I.
Pendahuluan
Al-Quran
adalah kitab suci yang di turunkan untuk menjadi pedoman hidup (way of life)
bagi manusia. Fungsi tersebut secara tegas dinyatakan oleh Allah dalam beberapa
ayat al-Qur’an. Agar fungsi tersebut dapat direalisasikan, maka al-Quran
tersebut harus dapat dipahami oleh manusia.
Dalam upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia berusaha
untuk mencari kejelasan makna pesan-pesan al-Quran tersebut, yang salah satunya
adalah menafsirkan al-Quran. Upaya ini telah dilakukan oleh para mufassir, baik
oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Sendiri sebagai mufassir
pertama dan para pewarisnya. Rasulullah menjelaskan al-Quran dengan sunnahnya,
sedang para pewarisnya menafsirkan al-Quran dengan hadits-hadits Rasulullah Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam, di samping berusaha memahami al-Quran dengan
penjelasan al-Quran itu sendiri, dan ijtihad mereka, dengan menggunakan
kemampuan pengetahuan bahasa, adat istiadat Arab, hal ihwal kaum yahudi-nasrani
dan kekuatan daya tangkap mereka. Kemudian, pada masa Tabi’in (yang secara umum
juga disebut sebagai pewaris Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, tetapi
dalam kaitannya dengan penafsiran al-Quran sebutan pewaris ini nampaknya
tertuju pada para sahabat), perkembangan pola penafsiran telah menunjukkan
karakteristik yang berbeda dengan pola yang menonjol pada masa sahabat. Dalam
memahami arti ayat-ayat al-Quran dan menafsirkannya, para Tabi'in di samping
melandaskan pada ayat-ayat al-Quran itu sendiri, hadits-hadits Rasulullah Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam serta penafsiran yang diberikan oleh para sahabat
Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam dengan bantuan cerita-cerita dari
para ahli kitab telah menggunakan ra'yu sebagai alat menalar. Meskipun corak
penalarannya masih belum serasional para pelanjutnya yang telah mengintroduksi
pola penafsiran Bi al-Ra'yi. Oleh karena itu, Adz-Dzhabi menyebut lima macam sumber
yang dipakai oleh para Tabi'in dalam menafsirkan al-Quran, yaitu: al-Quran,
al-Hadis, tafsir para sahabat, cerita para ahli kitab dan ra'yu atau ijtihad
para tabi'in sendiri.
Pada masa Tabi'in inilah kita bisa melihat mulai adanya peluang
'inhiraf' dalam penafsiran al-Quran. Meskipun, secara logis bisa kita duga
bahwa pada zaman sahabat pun bukan tidak mungkin ada peluang untuk melakukan
penyimpangan itu. Namun untuk menyatakan bahwa kecenderungan ke arah itu
benar-benar ada, kita belum memperoleh bukti. Sedang pada periode Tabi'in ini,
tafsir-tafsir al-Quran sudah menampakkan kecenderungan ke arah penyimpangan,
meskipun belum dapat kita katakan telah menyimpang, karena paling tidak di
dalamnya terdapat hal-hal yang memberikan peluang ke arah itu. Peluang tersebut
antara lain dimungkinkan oleh pola-pola penafsiran mereka yang mengandung tiga
macam permasalahan:
Pertama: Karya-karya Tafsir para Tabi'in pada umumnya mengandung
cerita-cerita Israiliyat dan Nashraniyat, yang bila dicermati bukan tidak mungkin
sebagian dari cerita-cerita tersebut tidak memiliki sumber yang benar-benar
bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya apalagi banyak di antara kisah-kisah
tersebut dimuat dengan tanpa menyantumkan sanadnya, sehingga sulit sekali
dilacak sumbernya. Bahkan, ada di antara cerita-cerita tersebut yang terbukti
ketidak-benarannya setelah diteliti.
Kedua: Di dalam kitab-kitab tafsir para Tabi'in terlihat mulai
adanya kecenderungan untuk hanya menerima periwayatan dari orang-orang
tertentu, dengan menafikan riwayat lain yang mungkin lebih dapat
dipertanggungjawabkan nilai kebenarannya daripada riwayat yang dipakai sebagai
salah satu sumber penafsiran.
Ketiga: Pada masa Tabi’in mulai tumbuh benih-benih perselisihan
antar madzhab, terutama dalam masalah teologi, sehingga bukan tidak mungkin
sebagian Tafsir para Tabi'in yang mengandung kecenderungan untuk mempertahankan
metode dan pendapat Imam-imam madzhab, yang boleh jadi pada taraf tertentu akan
berlebih-lebihan dan berkecenderungan untuk menyimpang, hanya karena dalam
rangka membela pendapat Imam-imam madzhab dan seperangkat pendapat madzhabnya.
Kecenderungan-kecenderungan Itu semakin tampak pada masa berikutnya
dengan munculnya pola-pola baru dalam penafsiran al-Quran, terutama dengan
semakin menguatnya gairah orang-orang Islam untuk memberikan makna yang lebih
memuaskan keinginan mereka untuk memahami al-Quran.
Dari penjelasan
di atas masalah akan timbul adanya bentuk-bentuk penyimpangan...? bahayanya
tafsir bil ra ’yi..? dan penyimpangan tafsir Isra’iliyat...?
II.
Bahaya Tafsir Aqli
A.
Bentuk-bentuk Penyimpangan
1.
Penyimpangan dalam Tafsir Historis[1]
Kandungan cerita
yang ini dimiliki oleh Al-Qur’an adalah keringkasan dalam menuturkan
kisah-kisah. Al-Qur’an tidak memberikan perincian jalannya kisah, melainkan hanya
memilih fragmen yang berkaitan dengan substansi tema yang berisi perjalanan.
Akan tetapi, justru dari sanalah muncul penyimpangan-penyimpangan dalam
historis. Para sejarawan yang menulis jenis tafsir ini lupa bahwa penekanan
kisah-kisah Al-Qur’an tidak terletak pada jalan ceritanya, tetapi pada aspek
pesan moral yang dikandungnya. Dengan demikian adalah suatu penyimpangan ketika
kisah-kisah Al-Qur’an ditafsirkan dengan perincian yang tidak substansial.
Penyimpangan dalam tafsir historis lebih jelas lagi ketika tafsir
itu dimasuki Israiliyat, yakni legenda–legenda Yahudi dan Nasruni yang masuk ke
dalam tafsir. Lebih parah lagi ketika Israiliyat yang dimasukkan ke dalam
tafsir masuk dalam kategori maudhu’ (palsu). Menurut Adz-Dzahabi, tafsir
Al-Khazin banyak dipenuhi Israiliyat jenis itu, kitab tafsir lain semacam
tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Ruh Al-Ma’ani,
dan Al-Manar pun diduga kuat memuat pula riwayat-riwayat Israiliyat.
Eksistensi Israiliyat dalam tafsir Historis tidak saja merupakan
penyimpangan, lebih jauh lagi, menurut Muhammad Syaltut, telah menjauhkan umat Islam
dari mutiara-mutiara Al-Qur’an. Umpamanya, ketika menjelaskan kisah
penyembelihan sapi (Baqarah) oleh Bani Israil, para sejarawan terlena dengan cerita-cerita
Israiliyat samua lupa akan pesan moral yang ada di balik kisah tersebut.
2) Penyimpangan dalam Tafsir Teologi[2]
Skismatik aliran-aliran teologi ternyata tidak selamanya membawa
rahmat. Pada saat tertentu ia bahkan menjadi salah satu sebab bagi penyimpangan
dalam tafsir teologi. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, kerap kali masing-masing
aliran mendistori ayat untuk disesuaikan dengan doktrin madzhab yang dianutnya.
Bukan Al-Qur’an dijadikan sumber pelarian bagi perselisihan di antara aliran-aliran
teologi, bahkan sebaliknya ia dijadikan sebagai justifikasi bagi madzhabnya
masing-masing. Tentu saja hal itu merupakan satu penyimpanyan dalam tafsir
teologi.
Untuk mempertahankan doktrin “ketidakmungkinan” Allah dapat dilihat
di akhirat kelak, Zamaksyari (tokoh besar Mu’tazilah)”terpaksa” harus melakukan
takwil(metefora) terhadap ayat yang jelas-jelas bertentangan dengan doktrin
Mu’tazilah. Hasan Al-Asykari, tokoh Syi’ah, mengarahkan penafsiran terhadap
surat Al-Baqarah [2] : 163 untuk menjustifikasikan doktrin “taqqiyah”.
Aliran Khawarij pun tidak ketinggalan menjadikan Al-Qur’an surat Al-Maidah [5]
:44 untuk mempertahankan doktrinnya bahwa “orang yang fasik adalah kafir”.
Ayat-ayat lain disimpangkan oleh kelompok Jabbariyah untuk mempertahankan
doktrin “determinismenya”. Begitulah selanjutnya, masing-masing aliran teologi
mempunyai andil dalam melakukan penyimpangan-penyimpangan.
3) Penyimpangan dalam Tafsir Sufi
Ciri kehidupan sufi yang eksklusif tidak saja tampak dalam
bentuk-bentuk praktek keagamaannya, tetapi lebih jelas tampak dalam bentuk
penafsiran-penafsiran Al-Qur’an. Karena keeklusifan inilah, tafsir sufi banyak
mendistorsi ayat-ayat Al-Qur’an. Bila menelaah kitab-kitab tafsir tasawuf, baik
yang mencorak toeretis (an-nazhari), simbolik (isyari) ataupun limpahan
(faidhi), kita akan menemukan berbagai penyimpangan di dalamnya. Pangkal
penyimpangan sufi mudah ditebak. Para sufi terlalu memaksakan ayat-ayat
Al-Qur’an untuk diselaraskan dengan doktrin-doktrin tasawuf.
Ibnu Arabi, sebagaimana pula Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj,
cenderung menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjustifikasi doktrin “wihdatul
wujud” (kesatuan eksistensi). Itulah sebabnya, ketika menafsirkan ayat 67
dari surat Al-Baqarah , Ibnu Arabi mengatakan bahwa “anak sapi yang disembelih
oleh Bani Israil merupakan salah satu manifestasi Allah dan sekaligus dijadikan
sebagai tempat bagi-Nya”. Lebih parah lagi ketika menafsirkan ayat 163 surat
Al-Baqarah, ia menjelaskan bahwa orang-orang yang menyembah benda selain Allah
dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, sama dengan menyembah Allah juga.
4) Penyimpangan dalam Tafsir Linguistik
Kenyataan yang tidak dapat dibantah adalah Al-Qur’an diturunkan
dengan menggunakan bahasa arab. Akibatnya, memehami salah satu aspek-aspek
bahasa Arab memegang peranan penting termasuk pemahaman tentang pola
pembentukan kata dan konjungsi (tashrif)nya, untuk menafsirkan Al-Qur’an. Akan
tetapi, pada kenyataannya, ada kelompok orang yang berbicara dan menulis tafsir
tanpa berbekalkan pengetahuan bahasa yang memadai. Oleh karena itu, mereka
cenderung melakukan penyimpangan dalam tafsir Linguistik yang disebabkan oleh
ketidakfahaman terhadap konjungsi, sebagaimana dikutip dalam tafsir Al-Kasysyaf
adalah penafsiran terhadap ayat 71 dan 17. Untuk itu, Zamaksyari berkata,
“merupakan penyimpangan penafsiran yang paling besar ketika kata “imam”
dianggap sebagai pembentuk dari kata “umn”yang berarti “ibu”. Padahal
yang benar, bentuk jamak dari kata “umn” itu bukan “imam” melainkan “ummahat.”
5)Penyimpangan dalam Tafsir Ilmi
Klaim penulis Tafsir Ilmi bahwa Al-Qur’an mencakup segala sesuatu,
tidak dapat disalahkan. Setidak-tidaknya klaim mereka didukung oleh Al-Qur’an
Surat Al-An’am ayat 38. Akan tetapi, mereka keliru ketika memperlakukan
Al-Qur’an pada buku ilmu pengetahuan, sehingga setiap penemuan ilmu pengetahuan
mereka di cocok-cocokkan dengan istilah-istilah Al-Qur’an, kendatipun harus
melakukan penyimpangan-penyimpangan makna. Betul, surat Al-An’am ayat 38
menyatakan bahwa tak sesuatu pun juga Allah tinggalkan dalam Al-Qur’an, tetapi
yang dimaksud oleh ayat itu, adalah bahwa Al-Qur’an berisi prinsip-prinsip umum
mengenai segala sesuatu. Dan mengenai perinciannya, manusia diberi otoritas
untuk mengembangkankannya.
Thanthawi Jauhari adalah seorang ulama modern yang sangat fanatik
terhadap corak tafsir ilmi. Dalam karyanya, Tafsir Al-Jawahir fi Tafsir
Al-Qur’an, ia menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diduganya berkaitan dengan
ilmu pengetahuan dengan teori-teori ilmu pengetahuan pada masanya. Karya tafsirnya
itu memang lebih layak dikatakan sebagai buku ilmu pengetahuan ketimbang
sebagai buku tafsir, sehingga ada ungkapan di dalamnya terdapat sesuatu,
kecuali tafsir itu sendiri.
6)Penyimpangan dalam Tafsir Modern
Modernisasi dalam Islam merupakan satu keharusan bila Islam tidak
ingin dikatakan sebagai agama yang out of date. Akan tetapi modernisasi itu
harus dilakukan dengan prosedur yang tepat dan proporsional. Ketika Al-Qur’an
hanya dijadikan justifikasi bagi isu-isu modern yang nota bene muncul dari luar
Islam, di sana terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir modernisasi.
Umpamanya, para pembaharu terpaksa meniadakan kewajiban hukum potong tangan
bagi tindakan kriminal pencurian yang jelas-jelas ada ketentuannya dalam
Al-Qur’an.
B.
Sebab-Sebab Terjadi Penyimpangan dalam Penafsiran Al Quran
Banyak faktor yang
menyebabkan mereka berani untuk melakukan penyelewengan terhadap tafsir al
Quran, diantaranya:
1) Kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa
melihat petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam lafadz-lafadz al Quran
tersebut.
2) Kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafadz
dan maknanya yang bisa difahami oleh penutur bahada Arab, tanpa memperhatikan
apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan al Quran tersebut,
yang dibicarakan olehnya dan (konteks) kalimatnya.
3) Adanya ambisi besar dari individu untuk melakukan penyelewengan
tafsir tanpa memperhatikan apa yang akan terjadi di kemudian hari.
4) Adanya dorongan dari madzhab atau aliran dengan bermaksud untuk
menyembunyian menyembunyikan kerancuan pemikiran mereka dan menonjolkan
pemikiran aliran atau madzahbnya sendiri.
Penyebab pokok kekeliruan penafsiran Al-quran dapat ditinjau dari
tiga segi[3]:
a. Dari segi Mufassir (pelakunya):
1. Subyektifitas si Mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan,
orientasi, sistem berfikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang
di anutnya, kepentingan dan keinginannya.
2. Tidak menguasi ilmu alat, seperti nahwu, shorof, dan lain-lain.
b. Dari segi materi ( sasarannya):
1. Kurang memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk
ini perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.
2. Tidak memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat.
3. Mendahulukan yang mutlaq dari yang muqoyyad.
4. Tidak memperhatikan munasabah ayat.
5. Tidak menguasai masalah yang di tafsirkan.
6. Mendahulukan yang mutasyabih dari yang muhkam.
c. Dari segi produk (hasil karya) para musafir tersebut.
C.
Bahaya Tafsir bil Ra'yi
Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran demikian adalah ahli
bidah, penganut madzab yang batil. Mereka menggunakan al-Qur’an untuk di
ta’wilkan menurut pandangan pribadi yang tidak berpijak pada pendapat atau
penafsiran ulama’ salaf, sahabat dan tabi’in. Diantara mereka ada yang menulis tafsirnya
secara indah dengan menyisipkan pemikiran madzabnya dalam untaian kalimat indah
yang dapat memperdaya banyak orang, ada juga ahli kalam ( kaum teolog ) yang
mena’wilkan”ayat-ayat sifat” dengan bingkaian pemikiran madzabnya.[4]
Dari golongan Syi'ah sendiri percaya bahwa tafsir bi al-ra'yi atau
menafsirkan al-Quran berdasarkan pandangan sendiri merupakan salah satu hal
yang paling riskan terhadap al-Quran. Hadis-hadis menggolongkannya sebagai
salah satu dosa besar, kabirah, sedangkan pelakunya diusir dari hadirat Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ. Misalnya dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ berfirman:
Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang menafsirkan ucapan-Ku dengan
pandangannya sendiri. (Wasail, 28:18, hadis no. 22)
Ini amat jelas karena seorang mukmin yang baik tidak akan
menafsirkan ucapan Allah semaunya. Dalam hadis lain, yang banyak dimuat oleh
kitab-kitab utama hadis seperti Turmuzi, Nasai, Abu Daud, dan sebagainya
disebutkan bahwa:
Barangsiapa mengatakan sesuatu pada Al-Quran dengan pandangannya
sendiri atau dengan sesuatu yang ia tidak ketahui, maka tempatnya adalah
neraka. (Mabahits fi Ulumil-quran : 304).
Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra'yi atau menafsirkan
al-Quran dengan pandangannya sendiri lalah menafsirkan al-Quran semaunya,
sesuai kepentingan dirinya atau kepentingan kelompoknya, tanpa disertai qariah
atau bukti yang menyertai makna ayat itu. Penafsir seperti ini pada dasarnya
bukan mengikuti al-Quran, tapi bermaksud agar al-Quran mengikutinya. Dan tentu
saja, orang yang memiliki iman yang utuh kepada al-Quran tidak akan melakukan
hal ini.
Selain itu, jika pintu tafsir bi al-ra'yi ini dibuka, maka al-Quran
akan kehilangan jati dirinya, sebab setiap orang akan menafsirkannya semaunya
dan menerapkan al-Quran atas berbagai aqidah yang menyimpang.
Dengan demikian, tafsir bi al-ra'yi ialah penafsiran yang ada
kalanya menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan pemahaman pemilik bahasa,
serta menerapkan al-Quran atas pandangan-pandangan yang sesat, kemauan-kemauan
pribadi dan kelompok, sesuatu yang dapat mengakibatkan penyimpangan makna
al-Quran.
Masih terdapat beberapa bentuk tafsir bi al-ra'yi. Salah satunya
ialah memilih ayat-ayat yang sesuai dengan pandangannya saja. Misalnya, ketika
ia menjelaskan masalah syafaat, tauhid, imamah, dan sebagainya, maka ia hanya
memilih ayat-ayat terkait yang sesuai dengan pandangannya saja dan meninggalkan
ayat-ayat lain yang tidak sesuai dengan pandangannya, yang justru dapat
berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat lain.
Singkat kata, jumud atau kaku terhadap ayat-ayat al-Quran dan tidak
mengindahkan qarinah aqliyah dan naqliyah yang benar merupakan bagian dari
penyimpangan terhadap al-Quran. Demikian pula tafsir bi al-ra'yi. Keduanya
membuat kita jauh dan ajaran dan nilai-nilai al-Quran yang amat tinggi.
D.
PENGARUH ISRAILIYAT DALAM PENAFSIRAN AL QUR AN
Sebab orang arab
meriwayatkan cerita isra’iliyat ialah, karna orang arab sendiri tidak
mengetahui ahli kitab dan ahli ilmu, dan bahwasanya orang arab tersebut adalah
seorang ummi.[5]
Menurut Zainul Hasan Rifa'i,[6]
masuknya israiliyyat dalam penafsiran al-Qur'an terutama yang bertentangan
dengan prinsif asasinya banyak menimbulkan pengaruh negatif pada Islam.
Diantaranya adalah merusak akidah umat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad
dengan Zainab binti Jahsyi yang keduanya mendiskriditkan pribadi Nabi yang
ma'shum dan menggambarkan Nabi sebagai pemburu nafsu seksual. Hal ini membawa
kesan bahwa Islam adalah agama khurafat, takhayul dan menyesatkan. Hal ini
tampak pada riwayat al-Qurthubi ketika menafsirkan firman Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ surat al-Mukmin: ayat 7 , yaitu :
"para malaikat memikul arsy 'dan yang disekitarnya bertasbih
memuji Tuhan..."
Ayat ini ditafsirkan dengan mengatakan "Kaki malaikat pemikul
`arsy berada di bumi paling bawah, sedangkan kepalanya menjulang ke 'arsy.[7]
Ditambahkannya masuknya israiliyyaat ini memalingkan perhatian umat
Islam dalam mengkaji soal-soal kilmuan Islam. Dengan larutnya umat Islam ke
dalam keasyikan menikmati kisah-kisah israiliyyaat, mereka tidak lagi antusias
memikirkan hal-hal makro, seperti sibuk dengan nama dan anjing Ashabul Kahfi,
jenis kayu dari tongkat Nabi musa Alayhi al-Salâm, nama binatang yang
ikut serta dalam perahu Nabi Nuh Alayhi al-Salâm dan sebagainya. Itu
tidak dinamakan dalam al-Qur'an karena memang tidak bermanfaat. Sekiranya
bermanfaat al-Qur'an tentu menjelaskan.
Selanjutnya adz-Dzahabi mengatakan[8] israiliyyat
akan merusak akidah kaum muslimin karena mengandung unsur penyerupaan dan
pengkongkritan (tasybih dan tajsim) kepada Allah dan mensifati Allah dengan
sifat yang tidak sesuai keagungan dan kesempumaan-Nya. Cerita itupun mengandung
unsur ismah (terpeliharanya) Nabi dan para Rasul dari dosa, menggambarkan
mereka dalam bentuk yang menonjol syahwatnya, mendorong mereka pada
perbuatan-perbuatan buruk yang tidak pantas dan layak bagi orang yang adil,
apalagi orang yang menjadi Nabi. Lebih lanjut beliau menjelaskan israiliyyat
memberikan gambaran seolah-olah Islam agama khurafat dan kebohongan yang tidak
ada sumbernya. Disamping itu dengan israiliyyat hampir saja hilang kepercayaan
pada sebagian ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak
sedikit cerita israiliyyat yang munkar ini disandarkan kepada sahabat atau
tabi'in, seperti Abdullah bin Salam, Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih.
Terhadap israiliyyat ulama salaf yang tokohnya antara lain Ibnu
Taimiyah melihat tiga bagian, ada yang sejalan dengan Islam perlu dibenarkan
dan diriwayatkan, sedangan yang masuk bagian yang tidak sejalan harus ditolak
dan tidak boleh diriwayatkan. Sedangkan yang tidak masuk bagian pertama dan
kedua tidak perlu dibenarkan dan didustakan, tetapi boleh diriwayatkan.
Pendapat serupa dikemukakan oleh lbu Hajar al-Asqalani.[9]
Di kalangan ulama’ Khalaf seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Musthafa al-Maraghi, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan al-Biqa'i. Diantara para
ulama ini Muhammad Abduh paling gencar mengkritik kebiasaan ulama Tafsir yang
banyak menggunakan israiliyyat dalam menafsirkan al-Qur'an. Menurut Muhammad
Abduh menggunakan israiliyyat adalah cara yang mendistori pemahaman terhadap
Islam. Sikap keras serupa diperlihatkan oleh Rasyid Ridha (murid Abduh). Ia
mengatakan riwayat israiliyyat yang secara eksterim diriwayatkan oleh para
ulama telah keluar dari konteks al-Qur'an. Lebih jelas al-Maraghi mengatakan
kitab-kitab tafsir keluar dari konteks israiliyyat yang tidak jelas
kualitasnya. Sikap negatif yang sama juga, diperlihatkan oleh Muhammad Syaltut,
israiliyyat menurutnya hanya menghalangi umat Islam menemukan petunjuk
al-Qur'an. Kesibukan mempelajarinya telah memalingkan mereka dari intan dan
mutiara yang terkandung dalam al-Qur'an. Abu Zahrah mengatakan israiliyyat
harus dibuang karena tidak berguna dalam memahami al-Qur'an. Bahkan al-Biqa'i
berargumentasi dengan israiliyyat adalah sesuatu yang mungkar.
Berdasarkan hadits Rasul yang kenyataanya dengan melihat
israiliyyat sebagai sumber tafsir, karena melihat keberadaan israiliyyat yang
banyak negatif. Beberapa contoh penafsiran berdasarkan israiliyyat banyak kita
jumpai dalam tafsir ath-Thabari. Dalam al-Qur'an kisah penyembelihan yang
dilakukan Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm diabadikan dalam QS. Al-Shafat
102 yang berbunyi:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى
فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ
افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (Pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata: "Hai anakku,
sesunguhnva aku melihat dalam mimpi aku meyembelihmu. Pikirkanlah apa
pendapatmu? Ia menjawab, "Wahai Bapaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar
".
Kunci persoalan yang sering menjadi perdebatan para ulama berkaitan
dengan tema ini adalah uraian tentang siapa sebenarnya yang di `al-adzabih'
pada ayat di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud itu adalah
Nabi Ismail Alayhi al-Salâm. putra Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm.
dari Siti Hajar. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud
adalah Nabi Ishaq Alayhi al-Salâm, putranya dari Siti Sarah. Pendapat
terakhir, menurut Ibnu Katsir dan mufassir lainnya berasal dari israliyyat.[10]
Karena sumber tafsiran ini berasal dari keinginan mengangkat nenek moyang
bangsa Yahudi yaitu Ishaq Alayhi al-Salâm. Bahkan menurut Ibnu Katsir
lagi pendapat mereka itu bertentangan dengan sumber-sumber ahli kitab
mereka. Berkaitan dengan pesoalan di atas, dalam tafsirnya mengungkapkan
dua kelompok riwayat yang masing-masing mewakili dua pendapat di atas. Riwayat
yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan at-dzahabi adalah Nabi Ishaq Alayhi
al-Salâm. diterimanya dari Abi Kuraib, Zaid bin Habilm, al-Hasan bin Dinar,
dari Ali bin Zaid bin Zad'an, dari al-Ahnaf bin Qaid dan al-Abbas bin Abdul
Muthalib dan dari Nabi.
Sanad israiliyyat yang disandarkan kepada Nabi di atas ditolak oleh
para ulama. Menurut Ibnu Katsir sebagaimana ditulis oleh Syu'bah, riwayat itu
dha'if, gugur dan tidak dapat dijadikan hujjah sebab salah satu rawinya yaitu
Hasan bin Dinar, harus ditinggalkan periwayatannya dan gurunya pun, Zaid bin
Zad'an, periwayatannya tidak dapat diterima. Namun kelemahan-kelamahan ini
tidak dikemukakan oleh ath-Thabari,[11] bahkan
ia menjadikannya pemihakan terhadap israiliyyat yang mengatakan yang disembelih
adalah Nabi Ishaq Alayhi al-Salâm, meskipun tidak mengomentari sanadnya,
ia mengomentari matannya. Dalam hal ini ia memilih riwayat yang mengatakan yang
dimaksud dengan al-dzahib adalah Nabi Ishaq Alayhi al-Salâm. Ia juga
mengatakan al-Qur'an mendukung riwayat itu. Untuk mendukung pendapatnya, ia
mengajukan berbagai argumentasi, umpamanya ia berargumentasi bahwa permintaan
Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm agar dikaruniai putra ketika berpisah dan
kaumnya dan hendak hijrah ke Syam bersama isterinya Sarah, terjadi ketika ia
belum mengenal Hajar isterinya yang kedua. Setelah peristiwa hijrah itu Tuhan
mengabulkan do'anya. Anak itulah yang menurutnya kemudian dilihatnya disembelih
dalam ketiga mimpinya. Dalam al-Qur'an, Nabi Ishaqlah yang disebut-sebut
sebagai kabar gembira bagi Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm, dalam surah
as-Shaffat : 101
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ
"Maka kami memberi kabar gembira kepadanya seorang anak yang sabar "
Diantara israiliyyat yang mewarnai tafsir ada juga yang sejalan
dengan al-Qur'an, tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan
israiliyyat yang bertentangan dengan al-Qur'an. Diantara yang sejalan dengan
al-Qur'an adalah israiliyyat yang bertalian dengan ayat al-A'raf 157 yang
dikutip oleh Ibnu Katsir, yaitu:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي
يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ
الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ
وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi Ummi yang
(namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang berada di sisi mereka
Nabi yang menyuruh mereka mengerjakan perbuatan ma'ruf dan melanggar perbuatan
munkar serta menghalalkan bagi mereka segala yang baik ".
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip israiliyyat yang
yang disampaikan ath-Thabari dari al-Mutsanna dari Utsman bin Umar dari Fulaih
dari Hilal bin Atha bin Yasar, Ia berkata :"Aku bertemu dengan Abdullah
bin 'Amr bin Ash dan bertanya kepadanya, ceritakan olehmu kepadaku tentang
sifat Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam yang diterangkan dalam
Taurat sama seperti yang diterangkan dalam al-Qur'an, wahai Nabi sesungguhnya
Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan dan
pemelihara yang ummi, engkau adalah hamba-Ku, namamu dikagumi, engkau tidak
kasar tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut namamu sebelum agama Islam
tegak lurus, yaitu setelah diucapkan tiada Tuhan yang patut disembah dengan
sebenar-benarnya kecuali Allah, dengan perantaraan engkau pula Allah akan
membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli dan membuka mata yang
buta".
Ibnu Katsir mengkaitkan israiliyyat itu dengan pernyataan bahwa
Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam kItabnya Shahihnya yang diterima dari
Muhammad bin Sinan dari Fulai, dari Hilal bin Ali dengan tambahan redaksinya
berbunyi, "dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar, Nabi tidak pernah
membalas keburukan dengan keburukan, tetapi ia senantiasa mempunyai sifat
pemaaf. Keberadaan israiliyyat itu dalam shahih Bukhari menunjukan bahwa
kwalitas sanadnya shahih.
Demikian pula israiliyyat ada yang memiliki kualifikasi tidak dapat
diterima dan tidak pula dapat didustakan kebenarannya (maukuf), contohnya surah
an-Nisa 158 tentang kenaikkan Isa al-Masih :
بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
"Tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa kepadaNya
dan adalah Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana".
Al-Qur'an memang tidak membahas secara rinci bagaimana proses
penyerupaan dan kenaikan Isa Alayhi al-Salâm sehingga persoalan ini kerap kali menjadi
bahan kontraversi di kalangan umat Islam. Umpamanya masih diperselisihkan
apakah yang diserupakan dengannya itu dan kemudian dibunuh oleh orang-orang
Yahudi hanya satu orang atau semua sahabatnaya yang ketika kejadian itu
berlangsung berada di rumah dengannya. Bila ada uraian tentang hal itu sudah
bisa dipastikan bersumber pada israiliyyat. Dalam hal ini ath-Thabari mengutip
israiliyyat itu. Ia mengemukakan dua macam riwayat yang masing-masing didukung
oleh banyak sanad. Riwayat pertama berasal dan Wahbah bin Munabbih
mengatakan yang diserupakan dengan Nabi Isa Alayhi al-Salâm adalah
seluruh sahabatnya. Ketika memasuki rumah tersebut dan hendak membunuhnya,
orang-orang Yahudi kebingungan karena seisi rumah itu wajahnya sama, akhirnya
mereka membunuh salah seorang sahabatnya, sedang Nabi Isa Alayhi al-Salâm diangkat
ke langit.
Riwayat kedua yang berasal dari Qatadah mengatakan bahwa yang
diserupakan dengannya adalah salah seorang sahabatnya saja, ketika masuk
orang-orang Yahudi membunuh orang yang diserupakan itu, sedangkan Nabi Isa Alayhi
al-Salâm diangkat ke langit.
Ath-Thabari lebih cenderung kepada pendapat Wahab bin Munabbih
dengan pertimbangan rasionya lebih mendekati kebenaran, jika salah satu saja
yang diserupakan, tentu para sahabatnya yakin yang dibunuh adalah orang yang
diserupakan. Padahal sebenarnya mereka merasa kebingungan siapa sebenarnya yang
mereka bunuh tersebut.
Dari israiliyyat-israiliyyat yang mewarnai kitab tafsir, menurut
pendapat penulis, sebelum menjadi dasar menafsiran ayat al-Qur'an seorang
mufasir harus bersikap extra hati-hati. Metodenya adalah melakukan studi kritis
sanad, dengan meyebutkan nama-nama rawi yang terlibat dalam transmisian sebuah
riwayat sehingga didapati riwayat yang didasarkan pada sanad yang sahih.
Pencantuman israiliyyat dalam tafsir harus diberi komentar tidak sekedar
"taken for granted" saja sehingga membingungkan para pembaca tafsir
apa pendapat pengarang sebenarnya, apakah mendukung atau tidak terhadap
israiliyyat yang dicantumkan dalam tafsirnya. Yang kedua harus diperhatikan
kesesuaiannya dengan syari'at Islam, persesuaian ini dengan al-Qur'an dan Hadis
Nabi. Yang ketiga apakah sesuai dengan rasio atau tidak.
III.
Kesimpulan
Bentuk-bentuk penyimpanganya ialah Pertama: Berkaitan dengan
subyektivitas mufassir, kita bisa melihat kecenderungan-kecenderungan para
mufassir untuk menafsirkan menurut seleranya, mungkin berkaitan dengan
madzhabnya, bidang kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang
berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompoknya.
Dalam kasus ini bisa kita lihat contoh penafsiran yang dilakukan
oleh Az-Zamakhsyari (pengarang Tafsir Al-Kasyaf), ketika ia menafsirkan kata: Nadhirah
dalam surah al-Qiyamah, 75:23. Ia tafsirkan kata nadhirah dalam ayat: إلى ربها ناظرة dengan pandangannya yang selaras dengan
doktrin madzhabnya (Mu'tazilah) dan keahlian bahasanya. Kata Nadhirah
yang secara umum diterjemahkan dengan melihat, ia tafsirkan dengan peryataan:
"Memandang di sini bukan berarti melihat; dan melihat bukanlah salah satu
maksud dari kata nadhirah tersebut. Nadhar memiliki arti yang
banyak, antara lain: menggerakkan biji mata ke arah satu benda untuk
melihatnya, menunggu, simpati dan berbaik hati dan berpikir atau merenung. Oleh
karena itu, ia berpendapat bahwa kata nadhar di dalam ayat tersebut
lebih tepat diartikan dengan menunggu, karena kita tidak mungkin melihat Allah.
Selain itu, jika pintu tafsir bi al-ra'yi ini dibuka, maka al-Quran
akan kehilangan jati dirinya, sebab setiap orang akan menafsirkannya semaunya
dan menerapkan al-Quran atas berbagai aqidah yang menyimpang.
Dengan demikian, tafsir bi al-ra'yi ialah penafsiran yang ada
kalanya menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan pemahaman pemilik bahasa,
serta menerapkan al-Quran atas pandangan-pandangan yang sesat, kemauan-kemauan
pribadi dan kelompok, sesuatu yang dapat mengakibatkan penyimpangan makna
al-Quran.
Menurut Zainul Hasan Rifa'i, masuknya israiliyyat dalam penafsiran
al-Qur'an terutama yang bertentangan dengan prinsif asasinya banyak menimbulkan
pengaruh negatif pada Islam. Diantaranya adalah merusak akidah umat Islam,
seperti yang dikemukakan oleh Mudatil ataupun Muhammad dengan Zainab binti
Jahsyi yang keduanya mendiskriditkan pribadi Nabi yang ma'shum dan
menggambarkan Nabi sebagai pemburu nafsu seksual. Hal ini membawa kesan bahwa
Islam adalah agama khurafat, takhayul dan menyesatkan. Hal ini tampak pada
riwayat al-Qurthubi ketika menafsirkan firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
surat al-Mukmin: ayat 7 , yaitu :
"para malaikat memikul arsy 'dan yang disekitarnya bertasbih
memuji Tuhan..."
Daftar Pustaka
Al-Qur‘an
Kholid
Abdurrahman, Ushul Tafsir wa Qowaiduhu, (Bairut: Dar Nafais, 1968).
Rifa'i, Zainul Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran
al-Qur'an, dalam Jurnal Hikmah, No. 13, Edisi Zulqaidah, 1414 Muharrah
1415.
Muhammad Husain
adz-Zahabi, op. cit., h. 27-28, 32-33.
Rosihan Anwar,
op. cit., h. 42.
Muhammad Nazib ar-Rifa'i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
(Jakarta, Gema Insani, 2000), 4:40.
Didin Saefudin Bukhori, Pedoman
Memahami kandungan Al-Qur’an, (Ttp: ttp, tth).
Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta
Timur: Pustaka al-Kautsar, 2013), 8:440-441.
[1] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran. (Bandung, Pustaka setia,
2009). Hal, 196.
[3] Didin Saefudin Bukhori, Pedoman Memahami kandungan Al-Qur’an, (Ttp:
ttp, tth). hal:190
[4] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta Timur:
Pustaka al-Kautsar, 2013), 8:440-441.
[5] Kholid Abdurrahman, Ushul Tafsir wa Qowaiduhu, (Bairut: Dar Nafais,
1968), 262.
[6] Zainul Hasan Rifa'i, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran
al-Qur'an, dalam
Jurnal Hikmah, No. 13, Edisi Zulqaidah,
1414- Muharrah 1415, h. 12.
[7] Ibid., 12
[8] Muhammad Husin adz-Zahabi, op. cit., h. 27-28, 32-33.
[9] Rosihan Anwar, op. cit., h. 42.
[10] Muhammad Nazib ar-Rifa'i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
(Jakarta, Gema
Insani, 2000), 4:40.
[11] Rosihan Anwar, op. cit., h. 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar