Ibid., 8:258.
[49] Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdullah al-Bukhârî, Shahih Bukhari, (Mesir: Dar Thauq al-Najâh, 1422), hal:151.

1 komentar: