Sejarah Tafsir Abad Pertengahan
Oleh:
Muhammad Ibdaul Hasan Am Asroh
I.
Pendahuluan
Sejak Al-Qur'an diturunkan kepada Rasullah Salla Allah ‘Alaihi
wa sallam, Al-Qur'an selalu menjadi objek yang menarik. Disini juga
Al-Qur'an berperan sebagai petunjuk yang secara tidak langsung petunjuk dari
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber
pedoman maka terlebih dahulu harus memahami maksut dari ayat-ayat Al-Qur'an
tersebut. Oleh karna itu diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur'an
untuk memberi penjelasan mengenai maksudnya supaya dapat di pahami dan
diamalkan.[1]
Nabi sebagai pemberi penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an tidak
memberikan penjelasan secara menyeluruh dan rinci. Selanjutnya diteruskan oleh
sahabat-sahabat Nabi. Kemudia diteruskan oleh tabi'in.[2]
Untuk dapat memahami kandungan Al-Qur'an secara luas kita
mmbutuhkan sebuah kunci yaitu pemahaman penafsiran Al-Qur'an secara benar dan
tepat sesuai dengan peradapan dan perkembangan budaya manusia tetapi juga
memperhatikan kaidah-kaidah dalam menafsirkan.[3]
Kitab suci Al-Qur'an ini memiliki daya tarik yang tidak akan habis
untuk di pahami, di kaji dan di teliti secara akademis. Keberadaan Al-Qur'an
secara historis telah melahirkan ribuan karya. Beragam tafsir itu muncul sejak
Al-Qur'an itu diturunkan sampai sekarang. Sesuai dengan perkembangan zaman
banyak karya tafsir yang muncul mengunakan metode, corak mengikuti pengarang.
Sejarah dalam penafsiran mencatat bahwa pada periode pertama tafsir
belum di kodifikasikan secara mandiri. Tafsir pada masa ini masih kental dengan
dasar penafsiran dan bahasa menjadi perangkat analisanya.
Pada periode kedua berawal dari kodifikasi hadis secara resmi.
yakni pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) dimana ketika itu
penafsiran masih menjadi satu dengan penghimpunan hadis dan ditulis dengan
metode tafsir bil al mat'sur. Periode kodifikasi ini terjadi hingga
muncul kodifikasi tafsir secara terpisah dengan hadis yang menurut para mufassir
dimulai pada masa Al-Farra' (207 H)[4]
dengan karyanya ma'ani al-Qur'an.[5]
Pada periode ketiga terjadi pada masa tabi'in tabi'in pada masa
inilah pembukuan dilakukan secara khusus yang mana menurut para ulama' sejarah
di mulai pada Akhir masa bani Umayyah (41 H-132 H) dan awal masa bani Abbasiyah
(132-656H).
Setelah masa tabi’in pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami
kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadis-hadis Nabi. Dari
sebab itu bibit tafsir mulai terlihat walaupun belum terpisah dari hadis. Pada
masa ini tafsir masih mengunakan metode periwayatan dari hadis Nabi, sahabat
dan tabi’in. Setelah tabi’in-tabi’in melengkapinya dengan sanad muncul tafsir
Ibnu Jarîr Al-Tabarî (wafat 310 H). Seorang ulama’ yang melakukan terobosa
dengan menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat Al-Qur’an dan
menyelipkan pendapat ulama’-ulama’ ahli bahasa, madzab fiqh dan ulama’ ahli
kalam.[6]
Setelah berakhirnya abad ketiga ini muncul abat keemasan atau bisa
dikatakan abat pertengahan yang mana pada abad ini muncul banyak tafsir yang
tersusun secara sistematis dan banyak perbedaan juga mengenai metode dan corak
penyusunanya. Berangkat dari masalah ini, maka makalah ini akan mengkaji
mengenai sejarah perkembangan tafsir abad pertengahan, apa karakteristik tafsir
abad pertengahan serta tokoh-tokoh yang mempeloporinya.
II.
Sejarah Rasionalitas Tafsir Era Pertengahan
A.
Sejarah Tafsir Era Pertengahan
Perkembangan karya
tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad ke-3 sampai
abad ke-16 Hijriah. Periode ini ditandai dengan munculnya hasil penafsiran yang
lebih sistematis, terutama dengan terkodifikasinya banyak karya tafsir. Dalam
peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman
keemasan bagi ilmu pengetahuan.[7] Setelah
periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami
kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadis Nabi Salla Allah
‘Alaihi wa sallam. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari
penguasa yang berkuasa pada saat itu yaitu pada masa akhir dari dinasti Umayyah
dan awal dinasti Abbasiyyah.[8]
Secara garis besar tafsir Al Qur’an pada periode pertengahan ini
diklasifikasikan menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode I, pada zaman
akhir Bani Muawiyah dan permulaan zaman Abbasiyah. Periode ini pembukuan hadis menjadi
prioritas utama dengan mencakup berbagai bab. Tafsir hanya salah satu bab dari
sekian banyak bab yang dicakupinya. Pada masa ini tafsir hanya memuat tafsir
Al-Qur’an, surat demi surat, ayat demi ayat dari awal Al-Qur’an sampai akhir,
memang belum dipisahkan secara khusus dari bab-bab hadis.[9]
2. Periode II, telah dilakukan
pemisahan tafsir dari hadis dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku
tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut. Seperti
yang dilakukan oleh Ibnu Jarîr At Thabarî (310 H)(Jami’ al Bayan fi Ta’wilî
Al-Qur’an), Abu Bakar An Naisâbûrî(wafat 318 H), Ibnu Abî Ḫâtim(405 H), Al-Ḫâkim
(405 H) dan Abû Bakar bin Mardawaih (wafat 410 H) dengan mencantumkan sanad
masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’in tabi’in.
Terkadang juga disertai pen-tarjih-an terhadap pendapat pendapat yang
diriwayatkan dan melakukan istinbath sebuah hukum serta penjelasan
kedudukan i’rob-nya jika diperlukan sebagaimana dilakukan Ibnu Jarîr Al-Thabarî.[10]
3. Periode III, membukukan
tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama tanpa
menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahîh
dan yang dhaîf yang menyebabkan para mufassir berikutnya
mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran/ kesalahan dari tafsir tersebut.[11]
4. Periode IV, pembukuan
tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku terjemahan dari luar Islam. Sehingga
pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para
mufassirnya. Seperti tafsiranya Fakhruddin Ar-Rozi yang hanya memperhatikan filosof
saja dalam penafsiranya.[12]
5. Periode V, tafsir maudhui
yaitu tafsir dibukukan menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin
bidang keilmuan. Seperti yang ditulis oleh Ibn Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan
Fî Aqsami Al-Qur’an, Abû Ja’far An-Nahhas dengan Nasih wal Mansukh,
Al Wahidi dengan Asbab An-Nuzûl, dan Al Jasshash dengan Aḫkâm Al-Qur’ânnya.
[13]
Tafsir pada generasi ini masih menggunakan metode riwayat (naql
atau ma’tsur) dari hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam,
sahabat, maupun tabi’in, dan ulama-ulama setelahnya (tabi’ al-tabi’in) lengkap
dengan sanadnya. Tak terkecuali tafsir milik Al Thabari yang sering menyelipkan
pendapat-pendapat ulama (baik dalam masalah gramatika Bahasa Arab, mazhab fikih
ataupun aliran-aliran ilmu kalam), yang kemudian men-tarjih-nya
(mengunggulkan salah satu pendapat), menjelaskan tata bahasa, serta menggali
hukum dari ayat-ayat Al Qur’an. Selain riwayat dari Nabi Salla Allah ‘Alaihi
wa sallam, sahabat, tabiin, mereka juga mengutip tafsir dari kitab-kitab
generasi sebelumnya beserta sanad yang sampai kepada sang pengarang tafsir. Selain
itu, maraknya riwayat isrâ’îliyyât juga mewarnai tafsir generasi ini.[14]
Kebijakan dinasti Abbasiyyah sangat mendukung terjadinya pelebaran
wilayah kajian tafsir pada periode ini. Pada masa dinasti ‘Abbasiyyah,
perkembangan keilmuan Islam sangat pesat, sehingga usaha-usaha penulisan dalam
berbagai bidang keilmuan seperti ilmu gramatika Arab, hadis, sejarah, ilmu
kalam, dan lainnya mendapat perhatian yang cukup besar. Mulai periode ini dan
periode setelahnya, tafsir yang dulu hanya bersandar pada riwayat hadis Nabi Salla
Allah ‘Alaihi wa sallam, sahabat dan tabiin (naql, riwayat), mulai
bergerak menjalar ke wilayah nalar ijtihad (‘aqli). Penafsiran tidak
lagi sekedar hanya menukil riwayat-riwayat dari pendahulunya. Ayat-ayat yang
tidak atau belum sempat ditafsiri oleh Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam
maupun sahabat menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sebagai ladang penafsiran
dengan al ra’yi al ijtihadi. Belum lagi penafsiran-penafsiran pada
hal-hal yang tidak begitu penting kaitannya dengan ayat Al-Qur’an. Tafsir juga
dijadikan sarana pencarian pembenaran bagi sebagian golongan. Apalagi dengan
maraknya fanatisme bermazhab dalam bidang fiqih, aliran-aliran ilmu kalam,
sampai dengan bidang gramatika Bahasa Arab (nahwu dan sharf). Penafsiran
yang dilakukan sesuai dengan golongan atau bidang yang mereka geluti.[15]
Dengan latar belakang seperti tersebut diatas, maka dapat ditebak
kalau tafsir yang muncul ke permukaan pada periode ini akan didominasi oleh
kepentingan spesialisasi yang menjadi basis intelektual mufassirnya.
Adanya orang-orang tertentu diantara para peminat studi masing-masing disiplin
ilmu yang mencoba menggunakan basis pengetahuannya sebagai kerangka pemahaman
Al-Qur’an, atau bahkan diantaranya yang sengaja mencari dasar yang melegitimasi
teori-teorinya dari Al-Qur’an, maka muncullah apa yang disebut dengan tafsir
fighî, tafsir I’tiqadî, tafsir sufî, tafsir ilmî, tafsir tarbawî, tafsir
akhlaqî, dan tafsir falsafî.[16]
Penafsiran–penafsiran seperti ini terus berkembang dan berlanjut
hingga melahirkan beratus-ratus kitab tafsir dengan berbagai macam ragam.
Meskipun demikian, masih ada kitab tafsir yang tetap berpegang teguh dengan
konsep riwayat (ma’tsur) di luar Tafsir al Thabarî, seperti Baḫr al-‘Ulûm
miliknya al Samarqandî (wafat 373 H), Mu’âlim
al Tanzîl tafsir karangan al Baghawî
(wafat 510 H), al-Muḫarrar al-Wajîz
fî Tafsîr al-Kîtab al-‘Azîz Tafsir karangan Ibn ‘Athiyyah (wafat 546 H),
kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm karangan Ibn Katsîr (wafat 774 H), al-
Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr karya al-Suyûthî (wafat 911 H).[17]
Tafsir merupakan
salah satu bentuk usaha pemikiran dan pengkajian Al-Quran oleh manusia yang
dilingkupi oleh suasana dan kondisi tertentu sehingga mempengaruhi corak dan
karakteristik produk tafsir tersebut. Sebagimana karya tafsir yang dihasilkan
oleh para sahabat dan tabi’in era klasik yang memiliki kekhususan, maka karya
tafsir pada masa pertengahan ini pun demikian. Diantara karakteristik tersebut
adalah:
1. Adanya gagasan asing (non Al-Qur’an) dalam tafsir
Dengan memperhatiakan
latar belakang sang mufasir menjadi mudah kiranya untuk dimengerti bahwa hal
tesebut telah membawa pada penyusunan tafsir sesuai dengan karakter mufasir.
Inilah yang menyebabkan adanya pemaksaan, baik disengaja maupun tidak, gagasan
asing dalam karya tafsirnya. Yang dimaksud gagasan asing di sini adalah
pemaksaan kehendak pemahaman teks sesuai dengan penguasaan ilmu, aliran, atau
madzhab sang mufasir yang dirasa jauh dari konteks sebenarnya. Contohnya; dalam
tafsir al-Kasyaf karya az-Zamkhsyari, ketika ia menafsirkan QS.
al-Qiyamah ayat 22-23
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
Artinya:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka Melihat.
Dalam ayat tersebut Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna dzahir kata
nadzirah yang berarti melihat, sebab menurut paham mu’tazilah Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ tidak dapat dilihat. Dan ayat tersebut dimasukannya ke dalam
katagori ayat mutasyabihat.
2. Banyaknya Pengulangan penjelasan[19]
Contoh yang dihadirkan
dalam hal ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Abdul Mustaqim,
terhadap kitab tafsir Mafatih al-Gaib karya Ar-Razi yang sering
mendiskusikan tentang hal-hal seputar paham jabariah dan qadariah
pada hampir setiap surat. Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat
ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.
3. Terpisah
dengan hadis
Sebagaimana diketahui bahwa pada periode klasik, para ulama belum
memisahkan secara spesifik keilmuan tafsir dengan keilmuan hadis,
pengkodifikasiannya pun belum ada. Pada periode tengah ini, mulai banyak
bermunculan kitab-kitab tafsir murni yang terpisah dengan pembahasan hadis.
Mereka tidak memasukkan pembahasan hadis yang tidak berhubungan dengan tafsir
mereka.
Ketiga karakteristik
tersebut secara tersurat menandakan ciri kelemahan atau sisi negatif dari
karya-karya tafsir pada era pertengahan. Hal ini perlu disebutkan, bagi penulis
terutama dalam rangka mengurangi taqlid buta yang cenderung dilakukan
oleh banyak umat Muslim setelahnya tanpa menggali lebih jauh (mengkritisi)
karya-karya tersebut.
Meskipun demikian
pastinya karya-karya tafsir tersebut pernah menjadi “master piece” dalam suatu
masa dalam rangkaian sejarah pemahaman Islam dan menjadi rujukan utama dalam
menyelesaikan permasalahan keagamaan baik pada ini maupun setelahnya, yang
artinya hal tersebut masih diterima dengan lapang oleh umat Muslim pada
umumnya. Disamping itu corak dan keberagaman penafsiran Al-Qur’an pada masa ini
mengisyaratkan akan kekayaan khazanah pemikiran umat islam yang digali dari
al-Qur’an.
C.
Tokoh-Tokoh Mufasir Priode Pertengahan
Salah satu hal penting yang
perlu diperhatiakan dalam menjelaskan tokoh-tokoh tafsir pada priode
pertengahan ini adalah sebelum para mufasir memulai aktifitas penafsirannya
terlebih dahulu mereka telah menekuni suatu disiplin ilmu tertentu secara
khusus disamping keterhubungan erat mereka dengan paham atau madzhab tertentu.
Berangkat dari hal tersebut muncullah berbagai tokoh mufasir sesuai dengan disiplin
ilmu yang ia tekuni atau madzhab yang ia anut. Al Farra’ misalnya, adalah
seorang ahli dalam disiplin ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran Abbasiyah
pendukung Mu’tazilah. Ibnu Jarîr ath-Thabarî disamping sebagai tokoh sejarawan
muslim, secara teologis ia posisinya mirip al-Asy’ari yang cenderung mengambil
jalan tengah antara ahli hadis dan rasonalis Mu’tazilah. Sedangkan
az-Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan sastra yang terlahir didaerah basis kaum
mu’tazilah sehingga ikatan emosionalnya dengan mu’tazilah tidak dapat disangkal
ikut berpengaruh.[20]
Masih dalam wilayah tafsir yang bernuansa teologis tetapi dari
aliran lain, tampilah Fahruddin ar-Razi, seorang mutakallim Asy’ariah
yang juga ahli dalam bidang filsafat. Dari kelompok ini tampil pula al-Baidawî
yang berusaha merespon pencapaian az-Zamkhsari dan ar-Razi.
Dalam wilayah pendukung fiqh beserta madzhab-madzhabnya, muncul al Abû
Ḫasan Ilkiyâ al-Harrâsî dari Madzhab Syafi’i(wafat 504 H) yang melahirkan Aḫkâm
al-Qur’ân, al-Qurtubî dan al-Qâdhî Abû Bakar Ibn al–‘Arâbî (wafat 543 H)
dari Madzhab Maliki, al-Jashshâsh (wafat 370 H ) dari Madzhab Hanafi. Dari
kalangan Ḫanâbilah ada Abû Ya’lâ al-Baghdâdî al-Ḫanbâlî (wafat 832 H) dengan
kitabnya yang berjudul al-Tsamarât al-Yâni’ah wa al-Aḫkâm al-Wâdhiḫah
al-Qâthi’ah. Dari kalangan Syi’ah Imâmiyyah Itsnâ ‘Asyariyyah pada akhir
abad ke 8 H dan awal abad ke 9 H dengan karyanya Kanz al-Irfâ’ Fî Fiqh
al-Qur’ân.[21]
Dari kalangan ilmu rasional dan filosof juga tampil ahli-ahli
filsafat Islam yang berkepentingan untuk menjustifikasi gagasan filsafatnya
dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yaitu Fakhr al-Dîn al-Râzî (wafat 606 H)
dengan karyanya Mafâtîḫ al-Ghâib atau nama lain Tafsîr al-Kabîr.
Tokoh tasawuf praktis diawali oleh al-Alusi seorang pendukung Thariqah
Naqshabandiyah.[22]
Dari para ahli kisah atau ahli al-atsar ada Ibnu Khazin dan al-Tsa’labi.
Demikian pula yang ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddîn Al-Mahalli,
Al-Nisaburi, al-Qadhi Abdul Jabbar dan masih banyak lagi Mufassir yang
memiliki disiplin ilmu tertentu.[23]
III.
Kesimpulan
Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu
pada sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16 Hijriah. Periode ini ditandai dengan
munculnya hasil penafsiran yang lebih sistematis, terutama dengan
terkodifikasinya banyak karya tafsir. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode
pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan bagi ilmu pengetahuan. Setelah
periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami
kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadis Nabi Salla Allah
‘Alaihi wa sallam. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari
penguasa yang berkuasa pada saat itu yaitu pada masa akhir dari Dinasti Umayyah
dan awal Dinasti Abbasiyyah.
Adanya gagasan asing (non Al-Qur’an) dalam tafsir
Dengan memperhatiakan latar belakang sang mufasir menjadi mudah
kiranya untuk dimengerti bahwa hal tesebut telah membawa pada penyusunan tafsir
sesuai dengan karakter mufasir. Inilah yang menyebabkan adanya
pemaksaan, baik disengaja maupun tidak, gagasan asing dalam karya tafsirnya.
Yang dimaksud gagasan asing di sini adalah pemaksaan kehendak pemahaman teks
sesuai dengan penguasaan ilmu, aliran, atau madzhab sang mufasir yang dirasa
jauh dari konteks sebenarnya. Contohnya; dalam tafsir al-Kasyaf karya az-Zamkhsyari,
ketika ia menafsirkan QS. al-Qiyamah ayat 22-23
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Dalam ayat tersebut Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna dzahir kata
nadzirah yang berarti melihat, sebab menurut paham mu’tazilah Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ tidak dapat dilihat. Dan ayat tersebut dimasukannya ke dalam
katagori ayat mutasyabihat.
Al Farra’ misalnya, adalah seorang ahli dalam disiplin ilmu bahasa
dan guru beberapa pangeran Abbasiyah pendukung Mu’tazilah. Ibnu Jarir
ath-Thabari disamping sebagai tokoh sejarawan muslim, secara teologis ia
posisinya mirip al-Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli
hadis dan rasonalis Mu’tazilah. Sedangkan az-Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan
sastra yang terlahir didaerah basis kaum mu’tazilah sehingga ikatan
emosionalnya dengan mu’tazilah tidak dapat disangkal ikut berpengaruh.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Arifin, M.
Zaenal, Pemetaan Kajian Tafsir (Perspektif Historis, Metodologis, Corak, dan
Geografis).
Bannâ(Al-),
Hasan, Muqaddimât fî ‘Ilm al-Tafsîr, (Kuwait: Maktabat al-Manâr, t,th).
Dhahabi(Al-),
Muhammad Husain, Tafsîr Wa al-Mufassiruûn, (Mesir: Mus’ab Umar
al-Islâmî, 2004).
Qaththan(Al-), Manna’,
PENGANTAR STUDI ILMU AL-QUR’AN, (Jakarta Timur: PUSTAKA AL-KAUTSAR,
2012).
Mustaqim, Abdul,
Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2008).
__________, Madzahibut
Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).
__________, Dinamika
Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2012).
Naif, Fauzan,
“Al Kasyaf karya al-Zamakhsari” dalam Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: TH
Prees, 2004).
Suyûthî(al-), Jalâl
al-Dîn, al-Itqân Fî ‘ulimûl Qur’ân, (Lebanon: Dar al-Kotob Al-Ilmiyah,
2012).
Shabuni(Al-),
Muhammad ‘Ali, Al-Tibyân Fî Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub
al-Islamiyyah, 2003).
Tim Forum Karya
Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir
Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011).
Zarkasyi(Az-),
Muhammad bin Abdullah, Al-Burhan fî Ulûm Al-Qur’an, (Mesir: Al-Halabi,
1972).
[1] Hasan
Al-Bannâ, Muqaddimât fî ‘Ilm al-Tafsîr,(Kuwait: Maktabat
al-Manâr, t,th), hal: 5.
[2] Ibid.,6.
[3] Muhammad ‘Ali
Al-Shabuni, Al-Tibyân Fî Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub
al-Islamiyyah, 2003), hal:63.
[4] Muhammad
Husain Al-Dhahabi, Tafsîr Wa al-Mufassiruûn, (Mesir: Mus’ab Umar al-Islâmî,
2004),hal: 102.
[5] Muhammad bin
Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fî Ulûm Al-Qur’an, (Mesir: Al-Halabi,
1972), 2:159.
[6] Muhammad
Husain Al-Dhahabi, al-Tafsîr Wa al-Mufassiruûn, (Mesir: Mus’ab
Umar al-Islâmî, 2004),hal:105.
[8] Tim Forum
Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir
Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011), hal:211.
[9] Manna’
Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU AL-QUR’AN, (Jakarta Timur: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 2012), 7:428.
[10] Ibid..,7:429.
[11] Ibid..,7:429.
[12] Ibid..,7:429.
[13]
Ibid..,7:430-431.
[14] Tim Forum
Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir
Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011), hal:213.
[15] Jalâl al-Dîn
al-Suyûthî, al-Itqân Fî ‘ulimûl Qur’ân, (Lebanon: Dar al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2012), hal:190-191.
[16] M. Zaenal
Arifin, Pemetaan Kajian Tafsir (Perspektif Historis, Metodologis, Corak,
dan Geografis), hal:18.
[17] Tim Forum
Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir
Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011), hal:216.
[18] Abdul
Mustaqim, Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003). Hal:68.
[20] Fauzan Naif , “Al Kasyaf karya al-zamakhsari” dalam M. Yusuf
dkk, Studi Kitab Tafsir(Yogyakarta: TH Prees, 2004).
[21] Tim Forum
Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir
Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011), hal:214.
[22] Ibid..,215.
[23] Manna’
Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU AL-QUR’AN, (Jakarta Timur: PUSTAKA
AL-KAUTSAR, 2012), 7:429-430.
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
BalasHapusTerima kasih infonya, di tunggu kunbalnya di blog Saya
BalasHapusrevisi kak... masa abad pertengahan dimulai dari abad ke-3 sampai ke-16 Hijriyah
BalasHapus