Minggu, 10 Mei 2015

Seputar hadis maudhu'



I.     Pendahuluan
            Di dalam Islam, hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Hal ini tidak mengherankan karena Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam merupakan satu-satunya orang yang paling mengerti maksud al-Qur’an. Beliau juga orang yang paling tunduk terhadap ajaran-ajaran-Nya. Ucapan, perbuatan dan diamnya merupakan implementasi cahaya al-Qur’an dalam kehidupan nyata. Sehingga, beliau menjadi satu-satunya rujukan para sahabat dalam memahami kalam Ilahi.
Ketika para sahabat menghadapi masalah yang tidak jelas hukumnya, mereka langsung mengadu kepada Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Sebaliknya, ketika menemukan perbuatan yang menyimpang, beliau juga langsung menegur. Sehingga, para sahabat merupakan pengusung pustaka hadis yang berarti bagi umat Islam, terutama generasi setelahnya. Dan para sahabat yang menyimpan hadis-hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
Sepiningal Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam pustaka hadis yang mereka bawa menjadi obor penerang kaum muslimin. Apabila salah seorang menemukan perkara ganjil, ia akan bertanya pada teman-temanya.[1]
Keindahan, kemudahan, dan kenyamanan semacam ini tidak berlangsung lama. Ketika Ali bain Abi Thalib memegang tampuk kepemimpinan, kekacuan politik menyebabkan kesatuan umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Masing-masing golongan mengeklaim dirinya sebagai kelompok pembela kebenaran dan memvonis golongan lain sebagai gerombolan penyebar kesesatan.
Seiring dengan berjalanya waktu, fanatisme kelompok semakin meningkat. Orang-orang yang lemah imanya membuat onar untuk kepentingan kelompok. Bahkan, diantara mereka ada yang sampai hati menodai kesucian Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam dengan membuat hadis palsu guna mengokohkan fondasi kelompoknya dan merobohkan tiang-tiang keyakianan kelompok lain.[2] Dari uraian tersebut, muncul berbagai persoalan dan pertanyaan diantaranya ialah: Bagaimana cara mengetahui hadis mawḍû’..? Siapakah tokoh yang mempeloporinya...? Dengan tujuan apa suatu kelompok atau individu membuat hadis mawḍû’..? dengan rumusan masalah itulah kami akan menjelaskan agak lebih rinci mengenai hadis mawḍû’.
Dalam masalah ini, sebagian ulama’ membuat undang-undang untuk mengetahui mana hadis yang ṣaḥiḥ, mana hadis yang hasan dan mana hadis yang ḍa’if, mereka juga membuat undang-undang untuk mengetahui hadis mawḍû’ (palsu). Mereka menerangkan tanda-tanda yang perlu diingat agar kita dapat membedakan antara hadis yang bukan mawḍû’ dengan yang mawḍû’ itu.[3]
II.  Hadis Mawḍû’
A.  Pengertian
Kata mawḍû’ merupakan isim maf’ul dari akar kata وضع, يضع, وضعا yang berarti diletakkan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan dan dibuat-buat.[4]
Sedangkan menurut istilah ialah sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam secara dusta.[5]Jadi, hadis mawḍû’ adalah hadis bohong atau hadis palsu, bukan dari Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, tetapi dikatakan dari Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam oleh seorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama’ ada yang tidak memasukanya, karena walaupun hadis tetapi palsu atau bohong dalam arti ini meniadakan makna hadis.[6]
B.  Sejarah Awal Terjadinya Hadis Mawḍû’
Awal terjadinya hadis mawḍû’ dalam sejarah muncul setelah terjadinya konflik antar elite politik dan antara dua pendukung Ali dan mu’awiyah, umat islam terpecah menjadi 3 kelompok, yaiti Syi’ah, Khawarij, dan jumhur Muslimin atau sunni. Masing-masing mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar sesuai dengan ijtihad mereka, masing-masing ingin mempertahankan kelompoknya, dan mencari simpatisan masa yang lebih besar dengan cara mencari dalil dari Al-Qur’an dan hadis Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Jika tidak didapatkan ayat atau hadis yang mendukung kelompoknya, mereka mencoba menta’wilkan dan memberikan intepretasi yang terkadang tidak layak.
       Ketika mereka tidak menemukan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang mendukung tujuan partainya, sementara penghafal Al-Qur’an dan hadis masih banyak, maka sebagian mereka membuat hadis palsu, seperti hadis-hadis tentang keutamaan khalifah, pimpinan kelompok dan aliran-aliran dalam agama. Pada masa itu tercatat dalam sejarah masa awal terjadinya hadis palsu yang lebih disebabkan oleh situasi politik. Namun, yang perlu diketahui, pada masa ini hanya sedikit jumlah hadis palsu karena faktor penyebabnya tidak banyak. Mayoritas faktor penyebanya timbulnya hadis mawḍû’ adalah karena tersebarnya bid’ah dan fitnah. Sementara para sahabat justru menjahuhkan dari itu. Mereka sangat mencintai Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam dan telah mengorbankan jiwa dan raga dan harta bendanya untuk membela beliau dengan penuh ketulusan hati. Mereka hidup dengan beliau, selalu meneladani dan mempraktekkan sunnah dengan penuh kejujuran dan takwa kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Secara logika, tidak mungkin mereka berbuat dusta kepada beliau dengan membuat hadis palsu.
      Demikian pula pada masa tabi’in, hadis dibawa oleh para ulama’ besar yang diterima dari sahabat secara langsung. Mereka sangat teguh beragama, bersungguh-sungguh, dan berhati-hati dalam meriwayatkanya. Sunnah diingat, diriwayatkan, dan dipraktekan dalam kehidupan mereka dengan sifat kejujuran dan kecerdasan mereka yang luar biasa. Maka hadis palsu hanya timbul dari sebagian kelompok orang-orng bodoh yang bergelut dalam bidang politik atau mengikuti hawa nafsunya untuk menghalalkan segala cara.[7]
C.   Sebab Sebab Timbul Usaha Pemalsuan Hadis[8]
Walaupun pada mula-mulanya yang menyebabkan timbulnya pemalsuan hadis adalah urusan politik, namun sebab sebab pemalsuan itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1.    Persoalan politik dalam soal khalifah
Partai partai politik pada masa itu, ada yang membuat banyak membuat hadis palsu. Yang membuat hadis yang paling banyak untuk kepentingan kelompok ialah partai Syi’ah dan Rafidhah (salah satu sekte Syi’ah).
Golongan Syi’ah membuat hadis mengenai kekhilafahan Ali, yakni mengenai keutamaanya dan keutamaan Ahli Bait. Di samping itu ia membuat hadis untuk mencela dan memburuk burukkan para sahabat, khususnya Abu Bakar dan Umar.
Menurut keterangan al-Khalily[9] dalam kitab al-Irsyad fi ‘Ulama’ al-Bilad, kaum Rafidhah telah membuat hadis palsu mengenai keutamaan Ali dan Ahlu Bait sejumlah 300.000 hadis.
Di antara hadis yang dibuat golongan Syi’ah itu ialah:
مَنْ اَرَادَ يَنْظُرُ إلى ادَمَ فِى عِلْمِه وإلى نوحٍ فى تقوَاهُ وإلى إبراهيمَ فى حلمِه والى موسى فى هيْبَتِهِ وإلى عيسى فى عبادته فلينْظرُ إلى عليٍّ
    “Barangsiapa ingin melihat kepada adam tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat kepada Nuh tentang ketaqwaanya, ingin melihat kepada Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat kepada Musa tentang kehebatanya, ingin melihat Isa tentang ibadahnya, maka hendaklah ia melihat kepada Ali”
إِذَ رَأَيتم معأوِيةَ فاقتلوهُ
“Apabila kamu melihat Mu’awiyah di atas mimbarku, bunuhlah dia”
Golongan Jumhur yang dungu-dungu, yang tidak menyadari akibat pemalsuan itu, mengimbangi pula tindakan kaum Syi’ah dengan membuat hadis.
ما فى الجنّة شجرة إلاّ مكتوب على كلّ ورقةٍ منها: لا إله إلاّ الّله محمد رسول اللّه أبو بكر الصّدّيق عمر الفارق عثمان ذو النّورين
“Tidak ada sesuatu pohon dalam surga, melainkan tertulis pada tiap-tiap daunya: lâ ilaha ilallah, Muhammadur Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar al-Faruq dan Utsman Dzunnuraini”
      Golongan yang fanatik dengan Mu’awiyah membuat pula hadis yang menerangkan keutamaannya. Mereka mengaku bahwa Nabi bersabda:
الأمناءُ ثلاثةٌ: أنأ وجبريل ومعاوية
"Orang yang terpercaya hanya tiga orang saja: Saya, Jibril dan Mu’awiyah.
Golongan yang fanatik dengan dinasti Abbasiyah mengaku bahwa Nabi bersabda:
العبّاس وصبّي ووَارثى
“Abbas itu orang yang memelihara (mengurus) wasiatku dan orang yang mengambil pusaka dariku (pewarisku)”.

2.    Dendam Musuh Islam[10]
Setelah islam merontokan dua negara super power, yaitu kerajaan Romawi dan Persia, Islam tersebar kesegala penjuru dunia. Sementara musuh-musuh Islam tersebut tidak mampu melawanya secara terang-terangan, maka mereka meracuni Islam melalui ajaranya dengan memasukkan beberapa hadis mawḍhû’ ke dalamnya yang dilakukan oleh kaum Zindiq. Hal ini dilakukan agar umat Islam lari dari padanya dan agar mereka melihat bahwa ajaran-ajaran Islam itu menjijikan. Misalnya apa yang diriwayatkan mereka:
أنّ نفراً من اليهود أتوا الرّسول الله عليه و سلّم فقالوا من يحمل العرشَ فقال تحمله الهوّام بقرنها والمجرّة الّتي في السماء من عرقهم قالوا نشهد أنّك رسول الله صلّى الله عليه و سلم
Bahwa golongan orang Yahudi datang kepada Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam bertanya: Siapakah yang memikul Arsy? Nabi menjawab: yang memikulnya adalah singa-singa dengan tanduknya sedangkan Bimasakti di langit keringat mereka. Mereka menjawab: kami bersaksi bahwa engkau utusan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
Abu Al-Qasim Al-Balkhi bertanya: Demi Allah ini dusta, umat Islam telah Ijma’ bahwa yang memikul Arsy adalah para malaikat. Hammad bin Zaid menerangkan bahwa orang-orang Zindiq telah membuat hadis palsu sebanyak 14.000. di antara mereka Abdul Karim bin Abu Al-Auja yang mengaku sebelum dibunuh: Demi Allah aku telah membuat hadis palsu sebanyak 4000 buah, di dalamnya aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram. Ia dibunuh pada masa khalifah Muhammad ibn Sulaiman bin Ali, Amir Bashrah (160-173) pada masa Abbasiyah.[11]
D.  Tanda-Tanda dan Kriteria Hadis Mawḍû[12]
Tanda-tanda hadis Mawḍû’ terbagi menjadi bagian yang pertama tanda-tanda yang diperoleh pada sanad, dan yang kedua tanda-tanda yang diperoleh pada matan.
1.    Tanda-tanda pada Sanad
Banyak sekali tanda-tanda kepalsuan hadis pada sanadnya. Berikut kami akan terangkan yang penting-penting saja, diantaranya:
a.     Perawi itu terkenal berdusta (seorang pendusta) dan hadisnya tidak diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya. Ulama’ telah membahas dengan mendalam orang-orang yang dusta itu dalam kitab-kitab Jarh dan Ta’dil.
b.    Pengakuan perawi sendiri.
Abu Ishmah Nuh ibn Abi Maryam mengaku sendri bahwa ia telah memalsukan hadis mengenai keutamaan surat-surat Al-Qur’an. Demikian pula Abd al-Karim ibn Abi al-Auja yang mengaku telah membuat 4.000 hadis, yang mengenai hukum halal dan haram.
c.     Menurut sejarah mereka tidak mungkin ketemu. Perawi yang meriwayatkan hadis dari seorang Syaikh yang tidak pernah berjumpa, atau ia dilahirkan sesudah Syaikh tersebut meninggal, atau ia tidak pernah datang ke tempat syaikh itu, yang dikatakanya di sanalah ia mendengar hadis.
2.    Tanda-tanda pada matan
Tanda-tanda pada matan pun banyak pula, yang perlu diingat ialah:
a.    Buruk susunannya dalam lafadnya. Hal ini dapat kita ketahui dengan mendalami ilmu bayan.
b.    Rusak maknanya
1)   Karna berlainan makna hadis dengan soal-soal yang mudah dicerna akal dan tidak dapat pula kita ta’wilkan, seperti hadis:
إنّ السَّفينة نوح طافت بالبيت سبعا وصلّت باالمقام ركعتين
“Bahtera Nuh berthowaf tujuh kali keliling ka’bah dan bersholat dimakam Ibrahim dua rakaat”.
2)   Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti halnya hadis:
الباذِنجان شفاء كلّ شيءٍ
“Buah terong itu penawar bagi segala penyakit”.
3)   Karena menyalahi undang-undang yang ditetapkan akal terhadap Allah. Akal yang menetapkan bahwa Allah Mahasuci dari serupa dengan makhluknya. Seperti halnya hadis:
إنّ الله خلق الفرس فأجراها فعرقت فخلق نفسها منها
“Bahwasanya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacunya. Maka lalu berpelukan kuda itu, lalu tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu”.
c.    Menyalahi keterangan Al-Qur’an yang terang, keterangan sunnah mutawatirah dan kaidah-kaidah kulliyah.
Apabila suatu hadis menyalahi penjelasan Al-Qur’an dan tidak dapat dita’wilkan, dihukumi mawḍû’. Umpamanya hadis:
ولد الزِّنا لا يذخل الجنّة إلى سبعة أبناء
“Anak hasil zina tidak masuk ke surga hingga tujuh keturunan”
Hadis ini menyalahi firman Allah:
ولا تزر وازرة وزر أخرى
“Dan tidak seseorang yang bersalah memikul kesalahan orang lain."(Q.S Al-An’am [6]: 164)
Sebenarnya hukum yang dikehendaki hadis itu diambil dari At-Taurat.
E.  Usaha-Usaha Para Ulama Dalam Memelihara Sunnah Dan Membersihkannya Dari Pemalsuan Hadist, Ialah:[13]
1.    Mengisnadkan Hadis
 Para sahabat diawal Islam, yakni sejak masa Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallammasih hidup sampai dengan timbulnya fitnah pembunuhan khalifah ‘Ustman bin ‘Affan Radiyallahuanhu saling mempercayai satu sama lain. Para tabi’in tidak ragu-ragu menerima berita dari sahabat tentang hadis Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Akan tetapi setelah terjadi fitnah dan kaum muslimin sudah tercebah belah dalam beberapa partai dan golongan, maka para sahabat dan tabi’in berhati-hati sekali dalam menerima hadis dari para rawinya.
Mulailah mereka meminta sanad pada mereka yang menyampaikan hadis dan akhirnya menetapkan sanad suatu hadis. Sebab sanad bagi hadis itu adalah bagaikan nasab bagi seseorang.
Muhammad bin Sirin (seorang tabi’in yang lahir pada masa 33 H dan meninggal tahun 110 H). Menceritakan: bahwa para sahabat semula dalam meriwayatkan hadis tidak selalu menanyakan sanadnya. Akan tetapi setelah terjadi fitnah, mereka pada meminta untuk disebutkan sanadnya. Kemudian setelah disebutkan sanadnya, ditelitinya, kalau sanad itu terdiri dari ahli sunnah, diambilnya dan kalau terdiri dari ahli bid’ah, maka ditolaknya.
2.    Meningkatkan perawatan mencari hadis
Mereka pada meningkatkan perawatan hadis dari suatu kota ke kota untuk menemui para sahabat yang meriwayatkan hadis. Sejak itu para penuntut hadis hanya mendengar dari para sahabatnya saja. Jika ia hanya mendapatkan hadis dari suatu sahabat yang lain, dengan segera mereka mencari sahabat Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam untuk memperkuatnya.
Abu ‘Aliyah mengatakan bahwa ia tidak rela kalau mendengar hadis dari sahabat Rasululllah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam yang berada di Bashrah, sekiranya ia tidak pergi ke Madinah untuk mendengarkan hadis tersebut dari para sahabat yang berada disana. Demikian juga para sahabat mengadakan perawatan mencari hadis dari kawanya sahabat yang berada diluar daerahnya. Misalnya sahabat Ayyub menemui sahabat ‘Uqbah bin Amir di mesir dan sahabat Jabir menemui sahabat ‘Abdullah bin Anis untuk mencari suatu hadis.
3.    Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadis
 Dalam rangka berhati-hati untuk menerima riwayat, maka sebagian mereka, menumpas para pemalsu hadis, melarang mereka meriwayatkanya dan menyerahkanya kepada penguasa.
‘Amir Sya’by pernah bertemu dengan Abu Shalih, seorang mufasir. Lalu ditariknya telinga Abu Shalih dan dimarahinya. Bentaknya: “Celaka kamu! Kenapa kamu menafsirkan Al-Qur’an padahal kamu tidak baik membacanya?”
Murrah Al-A’war, pendukung golongan Syi’ah yang banyak membuat hadis palsu, lalu disuruhnya ia jongkok di muka pintu dan kemudian dibunuhnya.
4.    Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya
Para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in mempelajari biografi para rawi, tingkah lakunya, kelahiranya dan kematiannya, keadilannya, daya igatanya dan kemampuan menghafalnya, untuk membedakan hadis-hadis saḥiḥ dan yang palsu. Jika terdapat sifat-sifat yang tercela, mereka beritahukan kepada orang umum. Mereka mengkritik atau memuji identitas seorang rawi hanya semata-mata takut kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Mereka mengambil hadis dari seorang rawi, bukan karena takut kepada rawi tersebut atau karena balas kasihan. Untuk kepentingan itu, lalu mereka membuat ketentuan ketentuan untuk menetapkan sifat-sifat seorang rawi yang dapat dan tidak dapat diambil, ditulis dan diriwayatkan hadisnya.
III.             Kesimpulan
dari pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Hadis mawḍû’ adalah hadis bohong atau hadis palsu, bukan dari Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, tetapi dikatakan dari Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam oleh seorang pembohong.
2.      Awal terjadinya hadis mawḍû’ dalam sejarah muncul setelah terjadinya konflik antar elite politik dan antara dua pendukung Ali dan Mu’awiyah, umat islam terpecah menjadi 3 kelompok, yaiti Syi’ah, Khawarij, dan jumhur Muslimin atau sunni.
3.      Terjadinya hadis maudhu’ dikarenakan persoalan politik dalam soal khalifah dan dendamnya musuh Islam.
4.      Tanda hadis mawdû dalam segi sanad Perawi itu terkenal berdusta, Pengakuan perawi sendiri dalam pemalsuan hadis, Menurut sejarah  mereka tidak mungkin ketemu (antara rawi dengan guru/syekh). Dalam segi matan Buruk susunannya lafadnya, Rusak maknanya, Menyalahi keterangan Al-Qur’an yang terang, keterangan sunnah mutawatirah dan kaidah-kaidah kulliyah.
5.      Usaha ulama menjaga kemurnian hadis dari pemalsuan dengan Mengisnadkan Hadis, Meningkatkan perawatan mencari hadis, Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadis, Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya.

Daftar Pustaka
Shiddieqy (ash), Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2002
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, 2013
Qaththan (al), Syaikh Manna’, Pengantar studi hadis, Jakarta timur, Pustaka al-Kausar, 2014
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, 2013.
Rahman, Fatchur, ikhtisar Mushthalahul Hadis, bandung, al Ma’arif, 1974





[1] Muhammad al-Dudlari, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Singapura: Al-Haramain, tth), hlm. 123.
[2] Iqro’ Firdaus dan Moh. Fathor Rois, Para pemalsu Hadis, (Jogjakarta: DIVA press, 2014), 13-16.
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), 184.
[4]Abdul Majid khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 2:225.
[5] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar studi hadis, (Jakarta timur: Pustaka al-Kausar, 2014), 8:145.
[6] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), 2:225
[7] Ibid., 226-227.
[8] Teugku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, sejarah dan pengantar ILMU HADIS, (Semarang: pustaka rizki putra, 2002), 3:190-193.
[9]Al-Khalily adalah Abu Ya’la al-Khalil ibn Ahmad ibn Ibrahim ibn al-Khalil al-Qaswany al-Khalily, seorang qadhi negara dan salah seorang dari huffazh hadis. Wafat tahun 446 H.=1054 M. (Al-A’lam 1:298)
[10]Abdul Majid khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2013), 2:226.

[12] Teugku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), 3:184-187.
[13] Fatchur Rahman, ikhtisar Mushthalahul Hadis, (bandung: al Ma’arif, 1974), 181-183.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar