Minggu, 08 November 2015

Sejarah Tafsir Abad Pertengahan

Sejarah Tafsir Abad Pertengahan
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan Am Asroh

I.                   Pendahuluan
Sejak Al-Qur'an diturunkan kepada Rasullah Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, Al-Qur'an selalu menjadi objek yang menarik. Disini juga Al-Qur'an berperan sebagai petunjuk yang secara tidak langsung petunjuk dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber pedoman maka terlebih dahulu harus memahami maksut dari ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Oleh karna itu diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur'an untuk memberi penjelasan mengenai maksudnya supaya dapat di pahami dan diamalkan.[1]
Nabi sebagai pemberi penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an tidak memberikan penjelasan secara menyeluruh dan rinci. Selanjutnya diteruskan oleh sahabat-sahabat Nabi. Kemudia diteruskan oleh tabi'in.[2]
Untuk dapat memahami kandungan Al-Qur'an secara luas kita mmbutuhkan sebuah kunci yaitu pemahaman penafsiran Al-Qur'an secara benar dan tepat sesuai dengan peradapan dan perkembangan budaya manusia tetapi juga memperhatikan kaidah-kaidah dalam menafsirkan.[3]
Kitab suci Al-Qur'an ini memiliki daya tarik yang tidak akan habis untuk di pahami, di kaji dan di teliti secara akademis. Keberadaan Al-Qur'an secara historis telah melahirkan ribuan karya. Beragam tafsir itu muncul sejak Al-Qur'an itu diturunkan sampai sekarang. Sesuai dengan perkembangan zaman banyak karya tafsir yang muncul mengunakan metode, corak mengikuti pengarang.
Sejarah dalam penafsiran mencatat bahwa pada periode pertama tafsir belum di kodifikasikan secara mandiri. Tafsir pada masa ini masih kental dengan dasar penafsiran dan bahasa menjadi perangkat analisanya.
Pada periode kedua berawal dari kodifikasi hadis secara resmi. yakni pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) dimana ketika itu penafsiran masih menjadi satu dengan penghimpunan hadis dan ditulis dengan metode tafsir bil al mat'sur. Periode kodifikasi ini terjadi hingga muncul kodifikasi tafsir secara terpisah dengan hadis yang menurut para mufassir dimulai pada masa Al-Farra' (207 H)[4] dengan karyanya ma'ani al-Qur'an.[5]
Pada periode ketiga terjadi pada masa tabi'in tabi'in pada masa inilah pembukuan dilakukan secara khusus yang mana menurut para ulama' sejarah di mulai pada Akhir masa bani Umayyah (41 H-132 H) dan awal masa bani Abbasiyah (132-656H).
Setelah masa tabi’in pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadis-hadis Nabi. Dari sebab itu bibit tafsir mulai terlihat walaupun belum terpisah dari hadis. Pada masa ini tafsir masih mengunakan metode periwayatan dari hadis Nabi, sahabat dan tabi’in. Setelah tabi’in-tabi’in melengkapinya dengan sanad muncul tafsir Ibnu Jarîr Al-Tabarî (wafat 310 H). Seorang ulama’ yang melakukan terobosa dengan menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat Al-Qur’an dan menyelipkan pendapat ulama’-ulama’ ahli bahasa, madzab fiqh dan ulama’ ahli kalam.[6]
Setelah berakhirnya abad ketiga ini muncul abat keemasan atau bisa dikatakan abat pertengahan yang mana pada abad ini muncul banyak tafsir yang tersusun secara sistematis dan banyak perbedaan juga mengenai metode dan corak penyusunanya. Berangkat dari masalah ini, maka makalah ini akan mengkaji mengenai sejarah perkembangan tafsir abad pertengahan, apa karakteristik tafsir abad pertengahan serta tokoh-tokoh yang mempeloporinya.
II.                Sejarah Rasionalitas Tafsir Era Pertengahan
A.    Sejarah Tafsir Era Pertengahan
           Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16 Hijriah. Periode ini ditandai dengan munculnya hasil penafsiran yang lebih sistematis, terutama dengan terkodifikasinya banyak karya tafsir. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan bagi ilmu pengetahuan.[7] Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa yang berkuasa pada saat itu yaitu pada masa akhir dari dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyyah.[8]
Secara garis besar tafsir Al Qur’an pada periode pertengahan ini diklasifikasikan menjadi lima periode, yaitu:
1.  Periode I, pada zaman akhir Bani Muawiyah dan permulaan zaman Abbasiyah. Periode ini pembukuan hadis menjadi prioritas utama dengan mencakup berbagai bab. Tafsir hanya salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupinya. Pada masa ini tafsir hanya memuat tafsir Al-Qur’an, surat demi surat, ayat demi ayat dari awal Al-Qur’an sampai akhir, memang belum dipisahkan secara khusus dari bab-bab hadis.[9]
2.  Periode II, telah dilakukan pemisahan tafsir dari hadis dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarîr At Thabarî (310 H)(Jami’ al Bayan fi Ta’wilî Al-Qur’an), Abu Bakar An Naisâbûrî(wafat 318 H), Ibnu Abî Ḫâtim(405 H), Al-Ḫâkim (405 H) dan Abû Bakar bin Mardawaih (wafat 410 H) dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’in tabi’in. Terkadang juga disertai pen-tarjih-an terhadap pendapat pendapat yang diriwayatkan dan melakukan istinbath sebuah hukum serta penjelasan kedudukan i’rob-nya jika diperlukan sebagaimana dilakukan Ibnu Jarîr Al-Thabarî.[10]
3.  Periode III, membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahîh dan yang dhaîf yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran/ kesalahan dari tafsir tersebut.[11]
4.  Periode IV, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku terjemahan dari luar Islam. Sehingga pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassirnya. Seperti tafsiranya Fakhruddin Ar-Rozi yang hanya memperhatikan filosof saja dalam penafsiranya.[12]
5.  Periode V, tafsir maudhui yaitu tafsir dibukukan menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan. Seperti yang ditulis oleh Ibn Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan Fî Aqsami Al-Qur’an, Abû Ja’far An-Nahhas dengan Nasih wal Mansukh, Al Wahidi dengan Asbab An-Nuzûl, dan Al Jasshash dengan Aḫkâm Al-Qur’ânnya. [13]
Tafsir pada generasi ini masih menggunakan metode riwayat (naql atau ma’tsur) dari hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, sahabat, maupun tabi’in, dan ulama-ulama setelahnya (tabi’ al-tabi’in) lengkap dengan sanadnya. Tak terkecuali tafsir milik Al Thabari yang sering menyelipkan pendapat-pendapat ulama (baik dalam masalah gramatika Bahasa Arab, mazhab fikih ataupun aliran-aliran ilmu kalam), yang kemudian men-tarjih-nya (mengunggulkan salah satu pendapat), menjelaskan tata bahasa, serta menggali hukum dari ayat-ayat Al Qur’an. Selain riwayat dari Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, sahabat, tabiin, mereka juga mengutip tafsir dari kitab-kitab generasi sebelumnya beserta sanad yang sampai kepada sang pengarang tafsir. Selain itu, maraknya riwayat isrâ’îliyyât juga mewarnai tafsir generasi ini.[14]
Kebijakan dinasti Abbasiyyah sangat mendukung terjadinya pelebaran wilayah kajian tafsir pada periode ini. Pada masa dinasti ‘Abbasiyyah, perkembangan keilmuan Islam sangat pesat, sehingga usaha-usaha penulisan dalam berbagai bidang keilmuan seperti ilmu gramatika Arab, hadis, sejarah, ilmu kalam, dan lainnya mendapat perhatian yang cukup besar. Mulai periode ini dan periode setelahnya, tafsir yang dulu hanya bersandar pada riwayat hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam, sahabat dan tabiin (naql, riwayat), mulai bergerak menjalar ke wilayah nalar ijtihad (‘aqli). Penafsiran tidak lagi sekedar hanya menukil riwayat-riwayat dari pendahulunya. Ayat-ayat yang tidak atau belum sempat ditafsiri oleh Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam maupun sahabat menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sebagai ladang penafsiran dengan al ra’yi al ijtihadi. Belum lagi penafsiran-penafsiran pada hal-hal yang tidak begitu penting kaitannya dengan ayat Al-Qur’an. Tafsir juga dijadikan sarana pencarian pembenaran bagi sebagian golongan. Apalagi dengan maraknya fanatisme bermazhab dalam bidang fiqih, aliran-aliran ilmu kalam, sampai dengan bidang gramatika Bahasa Arab (nahwu dan sharf). Penafsiran yang dilakukan sesuai dengan golongan atau bidang yang mereka geluti.[15]
Dengan latar belakang seperti tersebut diatas, maka dapat ditebak kalau tafsir yang muncul ke permukaan pada periode ini akan didominasi oleh kepentingan spesialisasi yang menjadi basis intelektual mufassirnya. Adanya orang-orang tertentu diantara para peminat studi masing-masing disiplin ilmu yang mencoba menggunakan basis pengetahuannya sebagai kerangka pemahaman Al-Qur’an, atau bahkan diantaranya yang sengaja mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari Al-Qur’an, maka muncullah apa yang disebut dengan tafsir fighî, tafsir I’tiqadî, tafsir sufî, tafsir ilmî, tafsir tarbawî, tafsir akhlaqî, dan tafsir falsafî.[16]
Penafsiran–penafsiran seperti ini terus berkembang dan berlanjut hingga melahirkan beratus-ratus kitab tafsir dengan berbagai macam ragam. Meskipun demikian, masih ada kitab tafsir yang tetap berpegang teguh dengan konsep riwayat (ma’tsur) di luar Tafsir al Thabarî, seperti Baḫr al-‘Ulûm miliknya al Samarqandî (wafat  373 H), Mu’âlim al Tanzîl  tafsir karangan al Baghawî (wafat 510 H),  al-Muḫarrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kîtab al-‘Azîz Tafsir karangan Ibn ‘Athiyyah (wafat 546 H), kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm karangan Ibn Katsîr (wafat 774 H), al- Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr karya al-Suyûthî (wafat 911 H).[17]
B.      Karakteristik Penafsiran Era Pertengahan[18]
           Tafsir merupakan salah satu bentuk usaha pemikiran dan pengkajian Al-Quran oleh manusia yang dilingkupi oleh suasana dan kondisi tertentu sehingga mempengaruhi corak dan karakteristik produk tafsir tersebut. Sebagimana karya tafsir yang dihasilkan oleh para sahabat dan tabi’in era klasik yang memiliki kekhususan, maka karya tafsir pada masa pertengahan ini pun demikian. Diantara karakteristik tersebut adalah:
1. Adanya gagasan asing (non Al-Qur’an) dalam tafsir
    Dengan memperhatiakan latar belakang sang mufasir menjadi mudah kiranya untuk dimengerti bahwa hal tesebut telah membawa pada penyusunan tafsir sesuai dengan karakter mufasir. Inilah yang menyebabkan adanya pemaksaan, baik disengaja maupun tidak, gagasan asing dalam karya tafsirnya. Yang dimaksud gagasan asing di sini adalah pemaksaan kehendak pemahaman teks sesuai dengan penguasaan ilmu, aliran, atau madzhab sang mufasir yang dirasa jauh dari konteks sebenarnya. Contohnya; dalam tafsir al-Kasyaf karya az-Zamkhsyari, ketika ia menafsirkan QS. al-Qiyamah ayat 22-23
          إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ   
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Dalam ayat tersebut Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna dzahir kata nadzirah yang berarti melihat, sebab menurut paham mu’tazilah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ tidak dapat dilihat. Dan ayat tersebut dimasukannya ke dalam katagori ayat mutasyabihat.         
2. Banyaknya Pengulangan penjelasan[19]
   Contoh yang dihadirkan dalam hal ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Abdul Mustaqim, terhadap kitab tafsir Mafatih al-Gaib karya Ar-Razi yang sering mendiskusikan tentang hal-hal seputar paham jabariah dan qadariah pada hampir setiap surat. Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.
3. Terpisah dengan hadis
Sebagaimana diketahui bahwa pada periode klasik, para ulama belum memisahkan secara spesifik keilmuan tafsir dengan keilmuan hadis, pengkodifikasiannya pun belum ada. Pada periode tengah ini, mulai banyak bermunculan kitab-kitab tafsir murni yang terpisah dengan pembahasan hadis. Mereka tidak memasukkan pembahasan hadis yang tidak berhubungan dengan tafsir mereka.
    Ketiga karakteristik tersebut secara tersurat menandakan ciri kelemahan atau sisi negatif dari karya-karya tafsir pada era pertengahan. Hal ini perlu disebutkan, bagi penulis terutama dalam rangka mengurangi taqlid buta yang cenderung dilakukan oleh banyak umat Muslim setelahnya tanpa menggali lebih jauh (mengkritisi) karya-karya tersebut.
    Meskipun demikian pastinya karya-karya tafsir tersebut pernah menjadi “master piece” dalam suatu masa dalam rangkaian sejarah pemahaman Islam dan menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan baik pada ini maupun setelahnya, yang artinya hal tersebut masih diterima dengan lapang oleh umat Muslim pada umumnya. Disamping itu corak dan keberagaman penafsiran Al-Qur’an pada masa ini mengisyaratkan akan kekayaan khazanah pemikiran umat islam yang digali dari al-Qur’an.
C.    Tokoh-Tokoh Mufasir Priode Pertengahan
 Salah satu hal penting yang perlu diperhatiakan dalam menjelaskan tokoh-tokoh tafsir pada priode pertengahan ini adalah sebelum para mufasir memulai aktifitas penafsirannya terlebih dahulu mereka telah menekuni suatu disiplin ilmu tertentu secara khusus disamping keterhubungan erat mereka dengan paham atau madzhab tertentu. Berangkat dari hal tersebut muncullah berbagai tokoh mufasir sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni atau madzhab yang ia anut. Al Farra’ misalnya, adalah seorang ahli dalam disiplin ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran Abbasiyah pendukung Mu’tazilah. Ibnu Jarîr ath-Thabarî disamping sebagai tokoh sejarawan muslim, secara teologis ia posisinya mirip al-Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan rasonalis Mu’tazilah. Sedangkan az-Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan sastra yang terlahir didaerah basis kaum mu’tazilah sehingga ikatan emosionalnya dengan mu’tazilah tidak dapat disangkal ikut berpengaruh.[20]
Masih dalam wilayah tafsir yang bernuansa teologis tetapi dari aliran lain, tampilah Fahruddin ar-Razi, seorang mutakallim Asy’ariah yang juga ahli dalam bidang filsafat. Dari kelompok ini tampil pula al-Baidawî yang berusaha merespon pencapaian az-Zamkhsari dan ar-Razi.
Dalam wilayah pendukung fiqh beserta madzhab-madzhabnya, muncul al Abû Ḫasan Ilkiyâ al-Harrâsî dari Madzhab Syafi’i(wafat 504 H) yang melahirkan Aḫkâm al-Qur’ân, al-Qurtubî dan al-Qâdhî Abû Bakar Ibn al–‘Arâbî (wafat 543 H) dari Madzhab Maliki, al-Jashshâsh (wafat 370 H ) dari Madzhab Hanafi. Dari kalangan Ḫanâbilah ada Abû Ya’lâ al-Baghdâdî al-Ḫanbâlî (wafat 832 H) dengan kitabnya yang berjudul al-Tsamarât al-Yâni’ah wa al-Aḫkâm al-Wâdhiḫah al-Qâthi’ah. Dari kalangan Syi’ah Imâmiyyah Itsnâ ‘Asyariyyah pada akhir abad ke 8 H dan awal abad ke 9 H dengan karyanya Kanz al-Irfâ’ Fî Fiqh al-Qur’ân.[21]
Dari kalangan ilmu rasional dan filosof juga tampil ahli-ahli filsafat Islam yang berkepentingan untuk menjustifikasi gagasan filsafatnya dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yaitu Fakhr al-Dîn al-Râzî (wafat 606 H) dengan karyanya Mafâtîḫ al-Ghâib atau nama lain Tafsîr al-Kabîr. Tokoh tasawuf praktis diawali oleh al-Alusi seorang pendukung Thariqah Naqshabandiyah.[22]
Dari para ahli kisah atau ahli al-atsar ada Ibnu Khazin dan al-Tsa’labi. Demikian pula yang ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddîn Al-Mahalli, Al-Nisaburi, al-Qadhi Abdul Jabbar dan masih banyak lagi Mufassir yang memiliki disiplin ilmu tertentu.[23]
III.             Kesimpulan
Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16 Hijriah. Periode ini ditandai dengan munculnya hasil penafsiran yang lebih sistematis, terutama dengan terkodifikasinya banyak karya tafsir. Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan bagi ilmu pengetahuan. Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadis Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa sallam. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa yang berkuasa pada saat itu yaitu pada masa akhir dari Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah.
Adanya gagasan asing (non Al-Qur’an) dalam tafsir
Dengan memperhatiakan latar belakang sang mufasir menjadi mudah kiranya untuk dimengerti bahwa hal tesebut telah membawa pada penyusunan tafsir sesuai dengan karakter mufasir. Inilah yang menyebabkan adanya pemaksaan, baik disengaja maupun tidak, gagasan asing dalam karya tafsirnya. Yang dimaksud gagasan asing di sini adalah pemaksaan kehendak pemahaman teks sesuai dengan penguasaan ilmu, aliran, atau madzhab sang mufasir yang dirasa jauh dari konteks sebenarnya. Contohnya; dalam tafsir al-Kasyaf karya az-Zamkhsyari, ketika ia menafsirkan QS. al-Qiyamah ayat 22-23
          إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ   
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Dalam ayat tersebut Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna dzahir kata nadzirah yang berarti melihat, sebab menurut paham mu’tazilah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ tidak dapat dilihat. Dan ayat tersebut dimasukannya ke dalam katagori ayat mutasyabihat.
Al Farra’ misalnya, adalah seorang ahli dalam disiplin ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran Abbasiyah pendukung Mu’tazilah. Ibnu Jarir ath-Thabari disamping sebagai tokoh sejarawan muslim, secara teologis ia posisinya mirip al-Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis dan rasonalis Mu’tazilah. Sedangkan az-Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan sastra yang terlahir didaerah basis kaum mu’tazilah sehingga ikatan emosionalnya dengan mu’tazilah tidak dapat disangkal ikut berpengaruh.



Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Arifin, M. Zaenal, Pemetaan Kajian Tafsir (Perspektif Historis, Metodologis, Corak, dan Geografis).
Bannâ(Al-), Hasan, Muqaddimât fî ‘Ilm al-Tafsîr, (Kuwait: Maktabat al-Manâr, t,th).
Dhahabi(Al-), Muhammad Husain, Tafsîr Wa al-Mufassiruûn, (Mesir: Mus’ab Umar al-Islâmî, 2004).
Qaththan(Al-), Manna’, PENGANTAR STUDI ILMU AL-QUR’AN, (Jakarta Timur: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2012).
Mustaqim, Abdul, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2008).
__________, Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).
__________, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2012).
Naif, Fauzan, “Al Kasyaf karya al-Zamakhsari” dalam Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: TH Prees, 2004).
Suyûthî(al-), Jalâl al-Dîn, al-Itqân Fî ‘ulimûl Qur’ân, (Lebanon: Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012).
Shabuni(Al-), Muhammad ‘Ali, Al-Tibyân Fî Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003).
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011).
Zarkasyi(Az-), Muhammad bin Abdullah, Al-Burhan fî Ulûm Al-Qur’an, (Mesir: Al-Halabi, 1972).



[1] Hasan Al-Bannâ, Muqaddimât fî ‘Ilm al-Tafsîr,(Kuwait: Maktabat al-Manâr, t,th), hal: 5.
[2] Ibid.,6.
[3] Muhammad ‘Ali Al-Shabuni, Al-Tibyân Fî Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), hal:63.
[4] Muhammad Husain Al-Dhahabi, Tafsîr Wa al-Mufassiruûn, (Mesir: Mus’ab Umar al-Islâmî, 2004),hal: 102.
[5] Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fî Ulûm Al-Qur’an, (Mesir: Al-Halabi, 1972), 2:159.
[6] Muhammad Husain Al-Dhahabi, al-Tafsîr Wa al-Mufassiruûn, (Mesir: Mus’ab Umar al-Islâmî, 2004),hal:105.
[7] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2008).
[8] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011), hal:211.
[9] Manna’ Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU AL-QUR’AN, (Jakarta Timur: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2012), 7:428.
[10] Ibid..,7:429.
[11] Ibid..,7:429.
[12] Ibid..,7:429.
[13] Ibid..,7:430-431.
[14] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011), hal:213.
[15] Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân Fî ‘ulimûl Qur’ân, (Lebanon: Dar al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012), hal:190-191.
[16] M. Zaenal Arifin, Pemetaan Kajian Tafsir (Perspektif Historis, Metodologis, Corak, dan Geografis), hal:18.
[17] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011), hal:216.
[18] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003). Hal:68.
[19] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hal. 106.
[20] Fauzan Naif , “Al Kasyaf karya al-zamakhsari” dalam M. Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir(Yogyakarta: TH Prees, 2004).
[21] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press,2011), hal:214.
[22] Ibid..,215.
[23] Manna’ Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU AL-QUR’AN, (Jakarta Timur: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2012), 7:429-430.

3 komentar:

  1. Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong

    BalasHapus
  2. Terima kasih infonya, di tunggu kunbalnya di blog Saya

    BalasHapus
  3. revisi kak... masa abad pertengahan dimulai dari abad ke-3 sampai ke-16 Hijriyah

    BalasHapus