Senin, 11 Mei 2015

Corak atau Karakteristik Tafsir Adabi al-Ijtima’i



I.      Latar Belakang
            Pada abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, Bahkan terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Dan pada masa itulah muncul seorang pemimpin yang mengumandangkan seruan untuk membangkitkan umat Islam kembali, yaitu Jamaluddin al-Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan. Maka dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian dari segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalam balaghah, bahasa dan lain-lain. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan kabar gembira. Oleh karena itu tafsir yang bermanfaat bagi umat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk  mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Corak ataupun model penafsiran tersebut dikenal dengan nama al-Laun al-Adaby al-Ijtima’i. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Dalam kajian ini nampaknya periodisasi yang dilakukan oleh Hasbi Ah-Shiddieqy, M. Quraish Shihab dan Nashrudin Baidan yang memiliki kesamaan yakni era modern dan kontemporer itu adalah sama. Perkembangan tafsir modern dan kontemporer dengan metode tahlili dari sisi substansi tafsir, baik menyangkut isi, metode atau corak berdasar karakter perkembangan tafsir tersebut. Maka menurut aliran atau corak tafsir yang berkembang itu yang dapat kita klasifikasikan menjadi dua bagian yaitu: aliran/corak tafsir klasik. Dan aliran/corak tafsir Modern/Kontemporer (al-Adabi al-Ijtima’i).
Dari latar belakang tersebut, dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai batasan pembahasan dalam makalah ini, diantaranya adalah:
1.      Apa pengertian dari corak tafsir adabi ijtima’i?
2.      Bagaimana latar belakang munculnya corak penafsiran tersebut?
3.      Apa saja yang menjadi karakteristik dari corak penafsiran tersebut?
4.      Siapa sajakah tokoh yang menggunakan corak penafsiran tersebut dalam penafsirannya?
5.      Apa kelebihan dan kekurangan dari corak penafsiran tersebut?
6.      Bagaimana contoh penafsiran dengan menggunakan corak penafsiran tersebut?
II. Corak Tafsir Adabi al-Ijtima’i
    A.    Pengertian Corak Tafsir Adabi Ijtima’i
           Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak  Al-adabi wa al-ijtima’i itu tersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adabi merupakan bentuk kata yang diambil dari fi’il madhi aduba, yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’i yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.[1]
Jadi Corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan. Dalam artian bahwa suatu corak penafsiran yang bertujuan menjelasankan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian leksikal atau redaksinya. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia serta dapat memberikan pencerahan dan rangsangan intelektual.
Corak Adabi Ijtima’i sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an.[2]
    B.     Latar Belakang Munculnya Corak Tafsir Adabi Ijtima’i
           Mengenai latar belakang munculnya corak tafsir adabi ijtimai pastilah tidak lepas dari tokoh pembaharu di Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani.  Hal ini wajar kiranya mengingat bahwa beliau adalah tokoh Islam yang dianggap pertama kali bersikap tegas terhadap tantangan modernitas, beliau menyatakan kembali kepada tradisi Islam dengan cara yang sesuai untuk menjawab berbagai problem penting yang muncul akibat “Barat” dengan klaim modernitasnya yang semakin mengusik “Timur Tengah” dengan tradisi Islam tradisionalnya. Tema besar yang diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah bahwa Islam merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal “Barat”. Pemikiran lain yang dimunculkan oleh Jamaluddin al-Afgani adalah tentang adanya persamaan antara pria dan wanita. Wanita dan pria sama dalam pandangannya, keduanya mempunyai akal untuk berpikir.
Semangat pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang berangkat dari respon sosial politik itu diikuti oleh para muridnya. Muhammad Abduh adalah salah satu murid al-Afgani yang sejalan dengan pemikirannya dalam mengadakan reformasi dengan cara menyadarkan umat akan pentingnya mengusir penjajah, serta mengejar ketertinggalan-ketertinggalan dunia Islam terhadap dunia barat. Gerakan nyata dari reformasi keagamaan dan politikal-Afgani dan Abduh adalah majalah al-Urwah al-Wusqa yang mampu memberikan kesadaran kolektif terhadap negara-negara Arab dan Islam lainnya untuk bangkit menuju kemajuan dalam arti luas.

Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan mengikuti jejak mereka, termasuk Rasyid Ridha yang telah menyaksikan penderitaan umat dan makin merosotnya keadaan sosial keagamaan. Sehingga dari kondisi sosial politik Timur Tengah tersebut, dirumuskanlah Tafsir al-Manar  oleh Muhammad Abduh beserta Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun Nasution dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi sebagian umat Islam pada saat dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah kondisi jumud, statis dan tidak berkembang karena tradisi Islam saat itu diwarnai oleh animisme dan masyarakatnya enggan memakai akal”. Kondisi masyarakat yang seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan Mesir yang seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi bodoh.[3]
Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak pembaharunya adalah memperbaiki sistem pendidikan sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya putra-putri Mesir yang terdidik dan terpelajar, baik dari pendidikan lokal maupun pendidikan Barat, maka mulailah ada gelombang-gelombang reformasi dan pembaharuan sebagaimana yang diharapkan oleh Abduh.
Dalam kondisi politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah respon politik yang belum pernah terjadi pada zaman mufassir sebelumnya lahir. Majalah al-Manar yang nantinya menjadi tafsir al-Manar ditulis dengan corak baru dalam tafsir sebagai usaha menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir yang dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha itu kemudian dikenal corak adabi ijtima’i.
Ada juga yang melatarbelakangi munculnya tafsir Adabi Ijtima’i sebagai akibat dari ketidakpuasan para pengkaji tafsir dan penafsiran yang selama ini berlaku. Penafsiran al-Qur’an yang ada menurut mereka hanya didominasi oleh tafsir-tafsir yang berorientasi pada naḫwu (gramatikal), bahasa dan perbedaan-perbedaan mazhab, baik dalan bidang ilmu kalam, fikih dan lain sebagainya. Jarang sekali dijumpai di al-Qur’an yang secara khusus menyentuh inti al-Qur’an, sasaran dan tujuan akhirnya sebagai hidayah dan petunjuk.[4][5]
    C.    Karakteristik Tafsir Adabi Ijtima’i
           Adapun ciri dari corak adabi ijtima’i adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.[6] Dalam artian lain bahwa memahami ayat dari segi balaghahnya untuk kemudian difahami sesuai dengan makna yang dimaksud di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang mudah difahami dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan mudah difahami oleh umat Islam dari kalangan manapun (bukan hanya ulama) untuk dijadikan sebagai huda li al-nas, sebagaimana yang merupakan fungsi utama dari al-Qur’an.
    D.    Tokoh-tokoh
           Mengenai tokoh-tokoh yang menggunakan corak penafsiran adabi ijtima’i dalam penafsirannya, maka dapat diketahui diantaranya adalah Muhammad abduh dalam beberapa kitab tafsirnya, salah satunya adalah Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar, Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir al-Maraghi, dan sebagainya. Namun dalam makalah ini, akan dibahas mengenai beberapa tokoh yang menjadi pelopor dari adanya corak penafsiran ini, yakni sebagai berikut:
    1.      Biografi Syaikh Muhammad Abduh
            Syaikh Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Al-Buhairah, mesir pada 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[7] Muhammad Abduh hidup di dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya di tugaskan untuk menuntut ilmu pegetahuan. Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga ia sangat di cintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain. Baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk dan juga dikawinkannya Muhammad Abduh dalam usia yang sangat muda pada tahun 1865, pada waktu itu ia baru berusia 16 tahun.
a.       Pendidikan Muhammad Abduh
Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 km dari kairo) untuk mempelajari Tajwid Al-Qur’an. Namun merasakan sangat menjengkelkan, sehingga setelah dua tahun (tahun 1864) di sana, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali kedesanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum kerabatnya.[8] Muhammad Abduh lalu pergi ke desa Syibral Khit, di desa inilah banyak paman dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan menganut Tasawuf Al-Syaidziliah. Pamannya berhasil mengubah pandangan Muhammad Abduh yang semula seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seseorang yang menggemarinya.
Dari Thantha, Muhammad Abduh menunju ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Di perguruan inilah Muhammad Abduh mengenal dengan sekian banyak dengan dosen yang dikaguminya, antara lain[9]: Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain sebagainya, padahal kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di Al-Azhar pada waktu itu dan juga Muhammad Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.
b.      Karya-karya dalam bidang tafsir
Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang tafsir terbilang sedikit jika diukur dengan kemampuan tokoh ini. Karya-karya tersebut adalah: Tafsir Juz’ ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan para guru mengaji di Marokko pada tahun 1321 H, Tafsir Wal-‘Ashr, Tafsir ayat-ayat surah An-Nisa’ : 77 dan 78, Al-Haj : 52, 53, dan 54, dan Al-Ahzab : 3, Tafsir Al-Qur’an bermula dari Al-Fatihah sampai dengan ayat 129 dari surah An-Nisa’ yang disampaikannya di Masjid Al-Azhar, kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan Muharram 1323. Walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, namun ia dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir menunjukkan artikel yang dibuatnya itu kepada Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.[10]
c.       Ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh
    1). Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
    2). Ayat al-Qur’an bersifat umum.
    3). Ayat al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum.
    4). Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.[11]
    2.      Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
          Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang keturunan bangsawan arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
Gelar “Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua garis keturunan tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan “Syaikh”.[12]
Dalam perjalanan pulang dari kota Suez di Mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud Al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia), mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita geger otak. Selama dalam perjalanan, beliau hanya membaca al-Qur’an, walau beliau telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman, pada 23 Jumadil ‘Ula 1354/22 Agustus 1935.
a.       Pendidikan Muhammad Rasyid Ridha
Di samping orangtuanya sendiri, beliau belajar juga ke sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu dinamai al-kuttab, disana ia beliau diajarkan membaca al-Qur’an, menulis dan dasar-dasar menghitung.
Setelah tamat beliau dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli (Lebanon) untuk belajar di madrasah ibtidaiyyah yang mengajarkan nahwu, shorof, aqidah, fiqih, berhitung, dan ilmu bumi. Bahasa yang digunakan daerah tersebut adalah bahasa Turki, mengingat Lebanaon itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Ustmaniyyah.
Pada tahun 1299 H/1822 M, beliau pindah ke sekolah Islam negeri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantar, di samping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Pada tahun 1314 H/1897 M, Syaikh al-Jisr memberikan ijazah kepada beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Selain belajar pada  Syaikh Husain al-Jisr beliau juga belajar pada guru yang lain, diantaranya: Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad Al-Qawijiy, Syaikh Abdul Gani ar-Rafi, Al-Ustadz Muhammad Al-Husaini, dan Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi.[13]
b.       Pertemuan Muhammad Rasyid Ridha dengan Muhammad Abduh
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk kaum pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media massa, Muhammad Abduh memimpin pula gerakan pembaruan Mesir.
Majalah al-urwah al-wutsqo yang di terbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam, ikut juga dibaca oleh Muhammad Rasyid Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya, sehingga memberi pengaruh pada sikap yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh semangat.
Pada awalnya usaha-usaha Rasyid Ridha hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah dan syariah masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.
Pada tahun 1315 H/18 januari 1898  Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang memuat masalah-masalah sosial, budaya, dan agama. Pada mulanya Muhammad Abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang menarik perhatian umum. Namun Muhammad Rasyid Ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya Muhammad Abduh merestui dan memilih al-Manar dari sekian banyak nama yang di usulkan oleh Rasyid Ridha. Al-Manar terbit pertama kali pada 22 syawal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau negara-negara Arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke Eropa bahkan ke Indonesia.[14]
c.       Karya-karya ilmiah Muhammad Rasyid Ridha
           Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-Rafi’iyah, Al-Azhar dan al-Manar Dan masih banyak lagi yang lainnya.
d.      Ciri-ciri Pokok Tafsir Rasyid Ridha
1). Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
2). Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3). Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem yang berkembang.
4). Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.
    E.     Kelebihan dan Kekurangan
           Sebagaimana corak-corak tafsir yang ada, corak tafsir adabi ijtima’i juga mempunyai kelebihan  dan kekurangan tersendiri. Adapun kelebihan dan kekurangan corak tafsir adabi ijtima’i bisa dirinci bahwa kelebihannya adalah  dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja (bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya. Sedangkan  sisi kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi mufassir tinggal  ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal). Sehingga bisa dipastikan bahwa penafsiran yang bercorak adabi ijtimai belum tentu sesuai dengan keadaan yang ada pada masyarakat lain.
    F.     Contoh Tafsir Adab iIjtima’i
           Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa tafsir-tafsir sebelumnya menitik beratkan hanya pada pemaknaan terhadap makna linguistik yang terdapat pada ayat, namun penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya mefokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz Amma oleh Muhammad Abduh dalam QS. Al-Fiil: 3-4.
“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-bondong”. Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan طيرا ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak. “yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيل berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.[15]
Di dalam tafsir tersebut, Abduh menjelaskan bahwa lafadh طيرا tersebut merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan bahwa lafadh بحجارة itu berasal dari tanah kering yang bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.[16]
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat sosial masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
Berbeda halnya dengan corak penafsiran lain yang dilakukan oleh beberapa ulama era klasik ataupun pertengahan. Sebut saja misalnya penafsiran dalam Tafsir al-Qurthubi dengan corak fiqhinya, yang hanya menafsirinya dengan memaknai ayat secara linguistik saja. Yakni hanya membahas mengenai segi kebalaghannnya saja dengan mengkaitkannya pada riwayat-riwayat dari beberapa sahabat. Tanpa memaknainya dengan mengkaitkan kehidupan sosial atau pengetahuan yang ada ketika itu dalam masyarakat. Beliau lebih mencantumkan mengenai perbedaan dari beberapa sahabat dengan pengertian bahwa lafadh طيرا berarti burung yang lebih mirip dengan kelelawar yang bewarna merah dan hitam, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah. Disebutkan juga bahwa lafadh tersebut bermakna burung khudlur(riwayat Said bin Jubair), dan sebagainya. Sedangkan mengenai lafadh بحجارة dalam tafsir tersebut ditafsiri dengan batu yang terbuat dari tanah liat, yang dibakar di atas api neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang berhak atasnya.[17]
Maka dapat disimpulkan dari contoh tersebut bahwa dalam corak adabi ijtima’i mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri dalam penafsirannya.Yakni bahwa corak tafsir tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial dan perkembangan pengetahuan yang berkembang pada masa modern.


II.          Kesimpulan
           Pengertian secara makna kebahasaan, istilah corak  Al-adabi wa al-ijtima’i itutersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adaby merupakan bentuk kata yangdiambil dari fi’il madhi aduba, yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’iy yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahawa Corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan. Dalam artian bahwa suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian leksikal atau redaksinya. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia serta dapat memberikan pencerahan dan rangsangan intelektual.
Kemunculan corak adabi ijtimai ini tidaklah terlepas dari tokoh pembaharu Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan adanya keadaan sosial politik yang ada ketika itu, maka para pembaharu tersebut mencetuskan sebuah tafsir dengan bercorak adabi ijtimai. Dengan adanya corak penafsiran tersebut, diharapkannya dapat mengurangi kemundurannya umat Islam ketika itu, yakni keadaan umat Islam yang jumud, statis dan tidak berkembang.
Adapun ciri dari corak adabi ijtimai adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. dengan adanya corak tafsir tersebut, pastilah terdapat tokoh-tokoh yang menggunakan corak penafsiran adabi ijtimai dalam penafsirannya, maka dapat diketahui diantaranya adalah Muhammad abduh dalam beberapa kitab tafsirnya, salah satunya adalah Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar, Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir al-Maraghi, dan sebagainya
Kelebihan dari corak tafsir ini adalah  dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja (bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya. Sedangkan  sisi kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi mufassir tinggal  ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal).











DAFTAR PUSTAKA
 Abduh, Muhammad. Tafsir Juz Amma’ tej.  Muhammad Bagir. (Bandung: Mizan. 1999).
      Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha, Muhammad, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah. 1994).
Al-Qurthubi, Imam. Tafsir al-Qurthubi. Tej, Dudi Rosyadi dan Faturrahman. (Jakarta: Pustaka Azzam. 2009).
Husain al-Dzahabî, Muhammah, al-Tafsir wa al-Mufasirûn, 2: hlm. 407.
Muhammad Karman, Supiana. Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Islamika. 2002).
Nawawi, Rif’at Syauqi.  Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat. (Jakarta: Paramadina. 2002).
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2007).
Tim Forum Karya Ilmiyah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren), Al-QUR’AN KITA. Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Lirboyo-Kediri: Lirboyo Press, 2011).





[1] Supiana M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 316-317.
[2] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm. 108.
[3] Rasyid Ridha, Kitab Tafsir al-Manar, (Yogyakarta: Ttp,  2011,) hlm. 31-32.

[4] Muhammah Husain al-Dzahabî, al-Tafsir wa al-Mufasirûn, 2: hlm. 407.
[5] Tim Forum Karya Ilmiyah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren), Al-QUR’AN KITA. Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Lirboyo-Kediri: Lirboyo Press, 2011). Hal: 250.
[6] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 111.
[7] M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm.11
[8] Ibid., 12
[9] Ibid., 13
[10] Ibid., 21
[11] Ibid., 26
[12] Ibid., 59
[13] Ibid,. 60
[14] Ibid,. 63-64.
[15] Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej.  Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 320.
[16] Ibid,. 322.
[17] Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej.Dudi Rosyadi dan Faturrahman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 755-760.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar