Senin, 11 Mei 2015

Bahayanya Tafsir Aqli dalam beberapa Penafsiran



I.             Pendahuluan
           Al-Quran adalah kitab suci yang di turunkan untuk menjadi pedoman hidup (way of life) bagi manusia. Fungsi tersebut secara tegas dinyatakan oleh Allah dalam beberapa ayat al-Qur’an. Agar fungsi tersebut dapat direalisasikan, maka al-Quran tersebut harus dapat dipahami oleh manusia.
Dalam upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia berusaha untuk mencari kejelasan makna pesan-pesan al-Quran tersebut, yang salah satunya adalah menafsirkan al-Quran. Upaya ini telah dilakukan oleh para mufassir, baik oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Sendiri sebagai mufassir pertama dan para pewarisnya. Rasulullah menjelaskan al-Quran dengan sunnahnya, sedang para pewarisnya menafsirkan al-Quran dengan hadits-hadits Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, di samping berusaha memahami al-Quran dengan penjelasan al-Quran itu sendiri, dan ijtihad mereka, dengan menggunakan kemampuan pengetahuan bahasa, adat istiadat Arab, hal ihwal kaum yahudi-nasrani dan kekuatan daya tangkap mereka. Kemudian, pada masa Tabi’in (yang secara umum juga disebut sebagai pewaris Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, tetapi dalam kaitannya dengan penafsiran al-Quran sebutan pewaris ini nampaknya tertuju pada para sahabat), perkembangan pola penafsiran telah menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan pola yang menonjol pada masa sahabat. Dalam memahami arti ayat-ayat al-Quran dan menafsirkannya, para Tabi'in di samping melandaskan pada ayat-ayat al-Quran itu sendiri, hadits-hadits Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam serta penafsiran yang diberikan oleh para sahabat Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam dengan bantuan cerita-cerita dari para ahli kitab telah menggunakan ra'yu sebagai alat menalar. Meskipun corak penalarannya masih belum serasional para pelanjutnya yang telah mengintroduksi pola penafsiran Bi al-Ra'yi. Oleh karena itu, Adz-Dzhabi menyebut lima macam sumber yang dipakai oleh para Tabi'in dalam menafsirkan al-Quran, yaitu: al-Quran, al-Hadis, tafsir para sahabat, cerita para ahli kitab dan ra'yu atau ijtihad para tabi'in sendiri.
Pada masa Tabi'in inilah kita bisa melihat mulai adanya peluang 'inhiraf' dalam penafsiran al-Quran. Meskipun, secara logis bisa kita duga bahwa pada zaman sahabat pun bukan tidak mungkin ada peluang untuk melakukan penyimpangan itu. Namun untuk menyatakan bahwa kecenderungan ke arah itu benar-benar ada, kita belum memperoleh bukti. Sedang pada periode Tabi'in ini, tafsir-tafsir al-Quran sudah menampakkan kecenderungan ke arah penyimpangan, meskipun belum dapat kita katakan telah menyimpang, karena paling tidak di dalamnya terdapat hal-hal yang memberikan peluang ke arah itu. Peluang tersebut antara lain dimungkinkan oleh pola-pola penafsiran mereka yang mengandung tiga macam permasalahan:
Pertama: Karya-karya Tafsir para Tabi'in pada umumnya mengandung cerita-cerita Israiliyat dan Nashraniyat, yang bila dicermati bukan tidak mungkin sebagian dari cerita-cerita tersebut tidak memiliki sumber yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya apalagi banyak di antara kisah-kisah tersebut dimuat dengan tanpa menyantumkan sanadnya, sehingga sulit sekali dilacak sumbernya. Bahkan, ada di antara cerita-cerita tersebut yang terbukti ketidak-benarannya setelah diteliti.
Kedua: Di dalam kitab-kitab tafsir para Tabi'in terlihat mulai adanya kecenderungan untuk hanya menerima periwayatan dari orang-orang tertentu, dengan menafikan riwayat lain yang mungkin lebih dapat dipertanggungjawabkan nilai kebenarannya daripada riwayat yang dipakai sebagai salah satu sumber penafsiran.
Ketiga: Pada masa Tabi’in mulai tumbuh benih-benih perselisihan antar madzhab, terutama dalam masalah teologi, sehingga bukan tidak mungkin sebagian Tafsir para Tabi'in yang mengandung kecenderungan untuk mempertahankan metode dan pendapat Imam-imam madzhab, yang boleh jadi pada taraf tertentu akan berlebih-lebihan dan berkecenderungan untuk menyimpang, hanya karena dalam rangka membela pendapat Imam-imam madzhab dan seperangkat pendapat madzhabnya.
Kecenderungan-kecenderungan Itu semakin tampak pada masa berikutnya dengan munculnya pola-pola baru dalam penafsiran al-Quran, terutama dengan semakin menguatnya gairah orang-orang Islam untuk memberikan makna yang lebih memuaskan keinginan mereka untuk memahami al-Quran.
Dari penjelasan di atas masalah akan timbul adanya bentuk-bentuk penyimpangan...? bahayanya tafsir bil ra ’yi..? dan penyimpangan tafsir Isra’iliyat...?
II.          Bahaya Tafsir Aqli
A.    Bentuk-bentuk Penyimpangan
1.      Penyimpangan dalam Tafsir Historis[1]
            Kandungan cerita yang ini dimiliki oleh Al-Qur’an adalah keringkasan dalam menuturkan kisah-kisah. Al-Qur’an tidak memberikan perincian jalannya kisah, melainkan hanya memilih fragmen yang berkaitan dengan substansi tema yang berisi perjalanan. Akan tetapi, justru dari sanalah muncul penyimpangan-penyimpangan dalam historis. Para sejarawan yang menulis jenis tafsir ini lupa bahwa penekanan kisah-kisah Al-Qur’an tidak terletak pada jalan ceritanya, tetapi pada aspek pesan moral yang dikandungnya. Dengan demikian adalah suatu penyimpangan ketika kisah-kisah Al-Qur’an ditafsirkan dengan perincian yang tidak substansial.
Penyimpangan dalam tafsir historis lebih jelas lagi ketika tafsir itu dimasuki Israiliyat, yakni legenda–legenda Yahudi dan Nasruni yang masuk ke dalam tafsir. Lebih parah lagi ketika Israiliyat yang dimasukkan ke dalam tafsir masuk dalam kategori maudhu’ (palsu). Menurut Adz-Dzahabi, tafsir Al-Khazin banyak dipenuhi Israiliyat jenis itu, kitab tafsir lain semacam tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Ruh Al-Ma’ani, dan Al-Manar pun diduga kuat memuat pula riwayat-riwayat Israiliyat.
Eksistensi Israiliyat dalam tafsir Historis tidak saja merupakan penyimpangan, lebih jauh lagi, menurut Muhammad Syaltut, telah menjauhkan umat Islam dari mutiara-mutiara Al-Qur’an. Umpamanya, ketika menjelaskan kisah penyembelihan sapi (Baqarah) oleh Bani Israil, para sejarawan terlena dengan cerita-cerita Israiliyat samua lupa akan pesan moral yang ada di balik kisah tersebut.


2) Penyimpangan dalam Tafsir Teologi[2]
Skismatik aliran-aliran teologi ternyata tidak selamanya membawa rahmat. Pada saat tertentu ia bahkan menjadi salah satu sebab bagi penyimpangan dalam tafsir teologi. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, kerap kali masing-masing aliran mendistori ayat untuk disesuaikan dengan doktrin madzhab yang dianutnya. Bukan Al-Qur’an dijadikan sumber pelarian bagi perselisihan di antara aliran-aliran teologi, bahkan sebaliknya ia dijadikan sebagai justifikasi bagi madzhabnya masing-masing. Tentu saja hal itu merupakan satu penyimpanyan dalam tafsir teologi.
Untuk mempertahankan doktrin “ketidakmungkinan” Allah dapat dilihat di akhirat kelak, Zamaksyari (tokoh besar Mu’tazilah)”terpaksa” harus melakukan takwil(metefora) terhadap ayat yang jelas-jelas bertentangan dengan doktrin Mu’tazilah. Hasan Al-Asykari, tokoh Syi’ah, mengarahkan penafsiran terhadap surat Al-Baqarah [2] : 163 untuk menjustifikasikan doktrin “taqqiyah”. Aliran Khawarij pun tidak ketinggalan menjadikan Al-Qur’an surat Al-Maidah [5] :44 untuk mempertahankan doktrinnya bahwa “orang yang fasik adalah kafir”. Ayat-ayat lain disimpangkan oleh kelompok Jabbariyah untuk mempertahankan doktrin “determinismenya”. Begitulah selanjutnya, masing-masing aliran teologi mempunyai andil dalam melakukan penyimpangan-penyimpangan.
3) Penyimpangan dalam Tafsir Sufi
Ciri kehidupan sufi yang eksklusif tidak saja tampak dalam bentuk-bentuk praktek keagamaannya, tetapi lebih jelas tampak dalam bentuk penafsiran-penafsiran Al-Qur’an. Karena keeklusifan inilah, tafsir sufi banyak mendistorsi ayat-ayat Al-Qur’an. Bila menelaah kitab-kitab tafsir tasawuf, baik yang mencorak toeretis (an-nazhari), simbolik (isyari) ataupun limpahan (faidhi), kita akan menemukan berbagai penyimpangan di dalamnya. Pangkal penyimpangan sufi mudah ditebak. Para sufi terlalu memaksakan ayat-ayat Al-Qur’an untuk diselaraskan dengan doktrin-doktrin tasawuf.
Ibnu Arabi, sebagaimana pula Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj, cenderung menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjustifikasi doktrin “wihdatul wujud” (kesatuan eksistensi). Itulah sebabnya, ketika menafsirkan ayat 67 dari surat Al-Baqarah , Ibnu Arabi mengatakan bahwa “anak sapi yang disembelih oleh Bani Israil merupakan salah satu manifestasi Allah dan sekaligus dijadikan sebagai tempat bagi-Nya”. Lebih parah lagi ketika menafsirkan ayat 163 surat Al-Baqarah, ia menjelaskan bahwa orang-orang yang menyembah benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, sama dengan menyembah Allah juga.
4) Penyimpangan dalam Tafsir Linguistik
Kenyataan yang tidak dapat dibantah adalah Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa arab. Akibatnya, memehami salah satu aspek-aspek bahasa Arab memegang peranan penting termasuk pemahaman tentang pola pembentukan kata dan konjungsi (tashrif)nya, untuk menafsirkan Al-Qur’an. Akan tetapi, pada kenyataannya, ada kelompok orang yang berbicara dan menulis tafsir tanpa berbekalkan pengetahuan bahasa yang memadai. Oleh karena itu, mereka cenderung melakukan penyimpangan dalam tafsir Linguistik yang disebabkan oleh ketidakfahaman terhadap konjungsi, sebagaimana dikutip dalam tafsir Al-Kasysyaf adalah penafsiran terhadap ayat 71 dan 17. Untuk itu, Zamaksyari berkata, “merupakan penyimpangan penafsiran yang paling besar ketika kata “imam” dianggap sebagai pembentuk dari kata “umn”yang berarti “ibu”. Padahal yang benar, bentuk jamak dari kata “umn” itu bukan “imam” melainkan “ummahat.”
5)Penyimpangan dalam Tafsir Ilmi
Klaim penulis Tafsir Ilmi bahwa Al-Qur’an mencakup segala sesuatu, tidak dapat disalahkan. Setidak-tidaknya klaim mereka didukung oleh Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 38. Akan tetapi, mereka keliru ketika memperlakukan Al-Qur’an pada buku ilmu pengetahuan, sehingga setiap penemuan ilmu pengetahuan mereka di cocok-cocokkan dengan istilah-istilah Al-Qur’an, kendatipun harus melakukan penyimpangan-penyimpangan makna. Betul, surat Al-An’am ayat 38 menyatakan bahwa tak sesuatu pun juga Allah tinggalkan dalam Al-Qur’an, tetapi yang dimaksud oleh ayat itu, adalah bahwa Al-Qur’an berisi prinsip-prinsip umum mengenai segala sesuatu. Dan mengenai perinciannya, manusia diberi otoritas untuk mengembangkankannya.
Thanthawi Jauhari adalah seorang ulama modern yang sangat fanatik terhadap corak tafsir ilmi. Dalam karyanya, Tafsir Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an, ia menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diduganya berkaitan dengan ilmu pengetahuan dengan teori-teori ilmu pengetahuan pada masanya. Karya tafsirnya itu memang lebih layak dikatakan sebagai buku ilmu pengetahuan ketimbang sebagai buku tafsir, sehingga ada ungkapan di dalamnya terdapat sesuatu, kecuali tafsir itu sendiri.
6)Penyimpangan dalam Tafsir Modern
Modernisasi dalam Islam merupakan satu keharusan bila Islam tidak ingin dikatakan sebagai agama yang out of date. Akan tetapi modernisasi itu harus dilakukan dengan prosedur yang tepat dan proporsional. Ketika Al-Qur’an hanya dijadikan justifikasi bagi isu-isu modern yang nota bene muncul dari luar Islam, di sana terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir modernisasi. Umpamanya, para pembaharu terpaksa meniadakan kewajiban hukum potong tangan bagi tindakan kriminal pencurian yang jelas-jelas ada ketentuannya dalam Al-Qur’an.
B.     Sebab-Sebab Terjadi Penyimpangan dalam Penafsiran Al Quran
          Banyak faktor yang menyebabkan mereka berani untuk melakukan penyelewengan terhadap tafsir al Quran, diantaranya:
1) Kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam lafadz-lafadz al Quran tersebut.
2) Kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafadz dan maknanya yang bisa difahami oleh penutur bahada Arab, tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan al Quran tersebut, yang dibicarakan olehnya dan (konteks) kalimatnya.
3) Adanya ambisi besar dari individu untuk melakukan penyelewengan tafsir tanpa memperhatikan apa yang akan terjadi di kemudian hari.
4) Adanya dorongan dari madzhab atau aliran dengan bermaksud untuk menyembunyian menyembunyikan kerancuan pemikiran mereka dan menonjolkan pemikiran aliran atau madzahbnya sendiri.
Penyebab pokok kekeliruan penafsiran Al-quran dapat ditinjau dari tiga segi[3]:
a. Dari segi Mufassir (pelakunya):
1. Subyektifitas si Mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang di anutnya, kepentingan dan keinginannya.
2. Tidak menguasi ilmu alat, seperti nahwu, shorof, dan lain-lain.
b. Dari segi materi ( sasarannya):
1. Kurang memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.
2. Tidak memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat.
3. Mendahulukan yang mutlaq dari yang muqoyyad.
4. Tidak memperhatikan munasabah ayat.
5. Tidak menguasai masalah yang di tafsirkan.
6. Mendahulukan yang mutasyabih dari yang muhkam.
c. Dari segi produk (hasil karya) para musafir tersebut.
C.    Bahaya Tafsir bil Ra'yi
Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran demikian adalah ahli bidah, penganut madzab yang batil. Mereka menggunakan al-Qur’an untuk di ta’wilkan menurut pandangan pribadi yang tidak berpijak pada pendapat atau penafsiran ulama’ salaf, sahabat dan tabi’in. Diantara mereka ada yang menulis tafsirnya secara indah dengan menyisipkan pemikiran madzabnya dalam untaian kalimat indah yang dapat memperdaya banyak orang, ada juga ahli kalam ( kaum teolog ) yang mena’wilkan”ayat-ayat sifat” dengan bingkaian pemikiran madzabnya.[4]
Dari golongan Syi'ah sendiri percaya bahwa tafsir bi al-ra'yi atau menafsirkan al-Quran berdasarkan pandangan sendiri merupakan salah satu hal yang paling riskan terhadap al-Quran. Hadis-hadis menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, kabirah, sedangkan pelakunya diusir dari hadirat Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Misalnya dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang menafsirkan ucapan-Ku dengan pandangannya sendiri. (Wasail, 28:18, hadis no. 22)
Ini amat jelas karena seorang mukmin yang baik tidak akan menafsirkan ucapan Allah semaunya. Dalam hadis lain, yang banyak dimuat oleh kitab-kitab utama hadis seperti Turmuzi, Nasai, Abu Daud, dan sebagainya disebutkan bahwa:
Barangsiapa mengatakan sesuatu pada Al-Quran dengan pandangannya sendiri atau dengan sesuatu yang ia tidak ketahui, maka tempatnya adalah neraka. (Mabahits fi Ulumil-quran : 304).
Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra'yi atau menafsirkan al-Quran dengan pandangannya sendiri lalah menafsirkan al-Quran semaunya, sesuai kepentingan dirinya atau kepentingan kelompoknya, tanpa disertai qariah atau bukti yang menyertai makna ayat itu. Penafsir seperti ini pada dasarnya bukan mengikuti al-Quran, tapi bermaksud agar al-Quran mengikutinya. Dan tentu saja, orang yang memiliki iman yang utuh kepada al-Quran tidak akan melakukan hal ini.
Selain itu, jika pintu tafsir bi al-ra'yi ini dibuka, maka al-Quran akan kehilangan jati dirinya, sebab setiap orang akan menafsirkannya semaunya dan menerapkan al-Quran atas berbagai aqidah yang menyimpang.
Dengan demikian, tafsir bi al-ra'yi ialah penafsiran yang ada kalanya menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan pemahaman pemilik bahasa, serta menerapkan al-Quran atas pandangan-pandangan yang sesat, kemauan-kemauan pribadi dan kelompok, sesuatu yang dapat mengakibatkan penyimpangan makna al-Quran.
Masih terdapat beberapa bentuk tafsir bi al-ra'yi. Salah satunya ialah memilih ayat-ayat yang sesuai dengan pandangannya saja. Misalnya, ketika ia menjelaskan masalah syafaat, tauhid, imamah, dan sebagainya, maka ia hanya memilih ayat-ayat terkait yang sesuai dengan pandangannya saja dan meninggalkan ayat-ayat lain yang tidak sesuai dengan pandangannya, yang justru dapat berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat lain.
Singkat kata, jumud atau kaku terhadap ayat-ayat al-Quran dan tidak mengindahkan qarinah aqliyah dan naqliyah yang benar merupakan bagian dari penyimpangan terhadap al-Quran. Demikian pula tafsir bi al-ra'yi. Keduanya membuat kita jauh dan ajaran dan nilai-nilai al-Quran yang amat tinggi.
D.    PENGARUH ISRAILIYAT DALAM PENAFSIRAN AL QUR AN
            Sebab orang arab meriwayatkan cerita isra’iliyat ialah, karna orang arab sendiri tidak mengetahui ahli kitab dan ahli ilmu, dan bahwasanya orang arab tersebut adalah seorang ummi.[5]
Menurut Zainul Hasan Rifa'i,[6] masuknya israiliyyat dalam penafsiran al-Qur'an terutama yang bertentangan dengan prinsif asasinya banyak menimbulkan pengaruh negatif pada Islam. Diantaranya adalah merusak akidah umat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad dengan Zainab binti Jahsyi yang keduanya mendiskriditkan pribadi Nabi yang ma'shum dan menggambarkan Nabi sebagai pemburu nafsu seksual. Hal ini membawa kesan bahwa Islam adalah agama khurafat, takhayul dan menyesatkan. Hal ini tampak pada riwayat al-Qurthubi ketika menafsirkan firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ surat al-Mukmin: ayat 7 , yaitu :
"para malaikat memikul arsy 'dan yang disekitarnya bertasbih memuji Tuhan..."
Ayat ini ditafsirkan dengan mengatakan "Kaki malaikat pemikul `arsy berada di bumi paling bawah, sedangkan kepalanya menjulang ke 'arsy.[7]
Ditambahkannya masuknya israiliyyaat ini memalingkan perhatian umat Islam dalam mengkaji soal-soal kilmuan Islam. Dengan larutnya umat Islam ke dalam keasyikan menikmati kisah-kisah israiliyyaat, mereka tidak lagi antusias memikirkan hal-hal makro, seperti sibuk dengan nama dan anjing Ashabul Kahfi, jenis kayu dari tongkat Nabi musa Alayhi al-Salâm, nama binatang yang ikut serta dalam perahu Nabi Nuh Alayhi al-Salâm dan sebagainya. Itu tidak dinamakan dalam al-Qur'an karena memang tidak bermanfaat. Sekiranya bermanfaat al-Qur'an tentu menjelaskan.
Selanjutnya adz-Dzahabi mengatakan[8] israiliyyat akan merusak akidah kaum muslimin karena mengandung unsur penyerupaan dan pengkongkritan (tasybih dan tajsim) kepada Allah dan mensifati Allah dengan sifat yang tidak sesuai keagungan dan kesempumaan-Nya. Cerita itupun mengandung unsur ismah (terpeliharanya) Nabi dan para Rasul dari dosa, menggambarkan mereka dalam bentuk yang menonjol syahwatnya, mendorong mereka pada perbuatan-perbuatan buruk yang tidak pantas dan layak bagi orang yang adil, apalagi orang yang menjadi Nabi. Lebih lanjut beliau menjelaskan israiliyyat memberikan gambaran seolah-olah Islam agama khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Disamping itu dengan israiliyyat hampir saja hilang kepercayaan pada sebagian ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi'in. Tidak sedikit cerita israiliyyat yang munkar ini disandarkan kepada sahabat atau tabi'in, seperti Abdullah bin Salam, Ka'ab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih.
Terhadap israiliyyat ulama salaf yang tokohnya antara lain Ibnu Taimiyah melihat tiga bagian, ada yang sejalan dengan Islam perlu dibenarkan dan diriwayatkan, sedangan yang masuk bagian yang tidak sejalan harus ditolak dan tidak boleh diriwayatkan. Sedangkan yang tidak masuk bagian pertama dan kedua tidak perlu dibenarkan dan didustakan, tetapi boleh diriwayatkan. Pendapat serupa dikemukakan oleh lbu Hajar al-Asqalani.[9]
Di kalangan ulama’ Khalaf seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Musthafa al-Maraghi, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan al-Biqa'i. Diantara para ulama ini Muhammad Abduh paling gencar mengkritik kebiasaan ulama Tafsir yang banyak menggunakan israiliyyat dalam menafsirkan al-Qur'an. Menurut Muhammad Abduh menggunakan israiliyyat adalah cara yang mendistori pemahaman terhadap Islam. Sikap keras serupa diperlihatkan oleh Rasyid Ridha (murid Abduh). Ia mengatakan riwayat israiliyyat yang secara eksterim diriwayatkan oleh para ulama telah keluar dari konteks al-Qur'an. Lebih jelas al-Maraghi mengatakan kitab-kitab tafsir keluar dari konteks israiliyyat yang tidak jelas kualitasnya. Sikap negatif yang sama juga, diperlihatkan oleh Muhammad Syaltut, israiliyyat menurutnya hanya menghalangi umat Islam menemukan petunjuk al-Qur'an. Kesibukan mempelajarinya telah memalingkan mereka dari intan dan mutiara yang terkandung dalam al-Qur'an. Abu Zahrah mengatakan israiliyyat harus dibuang karena tidak berguna dalam memahami al-Qur'an. Bahkan al-Biqa'i berargumentasi dengan israiliyyat adalah sesuatu yang mungkar.
Berdasarkan hadits Rasul yang kenyataanya dengan melihat israiliyyat sebagai sumber tafsir, karena melihat keberadaan israiliyyat yang banyak negatif. Beberapa contoh penafsiran berdasarkan israiliyyat banyak kita jumpai dalam tafsir ath-Thabari. Dalam al-Qur'an kisah penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm diabadikan dalam QS. Al-Shafat 102 yang berbunyi:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (Pada umur sanggup) berusaha bersama-sama dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesunguhnva aku melihat dalam mimpi aku meyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu? Ia menjawab, "Wahai Bapaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatkanku termasuk orang-orang yang sabar ".
Kunci persoalan yang sering menjadi perdebatan para ulama berkaitan dengan tema ini adalah uraian tentang siapa sebenarnya yang di `al-adzabih' pada ayat di atas. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud itu adalah Nabi Ismail Alayhi al-Salâm. putra Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm. dari Siti Hajar. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Nabi Ishaq Alayhi al-Salâm, putranya dari Siti Sarah. Pendapat terakhir, menurut Ibnu Katsir dan mufassir lainnya berasal dari israliyyat.[10] Karena sumber tafsiran ini berasal dari keinginan mengangkat nenek moyang bangsa Yahudi yaitu Ishaq Alayhi al-Salâm. Bahkan menurut Ibnu Katsir lagi pendapat mereka itu bertentangan dengan sumber-sumber ahli kitab mereka. Berkaitan dengan pesoalan di atas, dalam tafsirnya mengungkapkan dua kelompok riwayat yang masing-masing mewakili dua pendapat di atas. Riwayat yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan at-dzahabi adalah Nabi Ishaq Alayhi al-Salâm. diterimanya dari Abi Kuraib, Zaid bin Habilm, al-Hasan bin Dinar, dari Ali bin Zaid bin Zad'an, dari al-Ahnaf bin Qaid dan al-Abbas bin Abdul Muthalib dan dari Nabi.
Sanad israiliyyat yang disandarkan kepada Nabi di atas ditolak oleh para ulama. Menurut Ibnu Katsir sebagaimana ditulis oleh Syu'bah, riwayat itu dha'if, gugur dan tidak dapat dijadikan hujjah sebab salah satu rawinya yaitu Hasan bin Dinar, harus ditinggalkan periwayatannya dan gurunya pun, Zaid bin Zad'an, periwayatannya tidak dapat diterima. Namun kelemahan-kelamahan ini tidak dikemukakan oleh ath-Thabari,[11] bahkan ia menjadikannya pemihakan terhadap israiliyyat yang mengatakan yang disembelih adalah Nabi Ishaq Alayhi al-Salâm, meskipun tidak mengomentari sanadnya, ia mengomentari matannya. Dalam hal ini ia memilih riwayat yang mengatakan yang dimaksud dengan al-dzahib adalah Nabi Ishaq Alayhi al-Salâm. Ia juga mengatakan al-Qur'an mendukung riwayat itu. Untuk mendukung pendapatnya, ia mengajukan berbagai argumentasi, umpamanya ia berargumentasi bahwa permintaan Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm agar dikaruniai putra ketika berpisah dan kaumnya dan hendak hijrah ke Syam bersama isterinya Sarah, terjadi ketika ia belum mengenal Hajar isterinya yang kedua. Setelah peristiwa hijrah itu Tuhan mengabulkan do'anya. Anak itulah yang menurutnya kemudian dilihatnya disembelih dalam ketiga mimpinya. Dalam al-Qur'an, Nabi Ishaqlah yang disebut-sebut sebagai kabar gembira bagi Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm, dalam surah as-Shaffat : 101
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ
"Maka kami memberi kabar gembira kepadanya seorang anak  yang sabar "
Diantara israiliyyat yang mewarnai tafsir ada juga yang sejalan dengan al-Qur'an, tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan israiliyyat yang bertentangan dengan al-Qur'an. Diantara yang sejalan dengan al-Qur'an adalah israiliyyat yang bertalian dengan ayat al-A'raf 157 yang dikutip oleh Ibnu Katsir, yaitu:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi Ummi yang (namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang berada di sisi mereka Nabi yang menyuruh mereka mengerjakan perbuatan ma'ruf dan melanggar perbuatan munkar serta menghalalkan bagi mereka segala yang baik ".
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip israiliyyat yang yang disampaikan ath-Thabari dari al-Mutsanna dari Utsman bin Umar dari Fulaih dari Hilal bin Atha bin Yasar, Ia berkata :"Aku bertemu dengan Abdullah bin 'Amr bin Ash dan bertanya kepadanya, ceritakan olehmu kepadaku tentang sifat Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam yang diterangkan dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam al-Qur'an, wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan dan pemelihara yang ummi, engkau adalah hamba-Ku, namamu dikagumi, engkau tidak kasar tidak pula keras. Allah tidak akan mencabut namamu sebelum agama Islam tegak lurus, yaitu setelah diucapkan tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah, dengan perantaraan engkau pula Allah akan membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli dan membuka mata yang buta".
Ibnu Katsir mengkaitkan israiliyyat itu dengan pernyataan bahwa Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam kItabnya Shahihnya yang diterima dari Muhammad bin Sinan dari Fulai, dari Hilal bin Ali dengan tambahan redaksinya berbunyi, "dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar, Nabi tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, tetapi ia senantiasa mempunyai sifat pemaaf. Keberadaan israiliyyat itu dalam shahih Bukhari menunjukan bahwa kwalitas sanadnya shahih.
Demikian pula israiliyyat ada yang memiliki kualifikasi tidak dapat diterima dan tidak pula dapat didustakan kebenarannya (maukuf), contohnya surah an-Nisa 158 tentang kenaikkan Isa al-Masih :
بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
"Tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa kepadaNya dan adalah Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana".
Al-Qur'an memang tidak membahas secara rinci bagaimana proses penyerupaan dan kenaikan Isa Alayhi al-Salâm  sehingga persoalan ini kerap kali menjadi bahan kontraversi di kalangan umat Islam. Umpamanya masih diperselisihkan apakah yang diserupakan dengannya itu dan kemudian dibunuh oleh orang-orang Yahudi hanya satu orang atau semua sahabatnaya yang ketika kejadian itu berlangsung berada di rumah dengannya. Bila ada uraian tentang hal itu sudah bisa dipastikan bersumber pada israiliyyat. Dalam hal ini ath-Thabari mengutip israiliyyat itu. Ia mengemukakan dua macam riwayat yang masing-masing didukung oleh banyak sanad. Riwayat pertama berasal dan Wahbah bin Munabbih mengatakan yang diserupakan dengan Nabi Isa Alayhi al-Salâm adalah seluruh sahabatnya. Ketika memasuki rumah tersebut dan hendak membunuhnya, orang-orang Yahudi kebingungan karena seisi rumah itu wajahnya sama, akhirnya mereka membunuh salah seorang sahabatnya, sedang Nabi Isa Alayhi al-Salâm diangkat ke langit.
Riwayat kedua yang berasal dari Qatadah mengatakan bahwa yang diserupakan dengannya adalah salah seorang sahabatnya saja, ketika masuk orang-orang Yahudi membunuh orang yang diserupakan itu, sedangkan Nabi Isa Alayhi al-Salâm diangkat ke langit.
Ath-Thabari lebih cenderung kepada pendapat Wahab bin Munabbih dengan pertimbangan rasionya lebih mendekati kebenaran, jika salah satu saja yang diserupakan, tentu para sahabatnya yakin yang dibunuh adalah orang yang diserupakan. Padahal sebenarnya mereka merasa kebingungan siapa sebenarnya yang mereka bunuh tersebut.
Dari israiliyyat-israiliyyat yang mewarnai kitab tafsir, menurut pendapat penulis, sebelum menjadi dasar menafsiran ayat al-Qur'an seorang mufasir harus bersikap extra hati-hati. Metodenya adalah melakukan studi kritis sanad, dengan meyebutkan nama-nama rawi yang terlibat dalam transmisian sebuah riwayat sehingga didapati riwayat yang didasarkan pada sanad yang sahih. Pencantuman israiliyyat dalam tafsir harus diberi komentar tidak sekedar "taken for granted" saja sehingga membingungkan para pembaca tafsir apa pendapat pengarang sebenarnya, apakah mendukung atau tidak terhadap israiliyyat yang dicantumkan dalam tafsirnya. Yang kedua harus diperhatikan kesesuaiannya dengan syari'at Islam, persesuaian ini dengan al-Qur'an dan Hadis Nabi. Yang ketiga apakah sesuai dengan rasio atau tidak.
III.             Kesimpulan
Bentuk-bentuk penyimpanganya ialah Pertama: Berkaitan dengan subyektivitas mufassir, kita bisa melihat kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk menafsirkan menurut seleranya, mungkin berkaitan dengan madzhabnya, bidang kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompoknya.
Dalam kasus ini bisa kita lihat contoh penafsiran yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyari (pengarang Tafsir Al-Kasyaf), ketika ia menafsirkan kata: Nadhirah dalam surah al-Qiyamah, 75:23. Ia tafsirkan kata nadhirah dalam ayat: إلى ربها ناظرة dengan pandangannya yang selaras dengan doktrin madzhabnya (Mu'tazilah) dan keahlian bahasanya. Kata Nadhirah yang secara umum diterjemahkan dengan melihat, ia tafsirkan dengan peryataan: "Memandang di sini bukan berarti melihat; dan melihat bukanlah salah satu maksud dari kata nadhirah tersebut. Nadhar memiliki arti yang banyak, antara lain: menggerakkan biji mata ke arah satu benda untuk melihatnya, menunggu, simpati dan berbaik hati dan berpikir atau merenung. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa kata nadhar di dalam ayat tersebut lebih tepat diartikan dengan menunggu, karena kita tidak mungkin melihat Allah.
Selain itu, jika pintu tafsir bi al-ra'yi ini dibuka, maka al-Quran akan kehilangan jati dirinya, sebab setiap orang akan menafsirkannya semaunya dan menerapkan al-Quran atas berbagai aqidah yang menyimpang.
Dengan demikian, tafsir bi al-ra'yi ialah penafsiran yang ada kalanya menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan pemahaman pemilik bahasa, serta menerapkan al-Quran atas pandangan-pandangan yang sesat, kemauan-kemauan pribadi dan kelompok, sesuatu yang dapat mengakibatkan penyimpangan makna al-Quran.
Menurut Zainul Hasan Rifa'i, masuknya israiliyyat dalam penafsiran al-Qur'an terutama yang bertentangan dengan prinsif asasinya banyak menimbulkan pengaruh negatif pada Islam. Diantaranya adalah merusak akidah umat Islam, seperti yang dikemukakan oleh Mudatil ataupun Muhammad dengan Zainab binti Jahsyi yang keduanya mendiskriditkan pribadi Nabi yang ma'shum dan menggambarkan Nabi sebagai pemburu nafsu seksual. Hal ini membawa kesan bahwa Islam adalah agama khurafat, takhayul dan menyesatkan. Hal ini tampak pada riwayat al-Qurthubi ketika menafsirkan firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ surat al-Mukmin: ayat 7 , yaitu :
"para malaikat memikul arsy 'dan yang disekitarnya bertasbih memuji Tuhan..."












Daftar Pustaka
Al-Qur‘an
Kholid Abdurrahman, Ushul Tafsir wa Qowaiduhu, (Bairut: Dar Nafais, 1968).
Rifa'i, Zainul Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an, dalam Jurnal Hikmah, No. 13, Edisi Zulqaidah, 1414 Muharrah 1415.

Muhammad Husain adz-Zahabi, op. cit., h. 27-28, 32-33.
Rosihan Anwar, op. cit., h. 42.
Muhammad Nazib ar-Rifa'i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta, Gema Insani, 2000), 4:40.

Didin Saefudin Bukhori,  Pedoman Memahami kandungan Al-Qur’an, (Ttp: ttp, tth).

Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2013), 8:440-441.







[1] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran. (Bandung, Pustaka setia, 2009). Hal, 196.
[2][2] Ibid.,196
[3] Didin Saefudin Bukhori, Pedoman Memahami kandungan Al-Qur’an, (Ttp: ttp, tth). hal:190
[4] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2013), 8:440-441.
[5] Kholid Abdurrahman, Ushul Tafsir wa Qowaiduhu, (Bairut: Dar Nafais, 1968), 262.
[6] Zainul Hasan Rifa'i, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an, dalam
Jurnal Hikmah, No. 13, Edisi Zulqaidah, 1414- Muharrah 1415, h. 12.
[7] Ibid., 12
[8] Muhammad Husin adz-Zahabi, op. cit., h. 27-28, 32-33.
[9] Rosihan Anwar, op. cit., h. 42.
[10] Muhammad Nazib ar-Rifa'i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta, Gema
Insani, 2000), 4:40.
[11] Rosihan Anwar, op. cit., h. 83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar