IḤLAṢ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan A
I. Pendahuluan
Dalam
Islam keselarasan antara aspek lahiriyah dengan baṭiniah
merupakan hal yang sangat penting dan menentukan. Mengabaikan salah satunya
dapat berakibat pada kurang sempurnanya tindakan seseorang. Itulah sebabnya
dalam al-Qur’an Allah Subhānahu wa Ta’ālā menolak pengakuan beriman orang-orang badui,
karena pengakuan mereka itu hanya sekedar ucapan yang tidak disertai dengan
ketulusan hati, dan tidak dibuktikan pengaruhnya dalam realitas kehidupan yang
berupa amal dan jihad di jalan Allah. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Ḥujarat
(49): 14-15:
قالت الأعراب أمنا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا
أسلمنا ولما يدخل الإيمان في قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لايلتكم من أعمالكم
شيئا إن الله غفور رحيم (۱۶) إنما المؤمنون الذين امنوا بالله ورسوله ثم لم
يرتابوا ووجاهدوا بأموالهم وأنفسهم في سبيل الله أولئك هم الصادقون (۱۵)
“Orang-orang Arab
Badui berkata, “Kami telah beriman”. Katakanlah (kapada mereka), “Kamu belum
beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam)’, karena iman belum masuk
ke dalam hatimu. Dan jika kami taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh Allah Maha pengampun,
Maha penyanyang. (15) Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah
mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.
Berkaitan dengan suatu
perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif dan tujuan dari seorang
yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya bentuk lahiriahnya saja.
Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap perbuatan itu ada badan dan
ruhnya. Badannya adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar, sedangkan
ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya perbuatan itu dan jiwa iḥlaṣ yang
mendorong terciptanya perbuatan tersebut. Bagi golongan ahli hakikat (tasawuf),
iḥlaṣ merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dengan demikian, diterima atau
tidaknya suatu perbuatan sangat tergantung kepada niat yang melakukannya. Sedemikian
pentingnya kedudukan iḥlaṣ dalam amal ibadah, sehingga dalam al-Qur’an sendiri
sebagai sumber utama dalam ajaran Islam terdapat banyak ayat yang membicarakan
masalah iḥlaṣ dalam berbagai aspeknya.
Oleh
karena itu, sesuai dengan tema yang telah ditentukan, kajian dalam tulisan ini
akan berupaya memaparkan konsep iḥlaṣ dalam al-Qur’an dengan pendekatan metode
tafsir tematik (mauḍū’ī).
II. Hakikat Makna Iḥlaṣ dalam al-Qur’an
A.
Pengertian Iḥlaṣ
Secara etimologis, kata iḥlaṣ
merupakan bentuk mashdar dari kata akhlaṣa yang berasal dari akar
kata khalaṣa. Secara istilah iḥlaṣ adalah intisari dari pada iman. Seseorang tidak
dianggap beragama dengan benar jika dia tidak iḥlaṣ, sebagaimana yang telah di
jelaskan dalam firman Allah:
قل
إن الصلاة ونسكي ومحيي ومماتي لله رب العالمين
Sesungguhnya Allah
tidak menerima amal seseorang kecuali dilakukan dengan iḥlaṣ dan mengharapkan
ridha-Nya.
Ibnu Kathīr menjelaskan
bahwa Allah
Subhānahu wa Ta’ālā memerintahkan kepada Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa
Sallam. Untuk
memberitakan kepada orang-orang musyrik penyembah selain Allah dan kalau
menyembelih hewan bukan menyebut nama Allah, bahwa Nabi Ṣala
Allāh Alayhi wa al Salām. berbeda dengan mereka dalam hal tersebut. Karena sesungguhnya salatnya
hanyalah untuk Allah, dan ibadahnya hanya sematamata untuk Allah, tiada sekutu
bagiNya. Hal ini sama dengan yang disebutkan oleh firmanNya dalam ayat lain:
فصل
لربك وانحر
Yang artinya beriḥlaṣlah kamu untuk Dia dalam salat
dan kurbanmu”. Di jelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik menyembah berhala
dan menyembelih untuk berhala. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar
membedakan diri dengan mereka dan menyimpang dari kebiasaan yang mereka
lakukan, serta menghadapkan diri dengan seluruh tekad dan niat yang tulus dalam
beriḥlaṣ kepada Allah Subhānahu wa Ta’ālā .
Bila
diteliti lebih lanjut, kata iḥlaṣ sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara
langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang
berderivasi sama dengan kata iḥlaṣ tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam
tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara
lain: kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan
khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima
kali, mukhlish tunggal tiga kali, mukhlishuun jamak satu kali, mukhlishiin jamak
tujuh kali, mukhlash tunggal satu kali, dan mukhlashiin jamak sebanyak delapan
kali.
Selanjutnya,
ditinjau dari segi makna, term iḥlaṣ dalam al-Qur’an juga mengandung arti yang
beragam.
Penyebutan Kata iḥlaṣ dalam al-Qur`an ada 24, di antaranya:
1.Ḥaaliṣh, yaitu bersih dan tidak dicampuri noda apapun. Seperti dalam firman Allah,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا
نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ
يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
[٣٩:٣]
“Ingatlah, hanya kepunyaaan Allah-lah agama
yang bersih.” (QS. Az-Zumar: 3);
2.ḤalaṢhuu, yaitu memproteksi diri. Seperti dalam firman Allah,
فَلَمَّا
اسْتَيْأَسُوا مِنْهُ خَلَصُوا نَجِيًّا ۖ قَالَ
كَبِيرُهُمْ أَلَمْ تَعْلَمُوا أَنَّ أَبَاكُمْ قَدْ أَخَذَ عَلَيْكُم مَّوْثِقًا
مِّنَ اللَّهِ وَمِن قَبْلُ مَا فَرَّطتُمْ فِي يُوسُفَ ۖ فَلَنْ أَبْرَحَ
الْأَرْضَ حَتَّىٰ يَأْذَنَ لِي أَبِي أَوْ يَحْكُمَ اللَّهُ لِي ۖ وَهُوَ خَيْرُ
الْحَاكِمِينَ [١٢:٨٠]
“Maka tatkala mereka
berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik.”
(QS. Yûsuf: 80);
3.Ḥaaliṣah, yaitu khusus untukmu, sebagaimana dalam firman Allah,
إِنَّا أَ لَصْنَاهُم
بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ [٣٨:٤٦]
“Sesungguhnya Kami telah
mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu
selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shād: 46);
4. Muḥlaṣan, kadangkala kata ini dipadukan dengan kata mukhalashin. Seperti
dalam firman Allah:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَىٰ ۚ إِنَّهُ كَانَ
مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا [١٩:٥١]
“Sesungguhnya dia adalah orang yang dipilih
dan seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam 19: 51).
Dari beberapa penjelasan iḥlaṣ diatas bahwasanya seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika dia tidak iḥlas
sebagaimana Allah menjelaskan dalam firmanya: Sesungguhnya Allah tidak menerima
amal seseorang kecuali dilakukan dengan iḥlaṣ dan mengharapkan ridha-Nya.
B.
Makna Iḥlaṣ dalam al-Qur’an
Pertama, iḥlaṣ berarti al-ishthif’
(pilihan) seperti pada surat Shaad ayat 46-47 Allah berfirman:
إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ [٣٨:٤٦]وَإِنَّهُمْ
عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ [٣٨:٤٧]
Sesungguhnya Kami telah
menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi,
yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
Dan sesungguhnya mereka pada
sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
Ibnu Jarir menjelaskan ayat إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ dengan penjelasan sesungguhnya kami
telah menghususkan kalian dengan kekususan, sesungguhnya Allah telah
mengihlaskan atau mensucikan kalian semua, adapun kalian semua mengajak-ngajak
kepada hari akhir maksutnya kembali kepada Allah.
وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ Ibnu Jarir menjelaskan ayat
di atas dengan tafsiran bahwasanya orang yang ta’at pada Allah, Yang
menyampaikan pesan Allah pada makhluknya merupakan orang-orang pilihan yang
paling baik.
Di
sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut
yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang
yang suci. Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munasabah) antara
ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.
Kedua, iḥlaṣ berarti al-khuluus
min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotoran), sebagaimana tertera
dalam surat an-Nahl : 66
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِ مِن بَيْنِ فَرْثٍ
وَدَمٍ لَّبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِّلشَّارِبِينَ [١٦:٦٦]
Ayat diatas menjelaskan
tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada
mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran
bagi manusia.
Ketiga, ikhlas berarti
al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat
94 Allah berfirman:
قُلْ إِن كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِندَ اللَّهِ خَالِصَةً مِّن
دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ [٢:٩٤]
Katakanlah:
"Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu
di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu
memang benar.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya ihlas merupakan
kekhususan bagi orang-orang tertentu yang mendapat hidayah dari Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ, bisa juga berarti suci dari segala
kotoran.
C.
Kedudukan Iḥlaṣ
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿البينة: ٥﴾
“Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
Dalam Tafsirnya Muhammad
Abduh di jelaskan bahwa kata disuruh pada ayat ini berarti telah sampai
kepada mereka perintah-perintah Allah dan telah ditetapkan atas mereka
syariatnya, adapun arti al-dīn atau agama, ialah ketundukan jiwa kepada
tuhanya, dengan penuh kepatuhan dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan
melaksanakan kehendak-Nya. Sedangkan mengiḥlaṣkan Agama bagi Allah, ialah
dengan membersihkannya dari segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya, baik yang
berupa perantara, harta, kedudukan, maupun jabatan dan sebagainya.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya,“ Wahai Abu
Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat
seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka iḥlaṣkan
amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini,“
Amal tanpa keiḥlaṣan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir.
Memberatkannya tapi tidak bermanfaat. Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika
ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta Ahli
Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keiḥlaṣan, maka tidak mungkin Allah mencela
orang-orang munafik.”
Dari beberapa keterangan di atas bahwasanya ihlas dapat menunjukan betapa sangat
pentingnya bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa rasa iḥlaṣ
dan hanya mengharap ridha dari Allah Subhānahu wa Ta’ālā ibadah kita tidak akan diterima oleh
Allah.
D.
Iḥlaṣ Merupakan Syarat diterimanya Amal
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku iḥlaṣ,
kedudukan dan keutamaan iḥlaṣ. Ada disebutkan wajibnya iḥlaṣ kaitannya dengan
kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian
amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok dari keutamaan iḥlaṣ ialah,
bahwa iḥlaṣ merupakan syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus
mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan
keduanya. Pertama. Niat dan ihlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah;
yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika
salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan
tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ
وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا ﴿الكهف: ١١٠﴾
Katakanlah:
"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa".
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah
kepada Tuhannya".
Abu Hasan menjelaskan lafad ini مِّثْلُكُمْ, bahwasanya yang dimaksut ialah Nabi Adam Alayhi al-Salâm.
يُوحَىٰ
إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
ganjaran dari Allah. فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا dengan
ihlas. وَلَا يُشْرِكْ tidak berpaling. ayat ini turun ketika ada penjegahan terhadap
riya' ketika melakukan suatu pekerjaan.
Dalam Tafsir Jalalain di
Tafsirkan bahwa, "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia anak Adam seperti
kalian, yang diwahyukan kepadaku, 'Bahwa sesungguhnya Rabb kalian itu adalah
Tuhan Yang Esa”. huruf Anna di sini Maktufah atau dicegah untuk beramal oleh
sebab adanya Ma, sedangkan huruf Ma masih tetap status Mashdarnya. Maksudnya;
yang diwahyukan kepadaku mengenai keesaan Tuhan. Barang siapa mengharap
bercita-cita perjumpaan dengan Rabbnya setelah dibangkitkan dan menerima
pembalasan maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan di dalam beribadah kepada Rabbnya yakni sewaktu ia beribadah
kepada-Nya, seumpamanya ia hanya ingin pamer dengan seorang pun".
.Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai
shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengiḥlaṣkan
niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya.
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam
kitab tafsir-nya: “Inilah dua landasan amalan yang diterima, iḥlaṣ karena Allah
dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ”.
Jadi pokok dari keutamaan iḥlaṣ ialah,
bahwa iḥlaṣ merupakan syarat diterimanya amal.
E. Keistimewaan
Orang-orang yang Iḥlaṣ
Apabila
kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan kita temukan di dalamnya
beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan keutamaan orang-orang yang iḥlaṣ,
antara lain sebagai berikut.
- Selamat dari kesesatan.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam
surat al-Hijr: 39-40:
قَالَ
رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ
وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
(40)
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah
memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik
(perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka".
Dalam Tafsir Jalalain di
jelaskan bahwa Iblis berkata, "Ya
Rabbku! Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, artinya disebabkan
Engkau telah menetapkan aku sesat; huruf ba’ pada lafal bimaa adalah bermakna
qasam, sedangkan jawabnya ialah (pasti aku akan menjadikan mereka memandang
baik di muka bumi ini terhadap perbuatan-perbuatan maksiat dan pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya.
- Dapat
mengendalikan hawa nafsu.
Hawa nafsu merupakan
salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk
mengajak manusia kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan
keinginan-keinginan rendah lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam
al-Qur’an surat Yusuf: 53 Allah berfirman:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا
رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan
aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ibnu ‘Abas menjelaskan
ayat وَمَا
أُبَرِّئُ نَفْسِي
tidak terbebasnya hati dari kesalahan. إِنَّ النَّفْسَ hati. لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ bahwasanya
nafsu itu tergantung pada suatu jisim. بِالسُّوءِ mununjuk ke perbuatan.
- Terhindar dari siksaan neraka dan masuk
kedalam syurga di akhirat
Sebagaimana telah
dijelaskan oleh Allah Subhānahu wa Ta’ālā. Dalam al-Qur’an surat al-Shaffat : 40
Allah berfirman:
إلا عباد الله المخلصين
Tetapi
hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).
Ibnu ‘Abas menjelaskan lafal di atas
dengan terjaga dari kekafiran dan kesirikan, dapat dikatakan juga dengan
keihlasan dalam beribadah, mentauhitkan Allah. Al-Kasaf menafsirkannya dengan mendapat
rizki yang berupa buah-buahan. Ayat-ayat tersebut menjelaskan orang-orang
yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan noda sehingga menjadi orang-orang
pilihan dan kesayangan-Nya.di dunia mereka telah diselamatkan dari segala kehinaan
dan bencana, seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang
ingkar lainnya. Sementara di akhirat nanti mereka akan terbebas dari siksaan
api neraka, serta akan mendapatkan balasan yang sempurna atas amal saleh yang
telah mereka lakukan berupa kenikmatan di dalam surga yang tiada tandingannya,
kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan, dan hati
manusia.
Itulah balasan dari Allah Subhānahu wa Ta’ālā kepada orang – orang yang iḥlaṣ dalam
beraqidah, beribadah, dan bermuamalah. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya
keistimewaan ihlas itu dapat dibagi menjadi tiga yang pertama ialah selamat
dari kesesatan, yang kedua ialah dapat mengendalikan hawa nafsu yang ketiga
terhindar dari siksa dan akan masuk kedalam surga.
F. Balasan Orang yang Tidak Iḥlas
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا
لَوْلَا أَن رَّأَىٰ بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ
وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ ﴿يوسف: ٢٤﴾
Dan
Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara mereka
berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu." Maka setan menjadikan
dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia
(Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.
Dalam Tafsir Jalalain di jelaskan bahwa Sesungguhnya wanita
itu telah mempunyai maksud terhadap Yusuf artinya dia telah bermaksud terhadap
Nabi Yusuf supaya menyetubuhinya dan Yusuf pun bermaksud melakukannya pula
dengan wanita itu, artinya Yusuf pun mempunyai keinginan yang sama andaikata
dia tidak melihat tanda dari Rabbnya. Menurut Ibnu Abbas Raḍiya
Allah Anhu bahwa pada saat yang kritis itu tiba-tiba Nabi
Ya’kub atau ayahnya tampak di hadapannya, lalu memukul dadanya sehingga
keluarlah nafsu syahwat yang telah membara itu dari semua ujung-ujung jarinya.
Jawab dari lafal laulaa ialah lajaama`ahaa; artinya niscaya Yusuf
menyetubuhinya. Demikianlah Kami perlihatkan tanda kekuasaan-Ku kepadanya agar
Kami memalingkan daripadanya kemungkaran perbuatan khianat dan kekejian
perbuatan zina. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang teriḥlaṣ
dalam hal ketaatan. Menurut suatu qiraat dibaca mukhlishiin dengan dikasrahkan
huruf lam-nya; artinya sama dengan lafal al-mukhtaariina atau orang-orang yang
terpilih.
Pertama dihisab pada
hari kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan
diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya,
kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab:
Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid. Allah berfirman: Kamu
dusta, kamu berjuang dengan niat agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu
sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut
yang akhirnya dia dilemparkan ke neraka.
Kedua, seseorang yang
belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur’an, dia dihadapkan dan
diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya,
kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab:
Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur’an untuk-Mu. Allah berfirman: Kamu
dusta, kamu belajar Al Qur’an dengan niat agar dikatakan sebagai orang yang
alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur’an agar dikatakan sebagai seorang Qari’
(ahli membaca Al Qur’an), dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah
memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam
An Nar (neraka).
Ketiga, seseorang yang
dilapangkan rezekinya dan dikurniai berbagai macam kekayaan, lalu dia
dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia
pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat
itu? Ia menjawab: Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai
untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq kerana Engkau. Allah
berfirman: Kamu dusta, kamu berbuat itu dengan niat agar dikatakan sebagai
orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan
untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam neraka.”
(HR. Muslim).
Demikianlah ketiga orang
yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keiḥlaṣan kepada Allah.
Allah lemparkan mereka ke dalam An Nar (neraka). Semoga kita termasuk
orang-orang yang dapat mengambil pelajaran daripada kisah tersebut.
G.
Cara Mencapai Iḥlaṣ
Cara agar kita dapat mancapai rasa iḥlaṣ
adalah dengan mengosongkan pikiran dissat kita sedang beribadah kepada Allah Subhānahu wa Ta’ālā. Kita hanya memikirkan Allah, shalat untuk Allah, zikir untuk Allah, semua
amal yang kita lakukan hanya untuk Allah. Lupakan semua urusan duniawi, kita
hanya tertuju pada Allah. Jangan munculkan ras riya’ atau sombong di dalam diri
kita karena kita tidak berdaya di hadapan Allah Subhānahu wa Ta’ālā. Rasakanlah Allah berada di hadapan kita dan sedang menyaksikan kita.
Insya Allah dengan cara di atas anda dapat mencapai iḥlaṣ. Dan jangan lupa
untuk berdoa memohon kepada Allah Subhānahu wa Ta’ālā agar kita dapat beribadah secara iḥlaṣ untuk-Nya, sebagaimana do’a Nabi Ibrahim
Alayhi al-Salām,
فلما القمر بازغا قال هذا
ربي فلما أفل قال لئن لم يهدني ربي لأكونن من القوم الضالين
“Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia
berkata, “Inilah Tuhanku”. Tetapi ketika bulan terbenam dia berkata, “Sungguh
jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang
yang zalim”.
Dalam Tafsirnya Ibnu Kathīr, Muhammad ibnu
Ishaq mengatakan bahwa Nabi Ibrahim Alayhi al-Salām mengalami keadaan demikian setelah dia keluar
dari gua tempat persembunyiannya, di tempat itu pula ibunya melahi rkannya
karena takut kepada ancaman Raja Namruz ibnu Kan'an . Raja Namruz mendapat
berita dari tukang ramalnya bahwa kelak akan lahir seorang bayi yang akan mengakibatkan kehancuran bagi kerajaannya.
Maka Raja Namruz memerint ahkan kepada segenap hulubalangnya untuk membunuh
semua anak lakilaki yang lahir di tahun itu. Ketika ibu Nabi Ibr ahim
mengandungnya dan telah dekat masa kelahirannya, maka ibu Nabi Ibrahim pergi ke gua yang terletak tidak
jauh dari kota tempat tinggalnya. Ia melahirkan Nabi Ibrahim di gua tersebut
dan meninggalkan Nabi Ibrahim yang masih bayi di tempat itu.
Kemudian Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan riwayatnya
hingga selesai, yang di dalamnya banyak diceritakan halhal yang aneh dan
bertentangan dengan hukum alam. Hal yang sama telah diutarakan pula oleh
selainnya dari kalangan ulama tafsir, baik yang Salaf maupun yang Khalaf.
III. Kesimpulan
Kata iḥlaṣ merupakan bentuk
mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata khalasha. Secara istilah
Iḥlaṣ adalah intisari
dari pada iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika dia tidak
iklas. Bila
diteliti lebih lanjut, kata iḥlaṣ sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara
langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang
berderivat sama dengan kata iḥlaṣ tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam
tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara
lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan
khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima
kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin
(jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak)
delapam kali. Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term iḥlaṣ dalam al-Qur’an
juga mengandung arti yang beragam.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
‘Abbâs, Abdullah bin, Tafsîr Ibnu ‘Abbâs,
Lebanon: Dar al-Kitab, 817.
Ahmad, Abû al-Qâsim Mahmud bin
'Amru bin, Tafsir al-Kasyaf, Baierut: Dar al-Kitab, 1407.
Damashqī (al) , Abu Al-Fidā Ismāil
ibnu Umar bin Kathir Al-Qurashy, Tafsīr Al-Qur’an Al-Aẓīm. Dār Ṭaybah li
al-Nashri wa al-Tawzi’. 1999.
Maḥallī (al), Jalaluddīn muhammad
bin Ahmad. Tafsīr Al-Jalalaīn.
Dār al-Ma’rifah, 2010.
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an
dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI. 2009.
Thabarî (al), Muhammad bin Jarir
bin Zaid bin Katsir, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, Bairut:
Mu’asasah al-Risâlah, 2000.
Wahidi(al), Abu al-Hasan 'Ali bin
Ahmad bin Muhammad bin 'Ali, al-Wahiz Fi Tafsir Kitab al-'Aziz, Bairut:
Dar al-Qalam, 1415.
Abu
Al-Fidā Ismāil ibnu Umar bin Kathir Al-Qurashy Al-Damashqī, Tafsīr Al-Qur’an
Al-Aẓīm (Dār Ṭaybah li al-Nashri wa al-Tawzi’, 1999), 3:380.