Selasa, 09 Februari 2016

Tafsir Tematik: ETIKA BERHIAS DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Tafsir Tematik:
ETIKA BERHIAS DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan A

I.                   Pendahuluan
Adanya berbagai kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang serba canggih dan cepat dapat menghasilakan produk-produk yang beraneka ragam yang digunakan untuk kebutuhan manusia. Salah satu aspek yang sangat berkembang dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia adalah industri pakaian. Pakaian pada dasarnya adalah kebutuhan primer (pokok) yang sangat dibutuhkan oleh manusia di dunia dan perkembanganya cukup signifikan, hal ini  terbukti dengan berdirinya pabrik-pabrik pakaian dengan berbagai model dan bahan yang sangat bervariasi diseluruh dunia, khususnya di Indonesia.
Sebagai seorang muslim kita harus melihat kaidah-kaidah berpakaian yang sesuai dengan syari’at islam, supaya apa yang kita kenakan dapat dipertanggungjawabkan di akhirat kelak dan tidak memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Berbeda dengan zaman sekarang banyak dikenal model yang tidak sesuai dengan syari’at islam, sebagai contoh adalah model pakaian yang dikenal dengan istilah “you can see” yang artinya kamu boleh melihat, atau bahkan ada yang rela mati-matian untuk menaikan bagian bawahnya ke atas dan yang atas rela diturunkan kebawah, atau ada yang mengenangkan baju yang tidak semestinanya dipakai oleh anak TK/SD (pakaian super ketat) hingga terlihatlah apa yang seharusnya tidak terlihat. Naudzubillah min dzalik.
Begitu pula dengan kehidupan di kampus yang tentunya tidak terlepas dari peratura-peraturan kampus sendiri. Dimana kampus merupakan salah satu media untuk mencetak kader-kader penerus bangsa yang menjadi figur dari beberapa kalangan, baik kota maupun desa dan kalangan lainnya. Sehingga masalah berpakain di kampus juga perlu di jaga dan disesuaikan dengan syari’at Islam.
Akhir-akhir ini banyak diantara mahasiswa dan mahasiswi yang memfigurkan pakaian-pakain barat sebagai kebanggaan mereka biasanya identik serba seksi walaupun melanggar ketentuan syari’at islam. Dengan gaya dan mode pakaian tersebut secara tidak langsung akan dapat memicu para generasi muda bangsa pada perbuatan-perbuatan tidak diinginkan, terutama moral dan akhlak mereka serta merugikan baik secara duniawi maupun ukhrawi. Dari uraian di atas timbul suatu masalah bahwasanya apa itu etika berpakaian, bagaimana mana batasan berpakaian, dan timbul pula hal-hal yang dilarang dalam berpakaian.
II.                Pengertian Etika
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain.
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik.
A.    Etika Berpakaian
1.      Menutup Aurot
Nabi selain sebagai mubaiyin al-Qur’an juga berperan untuk memberikan sikap, etika, dan perkataan yang baik. Termasuk juga untuk menyempurnakan akhlak umat terdahulu, akhlak tersebut meliputi akhlak berbicara, tindakan, betitu juga dengan akhlak berpakaian. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dan Q.S al-A’raf ayat 26:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan bagimu pakaian untuk menutupimu dan untuk perhiasanmu maka gunakanlah pakaian tersebut untuk menutupi auratmu,[1] begitu juga untuk menutupi tubuhmu dari segala benda-benda tajam supaya kulitmu terlindungi. Beliau juga menjelaskan bahwasanya aurat adalah Shahwat, perhiasan yang bagus dan nampak. Bahwasanya aurot ketika kita lihat dalam arti shahwat maka akan menimbulkan kedorurotan, sebaliknya ketika kita artikan perhiasan maka akan menimbulkan kesempurnaan dan terlihatnya bertambahnya kebaikan. Ibnu Jarir menjelaskan lafat وَرِيشًا dalam lisanul arab bahwasanya وَرِيشًا ialah apa yang nampak dari suatu pakaian. Ibnu Jarir mengartikan dengan kebagusan.[2]  Imam Buchori menceritakan dari 'Ali bin Abi Talhah dari Ibnu 'Abbas bahwasanya yang dimaksut وَرِيشًا adalah benda. Ikrimah menjelaskan bahwasanya وَرِيشًا adalah pakaian yang digunakan orang-orang yang bertaqwa di hari akhir. sedangkan Ibnu Juraij mengartikan dengan dengan iman, sedangkan Ibnu 'Abbas mengartikan dengan perbuatan yang bagus. [3]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya etika berpakaian ialah pakaian yang dapat menutupi aurat, selain itu juga dapat melindungi kulit dari benda-benda kasar.
2.      Tidak Memamerkan Perhiasan
Ini merupakan keumuman tersendiri bagi laki-laki dan perempuan untuk tidak selalu memamerkan pakaianya ketika sedang berbusana, agar tidak menimbulkan suatu ria’, mendatangkan suatu kemaksiatan, dan terkhusus bagi wanita untuk menutup atau memanjangkan bagian bawahnya dari busananya agar tidak terlihat aurotnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S an-Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ibnu katsir menjelaskan ayat ini وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ  bahwasanya ada seorang wanita Jahiliyah ketika itu berjalan di jalan dan di bagian kakinya terdapat semacam gelang dan ketika itu pula wanita itu memukul kakinya ke tanah maka seketika itu seorang laki-laki mengetahuinya. Ibnu Jarir menjadikan dikakinya tempat utuk suatu perhiasan.[4] Maka sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ melarang orang mukmin untuk melakukan semacam itu.[5] Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasannya seorang wanita ketika berjalan, janganlah terlalu keras menggeran kakinya agar ketika itu perhiasanya tidak terdengar, sehingga seseorang mengetahuinya atau mendengarnya.
B.     Keharusan Memakai Jilbab Di Luar Rumah
Ini merupakan kekhususan tersendiri bagi kaum wanita untuk selalu memakai hijab diluar rumah, dalam al-Qur’an Allah Subhânahu wa Ta’âlâ secara tegas menyuruh untuk memakainya dalam Q.S al-Ahzab Ayat 59:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat diatas bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan perempuan-perempuan muslim terkhusus istri-istri kalian, anak-anak perempuan kalian, untuk mengulurkan jilbab, jilbab disini dal artian dapat menutup muka, kepala dan dada, kebagian seluruh tubuhnya, untuk menbedakan antara wanita-wanita jahiliyah.[6] Abû al-Qâsim mengartikan dengan perhiasan yang menutupi bagian atas dan bagian bawah.[7] Begitu juga untuk membedakan dengan wanita-wanita ansor .[8] وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ Sufyan al-Sauri berkat: tidak apa apa melihat kepada wanita yang ahli Dimmah, sesungguhnya perkara yang dilarang ialah melihat wanita karna takut kena fitnah tidak menghormatinya, kemudian turun ayat ini. ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ Ibnu Katsir ketika kalian bekerja supaya dapat dikenali. Ibnu Katsir berkata bahwasanya ada seorang wanita ditengah malam yang keluar di Madinah yang bercampur dengan kemaksiatan di jalam Madinah dan hal ini sangat bertentangan dengan sikap seorang perempuan. Dan adapun ada seorang miskin penduduk madinah yang sibuk, maka ketika malam perempuan tersebut keluar ke jalan untuk mendatangkan suatu keperluan, maka ketika itu orang fasik datang padanya, maka perempuan tadi melihat orang fasik memakai jilbab, perempuan tersebut berkat Hurroh. Kemudian orang fasik tadi berhenti menghampiri perempuan tadi. Maka ketika perempuan tersebut melihat perempuan fasik tidak memakai jilbab dan berkata amah. وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memberikan kepada orang-orang jahiliyah karna pada zaman dahulu tidak ada ilmu yang mempelajari tentang itu.[9]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seorang wanita ketika akan keluar maka harus memakai jilbab supaya dapat menbedakan antara wanita jahiliyah dan wanita muslimah dan agar juga tidak diganggu. Dan tujuan untuk memakai jilbab itu ialah agar aurat perempuan tersebut terjaga atau tertutupi, mulai dari bagian dada, kepala dan muka. Pada cerita diatas tersebut merupakan kekhususan karna pada saat itu belum adanya ilmu yang menerangkan tentang hijab, dan Allah mengampuninya.
C.    Keringanan Memakai Hijab Bagi Orang Tua
Ini merupakan kekhususan tersendiri yang diberikan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kepada orang yang tua yang mana orang tua tersebut tidak lagi menginginkan untuk menikah, keringanan tersebut tidak sembarang dilakukan tetapi dengan niat tidak menimbulkan kemaksiatan pada orang lain Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S An-Nuur ayat 60:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ibnu Katsir menjelaskan lafad وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ  bahwasanya Said bin Jubair berkata terhenti disini ialah terhenti dari haid dan mengandung. لا يَرْجُونَ نِكَاحًا tidak menetapkan baginya untuk menikah. Abû al-Hasan ‘Ali menjelaskanya dengan lemahnya wanita yang tidak disunahkan kembali ke pernikahan.[10] فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ  tidak ada dosa bagi mereka dalam meninggalkan menutup pakaian pada tubuhnya termasuk kepala, muka, dan dada.[11]
Jadi dapat diambil kesimpulan dari tafsiran yat di atas meskipin sedikit tetapi sudah menunjukan bahwasanya orang tua yang sudah terhenti dari haid, tidak dapat mengandung lagi dan tidak menginginkan untuk menikah maka diperbolehkanya untuk tidak memakai jilbab hal ini merupan kekhususan tersendiri yang diberikan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ untuk orang yang sudah tua.
D.    Menutup Bagian Dada
Menutup disini merupakan kekhususan tersendiri bagi wanita, untuk melindungi bagian dada yang menonjol, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S An-Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ibnu Katsir menjelaskan lafad ini وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ  maksutnya ialah hendaknya seorang wanita menutupi pada dadanya sampai menutupi bagian bawah dadanya, berbeda dengan orang Jahiliyah yang menampakan bagian dadanya, karna orang jahiliyah tidak mengetahui apa yang dikerjakanya itu. Maka Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan wanita mukmin untuk menutupi di dalam bertindak dan tingkahnya seperti apa yang Allah katakan dalam surat al-Ahzab ayat 39:
 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.[12]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seseorang wanita ketika ingin memakai jilbab maka pakailah hijab yang bisa menutupi bagian dada sampai bagian bawahnya, tujuan dari ini ialah agar tidak menimbulkan suatu kemaksiatan, dan tujuan pemakaian hijab ialah untuk membedakan antara wanita muslim dan wanita Jahiliyah.
E.     Larangan Tidak Memakai Tabir di Luar Rumah
Kekhususan ini merupakan kekhususan bagi istri-istri Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam ini merupakan isyarat bahwasannya selain istri Nabi maka tidak boleh memakai hijab atau tidak boleh tidak memakai tabir di luar rumah, Allas Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 55:
لا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلا أَبْنَائِهِنَّ وَلا إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلا نِسَائِهِنَّ وَلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu
Imam Qurtubi menafsirkan ayat ini dengan membagi tiga masalah, masalah pertama bahwasanya ayat hijab ini turun ketika ayah, anak-anak, dan orang yang dekat dengan Nabi berkata kepada Nabi: kita lagi yang mengatakan dari arah hijab? kemudian turun ayat ini. yang kedua Allah menyebutkan dalam ayat ini menghalalkan wanita tidak memakai dan Allah tidak menyebutkan keumuman bagi wanita-wanita lain akan tetapi kekhususan bagi istri Nabi. yang ketiga Allah menyebutkan akan keringanan bagi para janda seperti halnya istri-istri Nabi.[13] Abu al-Hasan menafsirkan ayat di atas dengan meninggalkan hijab dalam keadaan apapun.[14] Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan para wanita untuk memakai hijab didalam setiap keadaan, dan bahwasanya ketika tidak diwajibkan memakai hijab itu sesuai dengan surat an-Nuur ayat 31:
 وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Bahwasanya tidak memakai hijab itu ketika kita berada dekat dengan  suami mereka, ayah, ayah suami mereka, putra putra mereka, putra suami mereka, wanita Islam atau budak-budak, pelayan laki-laki yang yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Ibnu Katsir mengomentari ayat ini bahwasanya ini merupakan keumuman bagi semua wanita tidak terkhusus bagi istri-istri Nabi.[15] Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya kami lebih condong kekhususan bagi istri-istri Nabi, begitu juga larangan tidak memakai hijab ketika diluar rumah, maka ketika diluar rumah harus memakai hijab.
III.             Kesimpulan
A.    Menutup Aurot
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk
Nabi selain sebagai mubaiyin al-Qur’an juga berperan untuk memberikan sikap, etika, dan perkataan yang baik. Termasuk juga untuk menyempurnakan akhlak umat terdahulu, akhlak tersebut meliputi akhlak berbicara, tindakan, betitu juga dengan akhlak berpakaian. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dan Q.S al-A’raf ayat 26:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan bagimu pakaian untuk menutupimu dan untuk perhiasanmu maka gunakanlah pakaian tersebut untuk menutupi auratmu,[16] begitu juga untuk menutupi tubuhmu dari segala benda-benda tajam supaya kulitmu terlindungi. Beliau juga menjelaskan bahwasanya aurat adalah Shahwat, perhiasan yang bagus dan nampak. Bahwasanya aurot ketika kita lihat dalam arti shahwat maka akan menimbulkan kedorurotan, sebaliknya ketika kita artikan perhiasan maka akan menimbulkan kesempurnaan dan terlihatnya bertambahnya kebaikan. Ibnu Jarir menjelaskan lafat وَرِيشًا dalam lisanul arab bahwasanya وَرِيشًا ialah apa yang nampak dari suatu pakaian. Ibnu Jarir mengartikan dengan kebagusan.[17]  Imam Buchori menceritakan dari 'Ali bin Abi Talhah dari Ibnu 'Abbas bahwasanya yang dimaksut وَرِيشًا adalah benda. Ikrimah menjelaskan bahwasanya وَرِيشًا adalah pakaian yang digunakan orang-orang yang bertaqwa di hari akhir. sedangkan Ibnu Juraij mengartikan dengan dengan iman, sedangkan Ibnu 'Abbas mengartikan dengan perbuatan yang bagus. [18]
B.     Menutup Bagian Dada
Menutup disini merupakan kekhususan tersendiri bagi wanita, untuk melindungi bagian dada yang menonjol, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S An-Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ibnu Katsir menjelaskan lafad ini وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ  maksutnya ialah hendaknya seorang wanita menutupi pada dadanya sampai menutupi bagian bawah dadanya, berbeda dengan orang Jahiliyah yang menampakan bagian dadanya, karna orang jahiliyah tidak mengetahui apa yang dikerjakanya itu. Maka Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan wanita mukmin untuk menutupi di dalam bertindak dan tingkahnya seperti apa yang Allah katakan dalam surat al-Ahzab ayat 39:[19]





Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Abi Bakr, Abu 'Abdullah Muhammad bin Ahmad bin, Tafsir Qurtubi, al-Qahar: Dar al-Kitab, 1964.
 Ahmad, Abû al-Qâsim Mahmud bin 'Amru bin, Tafsir al-Kasyaf, Baierut: Dar al-Kitab, 1407.
Katsir, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, Bairut: Dar Thaibah, 1999.
Thabarî(al), Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000.
Wahidi(al), Abu al-Hasan 'Ali bin Ahmad bin Muhammad bin 'Ali, al-Wahiz Fi Tafsir Kitab al-'Aziz, Bairut: Dar al-Qalam, 1415.



[1] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar Thaibah, 1999), 3:399.
[2] Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, (Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 12:366.
[3] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar Thaibah, 1999),  3:400-402.
[4] Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, (Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 19:165.
[5] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar Thaibah, 1999),   6:49-50.
[6] Ibid., 6:481.
[7] Abû al-Qâsim Mahmud bin 'Amru bin Ahmad, Tafsir al-Kasyaf, (Baierut: Dar al-Kitab, 1407), 3:559.
[8] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar Thaibah, 1999),  6:482.
[9] Ibid.,6:482.
[10] Abu al-Hasan 'Ali bin Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Wahidi, al-Wahiz Fi Tafsir Kitab al-'Aziz, (Bairut: Dar al-Qalam, 1415), 1:770.
[11] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar Thaibah, 1999),   6:83.
[12] Ibid., 6:46-49.
[13] Abu 'Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, Tafsir Qurtubi, (al-Qahar: Dar al-Kitab, 1964), 14:231.
[14] Abu al-Hasan 'Ali bin Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Wahidi, al-Wahiz Fi Tafsir Kitab al-'Aziz, (Bairut: Dar al-Qalam, 1415), 1:872.
[15] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar Thaibah, 1999),  6:456.
[16] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar Thaibah, 1999), 3:399.
[17] Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, (Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 12:366.
[18] Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar Thaibah, 1999),  3:400-402.
[19] Ibid., 6:46-49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar