Rabu, 13 Mei 2015

Penelitian ayat-ayat tentang birrul wallida'in

I.      Latar Belakang Masalah
            Pendidikan karakter merupakan sebuah pendidikan yang sangat di galakan baru-baru ini baik di dalam sebuah lembaga pesantren maupun lembaga pendidikan luar pesantren, hal ini di karenakan budi pekerti yang baik yang berkembang di Indonesia. Lambat laun semakin terkikis dengan adanya perkembangan kemajuan zaman baik dalam bidak teknologi, dengan adanya alat-alat elektronik dan dengan masuknya budaya-budaya yang kurang baik dari Negara tetangga.
Al Qur’an merupakan kitab yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ turunkan kepada Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam dengan perantaraan malaikat Jibril merupakan suatu petunjuk bagi semua umat manusia, baik petunjuk dalam masalah urusan dunia, urusan agama, dan masalah urusan bergaul dalam kehidupan sehari-hari, baik dengan keluarga, orang tua, dan masyarakat luas. Oleh karenanya dalam ayat-ayat al-Qur’anpun terdapat sebuah nilai pendidikan karakter yang perlu di pelajari oleh seluruh manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Dalam makalah ini akan di jelaskan tentang kandungan sebuah ayat alqur’an tentang perintah berbuat baik kepada orang tua dan larangan berbicara kasar terhadap keduanya.
A.    Rumusan Masalah
1.      Apa itu Birrul Wallida’in...???
2.      Bagaimana cara kita Birrul Wallida’in...???
3.      Pentingkah bagi kehidupan bermasyarakat...???
4.      Apa hukum birrul walida’in...???
B.     Tujuan Penelitian
1.      Menjelaskan secara lengkap tentang tafsiran ayat-ayat yang berhubungan denagn birrul walida’in dalam perspektif al-Qur’an.
2.      Menjelaskan secara tersusun tentang birrul walida’in, pentingnya bagi kehidupan manusia sehingga terciptanya keseimbangan sosial.
3.      Menjelaskan tentang  pengolahan sikap terhadap kehidupan bermasyarakat.
C.     Signifikansi Penelitian
            Secara ilmiah penelitian berguna untuk, menambah wawasan kita dan referensi tentang pentingnya memiliki pradigma dan kesadaran birrul walida’in, untuk menjadikan acuan normatif bagi masyarakat dan kehidupan pribadi, bahwasanya masyarakat muslim meyakini bahwa al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber.
II.   Pengertian Birrul Walida’in
A.    Pengertian
            Birrul Walidain berasal dari dua kata, birru (yang artinya kebenaran)[1] dan al-walidain (ayah dan ibu).[2] Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek. Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.[3]
B.     Ayat-Ayat tentang Birrul Walida’in
1.      Q.S. Al-Baqarah 83, 180, dan 215.
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لا تَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلا قَلِيلا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israel (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Dari ayat atas ini Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mewajibkan kita untuk berwasiat apabila kedua orangtua atau kerabat kita meninggal dengan meninngalkan hartanya.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
Ayat ini mengisyaratkan kita supaya kita menafafkahi kedua orantua, apabila beliau berdua tidak lagi mampu mencari nafkah.
Dan asbabul nuzul ayat 215 ini ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij bahwa ayat ini turun ketika sebagian orang-orang mukmin bertanya kepada Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Tentang kepada siapa mereka memberikan sedekah mereka. Maka turunlah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infaqkan. Katakanlah, harta apa saja yang kamu infakkan,...”
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Abu Hayyan bahwa Amr bin Jamuh bertanya kepada Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam “Apa yang kami sedekahkan dari harta kami dan kepada siapa kami memberikanya?” maka turunlah firman Allah di atas.[4] (Lubâbun Nuqûl: 30).[5]
2.      Q.S an-Nisa’ 36
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Intisari dari ayat ini ialah kita diperintahkan berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama sang Ibu.




3.      Q.S an-Na’am 151.
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).
Adapun pesan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ melalui Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaihi wa sallam ialah: Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam diperintahkan untuk menerangkan hal-hal yang ditetapkan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kepada kaumnya, yaitu agar umatnya tidak mempersekutukan Allah dengan hal-hal selai-Nya, berbuat baik dan menghormati kedua orang tua, berhenti membunuh anak-anak hanya takut karena kekurangan harta benda dan kelaparan karna Allah yang menciptakan makhluk-Nya, tidak mendekati perbuatan keji, baik yang nampak secara nyata maupun yang tidak tampak, baik secara langsung maupun tidak secara langsung, tidak melakukan pembunuhan terhadap hamba-hamba Allah, kecuali dengan jalan yang benar, yaitu jalan hukum yang diridhai Allah.[6]
4.      Q.S Isra’ 23-24.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Dari kedua ayat tersebut Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan kita agar kita memberikan penjagaan dan pemeliharaan di hari tua keduanya dan mengucapkan kepada keduanya perkataan yang mulia.
5.      Q.S Al Ahkaf: 15.
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Dari ayat diatas birrul walidain menjadi sebab seseorang akan disayang anak-anaknya dan mendapat bakti mereka. Karena, balasan bagi seseorang sesuai dengan jenis amalnya. Siapa yang berbakti ke orang tua, maka anak-anaknya kelak akan berbakti kepadanya sebagai balasan atas baktinya tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Al-Rahman: 60).
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
بَرُّوا آبَاءَكُمْ تَبَرَّكُمْ أَبْنَاؤُكُمْ
“Berbuat baiklah ke orang tua–orang tua kalian, niscaya anak-anakmu akan berbuat baik kepadamu.” (HR. Al-Thabrani, Al-Hakim, dan Abul Qasim dalam Fawaidnya. Syaikh Al-Albani mendhaifkannya).
            Q.S Al Ankabut: 8.
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Dari kedua ayat diatas Allah Subhânahu wa Ta’âlâ meberikan wasiat kepada kita agar kita selalu menjaga kedua orangtua kita terutama ibu yang selama sembilan bulan mengandung kita.
Asbabul nuzul ayat ini ialah hadis yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Muslim, dan lainya dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Ummu Sa’ad (mendengar putranya telah masuk Islam, ia tidak rela jika anaknya setelah mengikuti agama Muhammad menjadi tidak lagi berbakti kepadanya). Ia berkata, “Bukankah Allah menyuruh untuk berbakti. Demi Allah aku tidak makan dan tidak minum sehingga aku mati atau engkau kembali mengikuti Muhammad!” lalu turunlah ayat ini.(Lubâbun Nuqûl: 151)[7].[8]


6.      Q.S Luqman: 14.
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun(selambat lambatnya menyapih ialah umur dua tahun).[9] Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Ayat ini meisyaratkan kita supaya kita bersyukur kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan kepada kedua orangtua yang mana telah mengandung selama sembilan bulan dan menyepih selama dua tahun.
7.      Q.S Ibrahim: 41.
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)".
Ayat diatas ini merupakan do’a Nabi Ibrahim yang dipanjatkan kepada Allah agar anak cucunya mendapatkan kesejahteraan dikota Mekah, dijadikan Mekah dan Tanah Haram sekitarnya menjadi tempat tujuan berkumpulnya umat manusia yang beriman untuk beribadah, dilimpahkan kepada penduduknya buah-buahan, makanan serta kemakmuran yang berlimpah, anak cucunya dijauhkan dari kemusyrikan senantiasa diberikan hidayah untuk mendirikan sholat dan agar dosa dan kesalahan dirinya serta kedua orang tuanya dan orang-orang yang beriman sesudahnya mendapat ampunan Allah kelak pada hari pembalasan.
     Q.S Nuh: 28.
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلا تَبَارًا
Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang lalim itu selain kebinasaan".
Kedua ayat tersebut nengisyaratkan kita untuk mendo’akan orangtua,  mendo’akan kedua orangtua adalah tradisi para Anbiyah Alayhi al-Salâm. Nabi Ibrahim Alayhi al-Salâm dalam do’anya mengucapkan, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Begitu juga Nabi Nuh as, dalam lantunan do’anya, beliau berujar, “. Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku..” (Qs. Nuh: 28). Dan dari Q.S al-Isra’ 24 juga diterangkan tentang dianjurkanya mendo’akan kedua orangtua.
C.    Keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan berbakti kepadanya
·                       أَحَبُّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللهِ بَعْدَ الصَّلاَة   (amal yang paling dicintai disisi Allah Subhânahu wa Ta’âlâ selepas Solat).
(Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdir Rahman Abdillah Ibni Mas’ud Radiyallahuanhu “Aku pernah bertanya kepada Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam amal apa yang paling di cintai disisi Allah ?” Rasulullah bersabda “Solat tepat pada waktunya”. Kemudian aku tanya lagi “Apa lagi selain itu ?” bersabda Rasulullah “Berbakti kepada kedua orang tua” Aku tanya lagi “ Apa lagi ?”. Jawab Rasulullah “Jihad dijalan Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini tidak berarti jika melakukan Solat tepat pada waktu dan jihad fisabilillah menafikan kewajipan birrul walidain kerana Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Pernah menolak permohonan salah seorang sahabat untuk jihad fisabilillah kerana masalah hubungan dengan kedua ibu bapanya. Lantas Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Memerintahkan beliau segera pulang menyelesaikan permasalahan tersebut dahulu.
·                       مُسْتَجَابُ الدَّعْوَة  ِ  (doa mereka mustajab)
Di antara buktinya adalah kisah ulama besar hadits yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin, Imam Bukhari rahimahullah. Beliau buta sewaktu kecil lalu ibunya seringkali berdoa agar Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memulihkan penglihatan beliau. Suatu malam di dalam mimpi, ibunya melihat Nabi, al-Khalil, Ibrahim ‘alaihis salam yang berkata kepadanya, ‘Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu karena begitu banyaknya kamu berdoa.”

Pada pagi harinya, ia melihat anaknya dan ternyata benar, Allah telah mengembalikan penglihatannya.[10] Hal di atas menunjukkan benarnya sabda Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam akan manjurnya do’a orang tua pada anaknya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi).[11]
·                       سَبَبُ نُزُوْلِ الرَّحْمَةِ (sebab turunnya rahmat)     
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin rezkinya diperluas, dan agar usianya diperpanjang (dipenuhi berkah), hendaknya ia menjaga tali silaturahim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
·         Bukan berarti membalas budi karenana jasa mereka tidak mungkin terbalas.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Seorang anak tidak akan dapat membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai hamba, lalu dia merdekakan.” (HR. Muslim).
·         Al ummu hiya ahaqu suhbah (prioritas untuk mendapat perlakuan yang lebih dekat dari kedua orang tua ialah ibu).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu ia berkata, “Datang seseorang kepada Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. dan berkata, ’Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ? Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. menjawab, ’Ibumu! Orang tersebut kembali bertanya, ’Kemudian siapa lagi ? Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. menjawab, ’Ibumu! Ia bertanya lagi, ’Kemudian siapa lagi?’ Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. menjawab, ’Ibumu!, Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi, ’Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. menjawab, Bapakmu ” (HR. Bukhari dan Muslim).
·         Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Syurga.
Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah tua, namun tidak dapat membuatnya masuk Surga.” (HR. Muslim).
·         Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar.
Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. bersabda, “Mahukah kalian kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mahu, wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..” Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (HR Bukhari dan Muslim).

D.    Hukum Birrul Walidain
            Para Ulama’ Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik (berbakti) pada kedua orang tua hukumnya adalah wajib selain terhadap perkara yang haram.
Syari’at Islam meletakkan kewajipan birrul walidain menempati ranking ke-dua setelah beribadah kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Dengan mengesakan-Nya. Dalil-dalil Shahih dan Sharih (jelas) banyak sekali, diantaranya terdapat tiga ayat yang menunjukkan kewajipan yag khusus untuk berbuat baik kepada kedua orang tua:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apa jua dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapa“. (QS. An Nisa’ : 36).
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah perintahkan, supaya engkau tidak menyembah melainkan kepadaNya semata-mata dan hendaklah engkau berbuat baik kepada ibu bapa. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sekali, sampai kepada umur tua dalam jagaan dan peliharaanmu, maka janganlah engkau berkata kepada mereka (sebarang perkataan kasar) sekalipun perkataan “Ha” dan janganlah engkau menengking menyergah mereka, tetapi katakanlah kepada mereka perkataan yang mulia (yang bersopan santun).“. (QS. Al Isra’: 23).

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga akhir menyusunya) dan tempoh menceraikan susunya ialah dalam masa dua tahun; (dengan yang demikian) bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua ibubapamu; dan (ingatlah), kepada Akulah jua tempat kembali (untuk menerima balasan).” (QS. Luqman : 14).
Berkata Ibnu Abbas mudah-mudahan Allah meridhoinya, “Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. “bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua ibubapamu“, Berkata beliau. “Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua ibubapanya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.”[12]
Berkaitan dengan ini, Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. bersabda: “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua” (HR. Tirmidzi).[13]
Al Mughirah bin Syu’bah (mudah-mudahan Allah meridhainya) meriwayatkan daripada i Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mahu memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta“. (HR Muslim).

Daftar Pustaka
        Al Qur’an
 Ilyas, Yunahar, “Kuliah Akhlak”, (Yogyakarta: Lembaga pengkajian dan     pengalaman Islam, 2006), hlm. 147.

Munawir, A.W, “Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap”, (Yogyakarta: Pustaka progressif, 1984), hal. 74.
Suyuthi(As), Jalaluddin,  Asbabul Nuzul,  (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 87-88.
Shahih Muslim (1748) dalam al-Ijtihad was siyar dan at-Tirmidzi (3189) dalam at-Tafsir.












[1] A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, (Yogyakarta: Pustaka progressif, 1984), hal. 74.
[2] Ibid.., 1580
[3] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga pengkajian dan pengalaman Islam, 2006), hlm. 147.
[4] Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabul Nuzul, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 87-88.
[5] Hijaz Terjemah Tafsir Perkata
[6] Hijaz Terjemah Tafsir Perkata
[7] Shahih Muslim (1748) dalam al-Ijtihad was siyar dan at-Tirmidzi (3189) dalam at-Tafsir. Disebutkan oleh al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan al-Wahidi (hlm.285) dalam ayat yang sama.
[8]Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabul Nuzul, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 428-429.
[9] Hijaz Terjemah Tafsir Perkata
[10] Asy-Syifa` Ba’da Al-Maradhkarya Ibrahim bin ‘Abdullah al-Hazimy sebagai yang dinukilnya dari kitab Hadyu as-Saary Fi Muqaddimah Shahih al-Buukhary karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany.
[11] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1797.
[12] Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40.
[13] Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar