I.
Latar Belakang
Pada abad ke-19 dunia Islam mengalami masa
suram, Bahkan terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara muslimin
yang sedang menghadapi pendudukan asing. Dan pada masa itulah muncul seorang
pemimpin yang mengumandangkan seruan untuk membangkitkan umat Islam kembali,
yaitu Jamaluddin al-Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti jejaknya ialah
Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan
pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern,
dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban,
kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan. Maka dari itulah lahirlah
kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian dari segi dan sisi-sisi
kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalam balaghah, bahasa dan lain-lain.
Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an
sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan
makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan kabar
gembira. Oleh karena itu tafsir yang bermanfaat bagi umat Islam adalah tafsir
yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi
ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Corak ataupun model penafsiran tersebut dikenal dengan nama al-Laun
al-Adaby al-Ijtima’i. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini
adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai
hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha.
Dalam kajian ini nampaknya periodisasi yang dilakukan oleh Hasbi
Ah-Shiddieqy, M. Quraish Shihab dan Nashrudin Baidan yang memiliki kesamaan
yakni era modern dan kontemporer itu adalah sama. Perkembangan tafsir modern
dan kontemporer dengan metode tahlili dari sisi substansi tafsir, baik
menyangkut isi, metode atau corak berdasar karakter perkembangan tafsir
tersebut. Maka menurut aliran atau corak tafsir yang berkembang itu yang dapat
kita klasifikasikan menjadi dua bagian yaitu: aliran/corak tafsir klasik. Dan
aliran/corak tafsir Modern/Kontemporer (al-Adabi al-Ijtima’i).
Dari latar belakang tersebut, dapat diambil beberapa rumusan
masalah sebagai batasan pembahasan dalam makalah ini, diantaranya adalah:
1.
Apa pengertian dari corak tafsir adabi ijtima’i?
2.
Bagaimana latar belakang munculnya corak penafsiran tersebut?
3.
Apa saja yang menjadi karakteristik dari corak penafsiran tersebut?
4.
Siapa sajakah tokoh yang menggunakan corak penafsiran tersebut
dalam penafsirannya?
5.
Apa kelebihan dan kekurangan dari corak penafsiran tersebut?
6.
Bagaimana contoh penafsiran dengan menggunakan corak penafsiran
tersebut?
II. Corak Tafsir
Adabi al-Ijtima’i
A. Pengertian Corak Tafsir Adabi Ijtima’i
Pengertian secara makna kebahasaan, istilah
corak Al-adabi wa al-ijtima’i itu
tersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adabi
merupakan bentuk kata yang diambil dari fi’il madhi aduba, yang
mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’i
yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa
diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby
al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan
kemasyarakatan.[1]
Jadi Corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak
penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan. Dalam artian
bahwa suatu corak penafsiran yang bertujuan menjelasankan ayat al-Qur’an pada
segi-segi ketelitian leksikal atau redaksinya. Kemudian menyusun kandungan
ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama
turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia serta dapat memberikan
pencerahan dan rangsangan intelektual.
Corak Adabi Ijtima’i sebagai corak penafsiran yang menekankan
penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa
al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu
mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah
yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat
memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan
persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan
oleh al-Qur’an.[2]
B. Latar Belakang Munculnya Corak Tafsir
Adabi Ijtima’i
Mengenai
latar belakang munculnya corak tafsir adabi ijtimai pastilah tidak lepas
dari tokoh pembaharu di Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani. Hal ini wajar kiranya mengingat bahwa beliau
adalah tokoh Islam yang dianggap pertama kali bersikap tegas terhadap tantangan
modernitas, beliau menyatakan kembali kepada tradisi Islam dengan cara yang
sesuai untuk menjawab berbagai problem penting yang muncul akibat “Barat”
dengan klaim modernitasnya yang semakin mengusik “Timur Tengah” dengan tradisi
Islam tradisionalnya. Tema besar yang diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah
bahwa Islam merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal “Barat”.
Pemikiran lain yang dimunculkan oleh Jamaluddin al-Afgani adalah tentang adanya
persamaan antara pria dan wanita. Wanita dan pria sama dalam pandangannya,
keduanya mempunyai akal untuk berpikir.
Semangat pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang berangkat dari
respon sosial politik itu diikuti oleh para muridnya. Muhammad Abduh adalah
salah satu murid al-Afgani yang sejalan dengan pemikirannya dalam mengadakan
reformasi dengan cara menyadarkan umat akan pentingnya mengusir penjajah, serta
mengejar ketertinggalan-ketertinggalan dunia Islam terhadap dunia barat.
Gerakan nyata dari reformasi keagamaan dan politikal-Afgani dan Abduh adalah
majalah al-Urwah al-Wusqa yang mampu memberikan kesadaran kolektif
terhadap negara-negara Arab dan Islam lainnya untuk bangkit menuju kemajuan
dalam arti luas.
Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan mengikuti jejak
mereka, termasuk Rasyid Ridha yang telah menyaksikan penderitaan umat dan makin
merosotnya keadaan sosial keagamaan. Sehingga dari kondisi sosial politik Timur
Tengah tersebut, dirumuskanlah Tafsir al-Manar
oleh Muhammad Abduh beserta Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun Nasution
dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam
bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi
sebagian umat Islam pada saat dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah kondisi
jumud, statis dan tidak berkembang karena tradisi Islam saat itu diwarnai oleh
animisme dan masyarakatnya enggan memakai akal”. Kondisi masyarakat yang
seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan Mesir yang seolah sengaja membiarkan
rakyat menjadi bodoh.[3]
Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak pembaharunya adalah
memperbaiki sistem pendidikan sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya
putra-putri Mesir yang terdidik dan terpelajar, baik dari pendidikan lokal
maupun pendidikan Barat, maka mulailah ada gelombang-gelombang reformasi dan
pembaharuan sebagaimana yang diharapkan oleh Abduh.
Dalam kondisi politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah
respon politik yang belum pernah terjadi pada zaman mufassir sebelumnya lahir.
Majalah al-Manar yang nantinya menjadi tafsir al-Manar ditulis dengan corak
baru dalam tafsir sebagai usaha menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir yang
dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha itu kemudian dikenal corak adabi
ijtima’i.
Ada juga yang melatarbelakangi munculnya tafsir Adabi Ijtima’i
sebagai akibat dari ketidakpuasan para pengkaji tafsir dan penafsiran yang
selama ini berlaku. Penafsiran al-Qur’an yang ada menurut mereka hanya
didominasi oleh tafsir-tafsir yang berorientasi pada naḫwu (gramatikal),
bahasa dan perbedaan-perbedaan mazhab, baik dalan bidang ilmu kalam, fikih dan
lain sebagainya. Jarang sekali dijumpai di al-Qur’an yang secara khusus
menyentuh inti al-Qur’an, sasaran dan tujuan akhirnya sebagai hidayah dan
petunjuk.[4][5]
C. Karakteristik Tafsir Adabi Ijtima’i
Adapun
ciri dari corak adabi ijtima’i adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat
al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang
menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.[6]
Dalam artian lain bahwa memahami ayat dari segi balaghahnya untuk kemudian
difahami sesuai dengan makna yang dimaksud di dalamnya dengan menggunakan
bahasa yang mudah difahami dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan mudah difahami
oleh umat Islam dari kalangan manapun (bukan hanya ulama) untuk dijadikan
sebagai huda li al-nas, sebagaimana yang merupakan fungsi utama dari
al-Qur’an.
D. Tokoh-tokoh
Mengenai
tokoh-tokoh yang menggunakan corak penafsiran adabi ijtima’i dalam
penafsirannya, maka dapat diketahui diantaranya adalah Muhammad abduh dalam
beberapa kitab tafsirnya, salah satunya adalah Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar, Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam
tafsirnya Tafsir al-Maraghi, dan sebagainya. Namun dalam makalah ini, akan
dibahas mengenai beberapa tokoh yang menjadi pelopor dari adanya corak
penafsiran ini, yakni sebagai berikut:
1. Biografi Syaikh Muhammad Abduh
Syaikh
Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr di
kabupaten Al-Buhairah, mesir pada 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak
tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan.[7] Muhammad
Abduh hidup di dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Semua saudaranya
membantu ayahnya mengelola pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya
di tugaskan untuk menuntut ilmu pegetahuan. Pilihan ini mungkin hanya suatu
kebetulan atau mungkin juga ia sangat di cintai oleh ayah dan ibunya. Hal
tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh
Muhammad Abduh ke desa lain. Baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang
menjenguk dan juga dikawinkannya Muhammad Abduh dalam usia yang sangat muda pada
tahun 1865, pada waktu itu ia baru berusia 16 tahun.
a.
Pendidikan Muhammad Abduh
Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Thantha
(sekitar 80 km dari kairo) untuk mempelajari Tajwid Al-Qur’an. Namun merasakan sangat
menjengkelkan, sehingga setelah dua tahun (tahun 1864) di sana, Muhammad Abduh memutuskan
untuk kembali kedesanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum
kerabatnya.[8]
Muhammad Abduh lalu pergi ke desa Syibral Khit, di desa inilah banyak paman dari
pihak ayahnya yang bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy
Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan
menganut Tasawuf Al-Syaidziliah. Pamannya berhasil mengubah pandangan Muhammad
Abduh yang semula seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seseorang yang
menggemarinya.
Dari Thantha, Muhammad Abduh menunju ke Kairo untuk belajar di
Al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Di perguruan inilah Muhammad Abduh mengenal
dengan sekian banyak dengan dosen yang dikaguminya, antara lain[9]: Syaikh
Hasan Al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina,
logika karangan Aristoteles dan lain sebagainya, padahal kitab-kitab tersebut tidak
diajarkan di Al-Azhar pada waktu itu dan juga Muhammad Basyuni, seorang yang
banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran
bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.
b.
Karya-karya dalam bidang tafsir
Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang tafsir terbilang sedikit jika
diukur dengan kemampuan tokoh ini. Karya-karya tersebut adalah: Tafsir Juz’
‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan para guru mengaji di Marokko pada
tahun 1321 H, Tafsir Wal-‘Ashr, Tafsir ayat-ayat surah An-Nisa’ : 77 dan 78,
Al-Haj : 52, 53, dan 54, dan Al-Ahzab : 3, Tafsir Al-Qur’an bermula dari
Al-Fatihah sampai dengan ayat 129 dari surah An-Nisa’ yang disampaikannya di
Masjid Al-Azhar, kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan
Muharram 1323. Walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh
Muhammad Abduh, namun ia dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena muridnya
(Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir menunjukkan artikel yang
dibuatnya itu kepada Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan
satu atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.[10]
c.
Ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh
1). Memandang setiap
surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
2). Ayat al-Qur’an bersifat
umum.
3). Ayat al-Qur’an adalah
sumber aqidah dan hukum.
4). Penggunaan akal secara
luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.[11]
2. Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli,
Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang keturunan bangsawan
arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali
bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
Gelar “Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa
diberikan kepada semua garis keturunan tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh
lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai
ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan “Syaikh”.[12]
Dalam perjalanan pulang dari kota Suez di Mesir, setelah mengantar
pangeran Sa’ud Al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia), mobil yang
dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita geger otak. Selama dalam
perjalanan, beliau hanya membaca al-Qur’an, walau beliau telah sekian kali
muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang
menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman,
pada 23 Jumadil ‘Ula 1354/22 Agustus 1935.
a.
Pendidikan Muhammad Rasyid Ridha
Di samping orangtuanya sendiri, beliau belajar juga ke sekian
banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya
yang ketika itu dinamai al-kuttab, disana ia beliau diajarkan membaca
al-Qur’an, menulis dan dasar-dasar menghitung.
Setelah tamat beliau dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli (Lebanon)
untuk belajar di madrasah ibtidaiyyah yang mengajarkan nahwu, shorof, aqidah,
fiqih, berhitung, dan ilmu bumi. Bahasa yang digunakan daerah tersebut adalah
bahasa Turki, mengingat Lebanaon itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Ustmaniyyah.
Pada tahun 1299 H/1822 M, beliau pindah ke sekolah Islam negeri,
yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa arab sebagai bahasa
pengantar, di samping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini
didirikan dan dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain
al-Jisr. Pada tahun 1314 H/1897 M, Syaikh al-Jisr memberikan ijazah kepada
beliau dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Selain belajar
pada Syaikh Husain al-Jisr beliau juga
belajar pada guru yang lain, diantaranya: Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad
Al-Qawijiy, Syaikh Abdul Gani ar-Rafi, Al-Ustadz Muhammad Al-Husaini, dan
Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi.[13]
b.
Pertemuan Muhammad Rasyid
Ridha dengan Muhammad Abduh
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya,
baik melalui pengajian-pengajian untuk kaum pria dan wanita maupun
tulisan-tulisannya di media massa, Muhammad Abduh memimpin pula gerakan
pembaruan Mesir.
Majalah al-urwah al-wutsqo yang di terbitkan oleh Jamaluddin
al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam, ikut
juga dibaca oleh Muhammad Rasyid Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar
pada jiwanya, sehingga memberi pengaruh pada sikap yang berjiwa sufi ini
menjadi seorang pemuda yang penuh semangat.
Pada awalnya usaha-usaha Rasyid Ridha hanya terbatas pada usaha
perbaikan aqidah dan syariah masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari
kemewahan duniawi dengan melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut
ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin untuk
melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan
ilmu pengetahuan dan industri.
Pada tahun 1315 H/18 januari 1898
Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat
kabar yang memuat masalah-masalah sosial, budaya, dan agama. Pada mulanya Muhammad
Abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di mesir sudah cukup
banyak media massa, apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang menarik
perhatian umum. Namun Muhammad Rasyid Ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus
menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah penerbitan
itu. Akhirnya Muhammad Abduh merestui dan memilih al-Manar dari sekian banyak
nama yang di usulkan oleh Rasyid Ridha. Al-Manar terbit pertama kali pada 22
syawal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan
mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau negara-negara Arab sekitarnya
saja, tetapi sampai ke Eropa bahkan ke Indonesia.[14]
c.
Karya-karya ilmiah Muhammad Rasyid Ridha
Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat
Al-Dadiriyah wa Al-Rafi’iyah, Al-Azhar dan al-Manar Dan masih banyak lagi yang
lainnya.
d.
Ciri-ciri Pokok Tafsir Rasyid Ridha
1). Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan
hadis-hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam.
2). Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3). Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada
penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun
pemecahan problem-problem yang berkembang.
4). Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi,
serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.
E. Kelebihan dan Kekurangan
Sebagaimana
corak-corak tafsir yang ada, corak tafsir adabi ijtima’i juga mempunyai
kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Adapun kelebihan dan kekurangan corak tafsir adabi ijtima’i bisa dirinci
bahwa kelebihannya adalah dalam
menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus pada aspek balaghah yang
ada, namun juga mengkaitkan makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang
ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi perkembangan umat modern
yakni lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja
(bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak tafsir adabi ijtimai
ini menganalogikan dengan sesuatu berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap
oleh pembaca/pendengarnya. Sedangkan
sisi kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan
daerah kondisi mufassir tinggal
ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal). Sehingga bisa dipastikan
bahwa penafsiran yang bercorak adabi ijtimai belum tentu sesuai dengan
keadaan yang ada pada masyarakat lain.
F. Contoh Tafsir Adab iIjtima’i
Sebagaimana
yang telah kita ketahui, bahwa tafsir-tafsir sebelumnya menitik beratkan hanya
pada pemaknaan terhadap makna linguistik yang terdapat pada ayat, namun
penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya mefokuskan
pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek
atau persoalan yang muncul pada zaman sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi
dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat
berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat Islam), yakni
sebagai petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan antara
corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz Amma oleh
Muhammad Abduh dalam QS. Al-Fiil: 3-4.
“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang
berbondong-bondong”. Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya
yang masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud
dengan طيرا ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil
ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak. “yang melempari
mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيل berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti
tanah yang membatu.[15]
Di dalam tafsir tersebut, Abduh menjelaskan bahwa lafadh طيرا tersebut
merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu.
Dan bahwa lafadh بحجارة itu berasal dari tanah kering yang bercampur
dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki binatang tersebut.
Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu
masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang pada
akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.[16]
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih
bersifat sosial masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan
ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang
dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya
upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat.
Berbeda halnya dengan corak penafsiran lain yang dilakukan oleh
beberapa ulama era klasik ataupun pertengahan. Sebut saja misalnya penafsiran
dalam Tafsir al-Qurthubi dengan corak fiqhinya, yang hanya menafsirinya dengan
memaknai ayat secara linguistik saja. Yakni hanya membahas mengenai segi
kebalaghannnya saja dengan mengkaitkannya pada riwayat-riwayat dari beberapa
sahabat. Tanpa memaknainya dengan mengkaitkan kehidupan sosial atau pengetahuan
yang ada ketika itu dalam masyarakat. Beliau lebih mencantumkan mengenai
perbedaan dari beberapa sahabat dengan pengertian bahwa lafadh طيرا berarti burung yang lebih mirip dengan
kelelawar yang bewarna merah dan hitam, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah.
Disebutkan juga bahwa lafadh tersebut bermakna burung khudlur(riwayat Said bin
Jubair), dan sebagainya. Sedangkan mengenai lafadh بحجارة dalam tafsir tersebut ditafsiri dengan batu
yang terbuat dari tanah liat, yang dibakar di atas api neraka, dan pada
batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang berhak atasnya.[17]
Maka dapat disimpulkan dari contoh tersebut bahwa dalam corak adabi
ijtima’i mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri dalam
penafsirannya.Yakni bahwa corak tafsir tersebut berkaitan dengan kehidupan
sosial dan perkembangan pengetahuan yang berkembang pada masa modern.
II.
Kesimpulan
Pengertian secara
makna kebahasaan, istilah corak Al-adabi
wa al-ijtima’i itutersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata
al-adaby merupakan bentuk kata yangdiambil dari fi’il madhi aduba, yang
mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’iy
yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa
diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby
al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan
kemasyarakatan.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahawa Corak penafsiran al-Adabi
al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya
kemasyarakatan. Dalam artian bahwa suatu corak penafsiran yang menitik beratkan
penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian leksikal atau redaksinya.
Kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia serta dapat memberikan pencerahan dan rangsangan intelektual.
Kemunculan corak adabi ijtimai ini tidaklah terlepas dari tokoh
pembaharu Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Dengan adanya keadaan sosial politik yang ada ketika itu, maka para pembaharu
tersebut mencetuskan sebuah tafsir dengan bercorak adabi ijtimai. Dengan adanya
corak penafsiran tersebut, diharapkannya dapat mengurangi kemundurannya umat
Islam ketika itu, yakni keadaan umat Islam yang jumud, statis dan tidak
berkembang.
Adapun ciri dari corak adabi ijtimai adalah penonjolan ketelitian
redaksi ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan
redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. dengan adanya
corak tafsir tersebut, pastilah terdapat tokoh-tokoh yang menggunakan corak
penafsiran adabi ijtimai dalam penafsirannya, maka dapat diketahui diantaranya
adalah Muhammad abduh dalam beberapa kitab tafsirnya, salah satunya adalah
Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar, Ahmad
Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir al-Maraghi, dan sebagainya
Kelebihan dari corak tafsir ini adalah dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan
hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang
terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai
dengan kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit,
sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja (bukan hanya ulama saja). Dalam
tafsirannya, corak tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu
berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh
pembaca/pendengarnya. Sedangkan sisi
kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi
mufassir tinggal ketika itu (bisa
dikatakan bersifat lokal).
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Tafsir Juz Amma’ tej.
Muhammad Bagir. (Bandung: Mizan.
1999).
Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridha,
Muhammad, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah. 1994).
Al-Qurthubi,
Imam. Tafsir al-Qurthubi. Tej, Dudi Rosyadi dan Faturrahman. (Jakarta:
Pustaka Azzam. 2009).
Husain
al-Dzahabî, Muhammah, al-Tafsir wa al-Mufasirûn, 2: hlm. 407.
Muhammad
Karman, Supiana. Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Islamika. 2002).
Nawawi, Rif’at
Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad
Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat. (Jakarta: Paramadina. 2002).
Shihab, M.
Quraish. Membumikan al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2007).
Tim Forum Karya
Ilmiyah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren), Al-QUR’AN KITA. Studi Ilmu,
Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Lirboyo-Kediri: Lirboyo Press, 2011).
[4] Muhammah Husain al-Dzahabî, al-Tafsir wa al-Mufasirûn, 2: hlm.
407.
[5] Tim Forum Karya Ilmiyah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren),
Al-QUR’AN KITA. Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Lirboyo-Kediri:
Lirboyo Press, 2011). Hal: 250.
[6] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian
Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 111.
[7]
M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduh dan
M.Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm.11
[8] Ibid., 12
[9] Ibid., 13
[10] Ibid., 21
[11] Ibid., 26
[12] Ibid., 59
[13] Ibid,. 60
[14] Ibid,. 63-64.
[15] Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1999),
hlm. 320.
[16] Ibid,. 322.
[17] Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej.Dudi Rosyadi dan Faturrahman
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 755-760.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar