Tafsir Tematik:
ETIKA
BERHIAS DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR’AN
Oleh:
Muhammad Ibdaul Hasan A
I.
Pendahuluan
Adanya berbagai kemajuan teknologi dan perkembangan
zaman yang serba canggih dan cepat dapat menghasilakan produk-produk yang
beraneka ragam yang digunakan untuk kebutuhan manusia. Salah satu aspek yang
sangat berkembang dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia adalah industri
pakaian. Pakaian pada dasarnya adalah kebutuhan primer (pokok) yang sangat
dibutuhkan oleh manusia di dunia dan perkembanganya cukup signifikan, hal
ini terbukti dengan berdirinya
pabrik-pabrik pakaian dengan berbagai model dan bahan yang sangat bervariasi
diseluruh dunia, khususnya di Indonesia.
Sebagai seorang muslim kita harus melihat kaidah-kaidah
berpakaian yang sesuai dengan syari’at islam, supaya apa yang kita kenakan
dapat dipertanggungjawabkan di akhirat kelak dan tidak memicu hal-hal yang
tidak diinginkan. Berbeda dengan zaman sekarang banyak dikenal model yang tidak
sesuai dengan syari’at islam, sebagai contoh adalah model pakaian yang dikenal
dengan istilah “you can see” yang artinya kamu boleh melihat, atau bahkan ada
yang rela mati-matian untuk menaikan bagian bawahnya ke atas dan yang atas rela
diturunkan kebawah, atau ada yang mengenangkan baju yang tidak semestinanya
dipakai oleh anak TK/SD (pakaian super ketat) hingga terlihatlah apa yang
seharusnya tidak terlihat. Naudzubillah min dzalik.
Begitu pula dengan kehidupan di kampus yang tentunya
tidak terlepas dari peratura-peraturan kampus sendiri. Dimana kampus merupakan
salah satu media untuk mencetak kader-kader penerus bangsa yang menjadi figur
dari beberapa kalangan, baik kota maupun desa dan kalangan lainnya. Sehingga
masalah berpakain di kampus juga perlu di jaga dan disesuaikan dengan syari’at
Islam.
Akhir-akhir ini banyak diantara mahasiswa dan mahasiswi
yang memfigurkan pakaian-pakain barat sebagai kebanggaan mereka biasanya
identik serba seksi walaupun melanggar ketentuan syari’at islam. Dengan gaya
dan mode pakaian tersebut secara tidak langsung akan dapat memicu para generasi
muda bangsa pada perbuatan-perbuatan tidak diinginkan, terutama moral dan
akhlak mereka serta merugikan baik secara duniawi maupun ukhrawi. Dari uraian
di atas timbul suatu masalah bahwasanya apa itu etika berpakaian, bagaimana
mana batasan berpakaian, dan timbul pula hal-hal yang dilarang dalam
berpakaian.
II.
Pengertian Etika
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga
pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur
bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut
menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama,
protokoler dan lain-lain.
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga
kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram,
terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang
tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika
di masyarakat kita.
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan
prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan
mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut
etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai,
kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik.
A.
Etika Berpakaian
1.
Menutup Aurot
Nabi selain sebagai mubaiyin al-Qur’an juga berperan
untuk memberikan sikap, etika, dan perkataan yang baik. Termasuk juga untuk
menyempurnakan akhlak umat terdahulu, akhlak tersebut meliputi akhlak
berbicara, tindakan, betitu juga dengan akhlak berpakaian. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman
dan Q.S al-A’raf ayat 26:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ
أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ
التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa
itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas
bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan bagimu pakaian untuk
menutupimu dan untuk perhiasanmu maka gunakanlah pakaian tersebut untuk
menutupi auratmu,[1]
begitu juga untuk menutupi tubuhmu dari segala benda-benda tajam supaya kulitmu
terlindungi. Beliau juga menjelaskan bahwasanya aurat adalah Shahwat, perhiasan
yang bagus dan nampak. Bahwasanya aurot ketika kita lihat dalam arti shahwat
maka akan menimbulkan kedorurotan, sebaliknya ketika kita artikan perhiasan maka
akan menimbulkan kesempurnaan dan terlihatnya bertambahnya kebaikan. Ibnu Jarir
menjelaskan lafat وَرِيشًا dalam lisanul arab bahwasanya وَرِيشًا ialah apa yang nampak dari suatu pakaian. Ibnu Jarir
mengartikan dengan kebagusan.[2] Imam Buchori menceritakan dari 'Ali bin Abi
Talhah dari Ibnu 'Abbas bahwasanya yang dimaksut وَرِيشًا adalah benda. Ikrimah menjelaskan bahwasanya وَرِيشًا adalah pakaian yang digunakan orang-orang yang bertaqwa di hari
akhir. sedangkan Ibnu Juraij mengartikan dengan dengan iman, sedangkan Ibnu
'Abbas mengartikan dengan perbuatan yang bagus. [3]
Jadi dapat diambil kesimpulan
bahwasanya etika berpakaian ialah pakaian yang dapat menutupi aurat, selain itu
juga dapat melindungi kulit dari benda-benda kasar.
2.
Tidak
Memamerkan Perhiasan
Ini merupakan keumuman tersendiri bagi laki-laki dan perempuan
untuk tidak selalu memamerkan pakaianya ketika sedang berbusana, agar tidak menimbulkan
suatu ria’, mendatangkan suatu kemaksiatan, dan terkhusus bagi wanita untuk
menutup atau memanjangkan bagian bawahnya dari busananya agar tidak terlihat
aurotnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S an-Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ
الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.
Ibnu katsir menjelaskan ayat ini وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ
زِينَتِهِنَّ bahwasanya ada seorang wanita Jahiliyah
ketika itu berjalan di jalan dan di bagian kakinya terdapat semacam gelang dan
ketika itu pula wanita itu memukul kakinya ke tanah maka seketika itu seorang
laki-laki mengetahuinya. Ibnu Jarir menjadikan dikakinya tempat utuk suatu
perhiasan.[4]
Maka sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ melarang orang mukmin untuk
melakukan semacam itu.[5]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasannya seorang wanita ketika berjalan,
janganlah terlalu keras menggeran kakinya agar ketika itu perhiasanya tidak
terdengar, sehingga seseorang mengetahuinya atau mendengarnya.
B.
Keharusan
Memakai Jilbab Di Luar Rumah
Ini merupakan kekhususan tersendiri bagi kaum wanita untuk selalu
memakai hijab diluar rumah, dalam al-Qur’an Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
secara tegas menyuruh untuk memakainya dalam Q.S al-Ahzab Ayat 59:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi
Maha penyayang.
Ibnu Katsir menjelaskan
ayat diatas bahwasanya Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ memerintahkan perempuan-perempuan muslim terkhusus
istri-istri kalian, anak-anak perempuan kalian, untuk mengulurkan jilbab,
jilbab disini dal artian dapat menutup muka, kepala dan dada, kebagian seluruh
tubuhnya, untuk menbedakan antara wanita-wanita jahiliyah.[6]
Abû al-Qâsim mengartikan dengan perhiasan yang menutupi bagian atas dan bagian
bawah.[7]
Begitu juga untuk membedakan dengan wanita-wanita ansor .[8]
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ Sufyan
al-Sauri berkat: tidak apa apa melihat kepada wanita yang ahli Dimmah,
sesungguhnya perkara yang dilarang ialah melihat wanita karna takut kena fitnah
tidak menghormatinya, kemudian turun ayat ini. ذَلِكَ
أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ Ibnu
Katsir ketika kalian bekerja supaya dapat dikenali. Ibnu Katsir berkata
bahwasanya ada seorang wanita ditengah malam yang keluar di Madinah yang
bercampur dengan kemaksiatan di jalam Madinah dan hal ini sangat bertentangan
dengan sikap seorang perempuan. Dan adapun ada seorang miskin penduduk madinah
yang sibuk, maka ketika malam perempuan tersebut keluar ke jalan untuk
mendatangkan suatu keperluan, maka ketika itu orang fasik datang padanya, maka
perempuan tadi melihat orang fasik memakai jilbab, perempuan tersebut berkat Hurroh.
Kemudian orang fasik tadi berhenti menghampiri perempuan tadi. Maka ketika
perempuan tersebut melihat perempuan fasik tidak memakai jilbab dan berkata amah.
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memberikan
kepada orang-orang jahiliyah karna pada zaman dahulu tidak ada ilmu yang
mempelajari tentang itu.[9]
Jadi dapat diambil kesimpulan
bahwasanya seorang wanita ketika akan keluar maka harus memakai jilbab supaya
dapat menbedakan antara wanita jahiliyah dan wanita muslimah dan agar juga
tidak diganggu. Dan tujuan untuk memakai jilbab itu ialah agar aurat perempuan
tersebut terjaga atau tertutupi, mulai dari bagian dada, kepala dan muka. Pada
cerita diatas tersebut merupakan kekhususan karna pada saat itu belum adanya
ilmu yang menerangkan tentang hijab, dan Allah mengampuninya.
C.
Keringanan
Memakai Hijab Bagi Orang Tua
Ini merupakan kekhususan tersendiri yang diberikan Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ kepada orang yang tua yang mana orang tua tersebut tidak lagi
menginginkan untuk menikah, keringanan tersebut tidak sembarang dilakukan
tetapi dengan niat tidak menimbulkan kemaksiatan pada orang lain Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ berfirman dalam Q.S An-Nuur ayat 60:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ
النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ
يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ
خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Ibnu
Katsir menjelaskan lafad وَالْقَوَاعِدُ مِنَ
النِّسَاءِ bahwasanya Said
bin Jubair berkata terhenti disini ialah terhenti dari haid dan mengandung. لا يَرْجُونَ نِكَاحًا tidak menetapkan baginya untuk menikah. Abû al-Hasan ‘Ali
menjelaskanya dengan lemahnya wanita yang tidak disunahkan kembali ke
pernikahan.[10]
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ tidak
ada dosa bagi mereka dalam meninggalkan menutup pakaian pada tubuhnya termasuk
kepala, muka, dan dada.[11]
Jadi dapat diambil kesimpulan dari tafsiran yat di atas meskipin
sedikit tetapi sudah menunjukan bahwasanya orang tua yang sudah terhenti dari
haid, tidak dapat mengandung lagi dan tidak menginginkan untuk menikah maka
diperbolehkanya untuk tidak memakai jilbab hal ini merupan kekhususan
tersendiri yang diberikan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ untuk orang yang
sudah tua.
D.
Menutup Bagian Dada
Menutup disini merupakan kekhususan tersendiri bagi wanita, untuk
melindungi bagian dada yang menonjol, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
berfirman dalam Q.S An-Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ
أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ibnu Katsir menjelaskan lafad ini وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ maksutnya ialah hendaknya seorang wanita
menutupi pada dadanya sampai menutupi bagian bawah dadanya, berbeda dengan
orang Jahiliyah yang menampakan bagian dadanya, karna orang jahiliyah tidak
mengetahui apa yang dikerjakanya itu. Maka Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
memerintahkan wanita mukmin untuk menutupi di dalam bertindak dan tingkahnya
seperti apa yang Allah katakan dalam surat al-Ahzab ayat 39:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi
Maha penyayang.[12]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya seseorang wanita ketika
ingin memakai jilbab maka pakailah hijab yang bisa menutupi bagian dada sampai
bagian bawahnya, tujuan dari ini ialah agar tidak menimbulkan suatu
kemaksiatan, dan tujuan pemakaian hijab ialah untuk membedakan antara wanita
muslim dan wanita Jahiliyah.
E.
Larangan Tidak Memakai Tabir di Luar Rumah
Kekhususan ini merupakan kekhususan bagi istri-istri Nabi Muhammad Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam ini merupakan isyarat bahwasannya selain istri Nabi
maka tidak boleh memakai hijab atau tidak boleh tidak memakai tabir di luar
rumah, Allas Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 55:
لا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ
فِي آبَائِهِنَّ وَلا أَبْنَائِهِنَّ وَلا إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ
إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلا نِسَائِهِنَّ وَلا مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ شَهِيدًا
Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir)
dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki
mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari
saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba
sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu
Imam Qurtubi menafsirkan ayat ini dengan membagi tiga masalah,
masalah pertama bahwasanya ayat hijab ini turun ketika ayah, anak-anak, dan orang
yang dekat dengan Nabi berkata kepada Nabi: kita lagi yang mengatakan dari arah
hijab? kemudian turun ayat ini. yang kedua Allah menyebutkan dalam ayat ini
menghalalkan wanita tidak memakai dan Allah tidak menyebutkan keumuman bagi
wanita-wanita lain akan tetapi kekhususan bagi istri Nabi. yang ketiga Allah
menyebutkan akan keringanan bagi para janda seperti halnya istri-istri Nabi.[13] Abu
al-Hasan menafsirkan ayat di atas dengan meninggalkan hijab dalam keadaan
apapun.[14] Ibnu
Katsir menjelaskan ayat ini bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
memerintahkan para wanita untuk memakai hijab didalam setiap keadaan, dan
bahwasanya ketika tidak diwajibkan memakai hijab itu sesuai dengan surat
an-Nuur ayat 31:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Bahwasanya tidak memakai hijab itu ketika kita berada dekat
dengan suami mereka, ayah, ayah suami
mereka, putra putra mereka, putra suami mereka, wanita Islam atau budak-budak,
pelayan laki-laki yang yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Ibnu Katsir
mengomentari ayat ini bahwasanya ini merupakan keumuman bagi semua wanita tidak
terkhusus bagi istri-istri Nabi.[15]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya kami lebih condong kekhususan bagi
istri-istri Nabi, begitu juga larangan tidak memakai hijab ketika diluar rumah,
maka ketika diluar rumah harus memakai hijab.
III.
Kesimpulan
A.
Menutup Aurot
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan
prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan
mana yang benar dan mana yang buruk
Nabi selain sebagai mubaiyin al-Qur’an juga berperan
untuk memberikan sikap, etika, dan perkataan yang baik. Termasuk juga untuk
menyempurnakan akhlak umat terdahulu, akhlak tersebut meliputi akhlak
berbicara, tindakan, betitu juga dengan akhlak berpakaian. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman
dan Q.S al-A’raf ayat 26:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ
أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ
التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa
itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.
Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas
bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan bagimu pakaian untuk
menutupimu dan untuk perhiasanmu maka gunakanlah pakaian tersebut untuk
menutupi auratmu,[16]
begitu juga untuk menutupi tubuhmu dari segala benda-benda tajam supaya kulitmu
terlindungi. Beliau juga menjelaskan bahwasanya aurat adalah Shahwat, perhiasan
yang bagus dan nampak. Bahwasanya aurot ketika kita lihat dalam arti shahwat
maka akan menimbulkan kedorurotan, sebaliknya ketika kita artikan perhiasan maka
akan menimbulkan kesempurnaan dan terlihatnya bertambahnya kebaikan. Ibnu Jarir
menjelaskan lafat وَرِيشًا dalam lisanul arab bahwasanya وَرِيشًا ialah apa yang nampak dari suatu pakaian. Ibnu Jarir
mengartikan dengan kebagusan.[17] Imam Buchori menceritakan dari 'Ali bin Abi
Talhah dari Ibnu 'Abbas bahwasanya yang dimaksut وَرِيشًا adalah benda. Ikrimah menjelaskan bahwasanya وَرِيشًا adalah pakaian yang digunakan orang-orang yang bertaqwa di hari
akhir. sedangkan Ibnu Juraij mengartikan dengan dengan iman, sedangkan Ibnu
'Abbas mengartikan dengan perbuatan yang bagus. [18]
B.
Menutup Bagian Dada
Menutup disini merupakan kekhususan tersendiri bagi wanita, untuk
melindungi bagian dada yang menonjol, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
berfirman dalam Q.S An-Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ
أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ibnu Katsir menjelaskan lafad ini وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ maksutnya ialah hendaknya seorang wanita
menutupi pada dadanya sampai menutupi bagian bawah dadanya, berbeda dengan
orang Jahiliyah yang menampakan bagian dadanya, karna orang jahiliyah tidak
mengetahui apa yang dikerjakanya itu. Maka Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
memerintahkan wanita mukmin untuk menutupi di dalam bertindak dan tingkahnya
seperti apa yang Allah katakan dalam surat al-Ahzab ayat 39:[19]
Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Abi Bakr, Abu
'Abdullah Muhammad bin Ahmad bin, Tafsir Qurtubi, al-Qahar: Dar al-Kitab,
1964.
Ahmad, Abû al-Qâsim Mahmud bin 'Amru bin, Tafsir
al-Kasyaf, Baierut: Dar al-Kitab, 1407.
Katsir, Abû
al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar bin, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, Bairut: Dar
Thaibah, 1999.
Thabarî(al), Muhammad
bin Jarir bin Zaid bin Katsir, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, Bairut:
Mu’asasah al-Risâlah, 2000.
Wahidi(al), Abu
al-Hasan 'Ali bin Ahmad bin Muhammad bin 'Ali, al-Wahiz Fi Tafsir Kitab
al-'Aziz, Bairut: Dar al-Qalam, 1415.
[1] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar
Thaibah, 1999), 3:399.
[2] Muhammad bin
Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an,
(Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 12:366.
[3] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar
Thaibah, 1999), 3:400-402.
[4] Muhammad bin
Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an,
(Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 19:165.
[5] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar
Thaibah, 1999), 6:49-50.
[6] Ibid., 6:481.
[7] Abû al-Qâsim
Mahmud bin 'Amru bin Ahmad, Tafsir al-Kasyaf, (Baierut: Dar al-Kitab,
1407), 3:559.
[8] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar
Thaibah, 1999), 6:482.
[9] Ibid.,6:482.
[10] Abu al-Hasan
'Ali bin Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Wahidi, al-Wahiz Fi Tafsir Kitab
al-'Aziz, (Bairut: Dar al-Qalam, 1415), 1:770.
[11] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar
Thaibah, 1999), 6:83.
[12] Ibid.,
6:46-49.
[13] Abu 'Abdullah
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, Tafsir Qurtubi, (al-Qahar: Dar
al-Kitab, 1964), 14:231.
[14] Abu al-Hasan
'Ali bin Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Wahidi, al-Wahiz Fi Tafsir Kitab
al-'Aziz, (Bairut: Dar al-Qalam, 1415), 1:872.
[15] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar
Thaibah, 1999), 6:456.
[16] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar
Thaibah, 1999), 3:399.
[17] Muhammad bin
Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an,
(Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 12:366.
[18] Abû al-Fidâ’
Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’an Al-Adzîm, (Bairut: Dar
Thaibah, 1999), 3:400-402.
[19] Ibid.,
6:46-49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar