Selasa, 29 Maret 2016

Islam Nusantara



Islam Nusantara
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan
Mendengar judul di atas memang terasa aneh di telinga kita. Bagaimana tidak...??? adanya penggabungan kata Islam dan Nusantara. Untuk lebih jelasnya kita ketahui sejarah hadirnya Islam Nusantara, dimana disaat kaum liberal dan para pembajak akidah beranggapan bahwa Islam yang sekarang dianggap gersang, terkekang, ke-Arab-araban, anti seni, anti budaya, anti kemajuan sekaligus anti emansipasi wanita. Gejala puritanisme menjadi alasan lahirnya wacana Islam Nusantara.  Dengan ini para pendukung Islam Nusantara menginginkan Islam yang toleran, fleksibel, dan sinkretis. Sehingga mereka beranggapan kalau Islam sama dengan agama lain sepertihalnya Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan. Kesamaanya terletak pada sumbernya yaitu sama-sama agama samawi.
Islam Nusantara hadir untuk menggabungkan antara Islam dan budaya atau kultural Indonesia. Dengan adanya wacana ini sehingga Islam harus menerima budaya dan kultural meskipun hal itu dianggap kufur, sesat. Seperti halnya do’a antaragama, pernikahan beda agama dan merayakan hari besar agama lain. Sehingga timbul budaya-budaya kaum abangan yang telah sirna seperti halnya sedekah bumi, sedekah laut, sesajen dan blangkonan. Hal ini merupakan misi Barat untuk mem-Pluralisme-kan agama Islam sehingga Islam keluar dari jalannya. Disamping itu adanya tujuan politik tertentu, yang jelas munculnya ide tersebut telah menimbulkan konflik, pendangkalan akidah serta menambahkan perpecahan di tengah-tengah umat.
Pembelokan agama Islam tak tanggung-tanggung di lakukan oleh kaum orientalis di dalam sosio kultural Nusantara melainkan juga di dalam ranah structural PBNU. Ada sekelompok pengurus yang menyusup yang berlatarbelakang membela Syi’ah, ada yang berkepentingan untuk wahhabiyan dan ada yang mempunyai misi penyebaran ideologis liberal. Menurut K.H Idrus Ramli selaku ulama’ yang menolak adanya Islam Nusantara mengungkapkan beberapa alasan, diantanya: 1. Nusantara adalah istilah pra-Islam. Dalam bahasa agama Nusantara adalah istilah Jahiliyyah, yaitu istilah yang digunakan masyarakat kita sebelum datangnya Islam ke Indonesia. 2. Istilah Islam Nusantara menggaburkan Aswaja, yang mengganggap syari’at yang ada tidak relevan dengan kontek yang ada, bukanya kontek yang menyesuikan dengan syari’at, malah syari’at yang harus menyesuaikan dengan kontek yang ada pada sekarang, bisa juga menyimpang jauh. 3.  Konsep Islam Nusantara Asal-Asalan. Dengan adanya konsep asal-asalan ini secara tidak langsung merusak struktural dan tatanan ideologi NU, yaitu ideologi Sunni, Asya’irah dan Maturidi-yah, berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis serta ulama’-ulama’ salafus sholih dalam bermadzab empat. Konsep asal-asalan ini merubah ideologi NU menjadi ideologi liberal ala Islam Nusantara sebagai bentuk kelangsungan ide Gus Dur “Pribumisasi Islam”. Lewat hal ini mereka ingin menghidupkan kembali sistem Hindhu-Budha ala Majapahit.
Dukungan secara langsung juga di lontarkan presiden Jokowi, beliau ikut mendukung adanya ide pencetusan Islam Nusantara pada saat sambutan di acara Munas NU dan istighosah menyambut bulan Ramadhan 1436 H dengan tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradapan Indonesia dan Dunia” Selasa 14 juni 2015 bertempat di masjid Istiqlal. Salah satu tokoh yang menjadi garda depan dalam mensosialisasikan Islam Nusantara ialah ketua umum PBNU, Said Aqil Siradj yang telah sukses menjadikan Islam Nusantara sebagai tema muktamar NU ke 33 pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur. Ia bahkan dimintai kata pengantar dalam buku yang berjudul “Ijtihad Politik Islam Nusantara; Membumikan Fiqh Siyasah Melalui Pendekatan Maqashid asy-Syari’ah”. Dalam buku tersebut juga mencantumkan pendapat Husein Muhammad, “Larangan pernikahan Muslimah dengan laki-laki Kitabi merupakan setting budaya patriarki (sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama sentral dalam organisasi sosial) yang menempatkan perempuan sebagai subordinat (bawahan) bagi laki-laki. Dalam budaya masyarakat patriarki, posisi wanita selalu terhegemoni oleh laki-laki, sehingga wanita digambarkan sebagai makhluk lemah dan tak berdaya. Budaya itu tentu berbeda dengan budaya masyarakat modern yang telah datang memiliki HAM dan menolak segala sistem atau tata sosial yang diskriminatif, termasuk deskriminasi gender.” Pernyataan ini jelas bertentangan dengan hukum qath’i dari nash Al-Qur’an tentang larangan pernikahan beda agama. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:  
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Q.S. Al-Baqarah ayat 221).
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, bahwasanya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengharamkan atas orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala. Kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk ke dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan wasaniyah. Akan tetapi di kecualikan dari hal tersebut wanita ahli kitab oleh firman-Nya:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina. (Q.S. Al-Maidah ayat 5).
Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mengecualikan dari hal tersebut wanita Ahli Kitab. Hal ini sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, makhul, Al-Hasan, ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan lain-lainnya.








Selasa, 09 Februari 2016

Tafsir Tematik: IḤLAṢ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

IḤLAṢ DALAM  PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Ibdaul Hasan A

I. Pendahuluan
Dalam Islam keselarasan antara aspek lahiriyah dengan baṭiniah merupakan hal yang sangat penting dan menentukan. Mengabaikan salah satunya dapat berakibat pada kurang sempurnanya tindakan seseorang. Itulah sebabnya dalam al-Qur’an Allah  Subhānahu wa Ta’ālā  menolak pengakuan beriman orang-orang badui, karena pengakuan mereka itu hanya sekedar ucapan yang tidak disertai dengan ketulusan hati, dan tidak dibuktikan pengaruhnya dalam realitas kehidupan yang berupa amal dan jihad di jalan Allah. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Ḥujarat (49): 14-15:
قالت الأعراب أمنا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولما يدخل الإيمان في قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لايلتكم من أعمالكم شيئا إن الله غفور رحيم (۱۶) إنما المؤمنون الذين امنوا بالله ورسوله ثم لم يرتابوا ووجاهدوا بأموالهم وأنفسهم في سبيل الله أولئك هم الصادقون (۱۵)
“Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman”. Katakanlah (kapada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam)’, karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kami taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh Allah Maha pengampun, Maha penyanyang. (15) Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.[1]
Berkaitan dengan suatu perbuatan, Islam sangat menekankan pentingnya motif dan tujuan dari seorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak cukup hanya bentuk lahiriahnya saja. Dalam hal ini dapat diibaratkan bahwa setiap perbuatan itu ada badan dan ruhnya. Badannya adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar, sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya perbuatan itu dan jiwa iḥlaṣ yang mendorong terciptanya perbuatan tersebut. Bagi golongan ahli hakikat (tasawuf), iḥlaṣ merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dengan demikian, diterima atau tidaknya suatu perbuatan sangat tergantung kepada niat yang melakukannya. Sedemikian pentingnya kedudukan iḥlaṣ dalam amal ibadah, sehingga dalam al-Qur’an sendiri sebagai sumber utama dalam ajaran Islam terdapat banyak ayat yang membicarakan masalah iḥlaṣ dalam berbagai aspeknya.
Oleh karena itu, sesuai dengan tema yang telah ditentukan, kajian dalam tulisan ini akan berupaya memaparkan konsep iḥlaṣ dalam al-Qur’an dengan pendekatan metode tafsir tematik (mauḍū’ī).
II. Hakikat Makna Iḥlaṣ dalam al-Qur’an
A.  Pengertian Iḥlaṣ
Secara etimologis, kata iḥlaṣ merupakan bentuk mashdar dari kata akhlaṣa yang berasal dari akar kata  khalaṣa. Secara istilah iḥlaṣ adalah intisari dari pada iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika dia tidak iḥlaṣ, sebagaimana yang telah di jelaskan dalam firman Allah: [2]
قل إن الصلاة ونسكي ومحيي ومماتي لله رب العالمين
Sesungguhnya Allah tidak menerima amal seseorang kecuali dilakukan dengan iḥlaṣ dan mengharapkan ridha-Nya.
Ibnu Kathīr menjelaskan bahwa Allah Subhānahu wa Ta’ālā memerintahkan kepada Nabi Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Untuk memberitakan kepada orang-orang musyrik penyembah selain Allah dan kalau menyembelih hewan bukan menyebut nama Allah, bahwa Nabi Ṣala Allāh Alayhi wa al Salām. berbeda dengan mereka dalam hal tersebut. Karena sesungguhnya salatnya hanyalah untuk Allah, dan ibadahnya hanya sematamata untuk Allah, tiada sekutu bagiNya. Hal ini sama dengan yang disebutkan oleh firmanNya dalam ayat lain:[3]
فصل لربك وانحر
Yang artinya beriḥlaṣlah kamu untuk Dia dalam salat dan kurbanmu”. Di jelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik menyembah berhala dan menyembelih untuk berhala. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar membedakan diri dengan mereka dan menyimpang dari kebiasaan yang mereka lakukan, serta menghadapkan diri dengan seluruh tekad dan niat yang tulus dalam beriḥlaṣ kepada Allah  Subhānahu wa Ta’ālā .[4]
Bila diteliti lebih lanjut, kata iḥlaṣ sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivasi sama dengan kata iḥlaṣ tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain: kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish tunggal tiga kali, mukhlishuun jamak satu kali, mukhlishiin jamak tujuh kali, mukhlash tunggal satu kali, dan mukhlashiin jamak sebanyak delapan kali.
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term iḥlaṣ dalam al-Qur’an juga mengandung arti yang beragam.
Penyebutan Kata iḥlaṣ dalam al-Qur`an ada 24, di antaranya:
1.Ḥaaliṣh, yaitu bersih dan tidak dicampuri noda apapun. Seperti dalam firman Allah,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ [٣٩:٣]
 “Ingatlah, hanya kepunyaaan Allah-lah agama yang bersih.” (QS. Az-Zumar: 3);
2.Ḥalahuu, yaitu memproteksi diri. Seperti dalam firman Allah,
فَلَمَّا اسْتَيْأَسُوا مِنْهُ خَلَصُوا نَجِيًّا ۖ قَالَ كَبِيرُهُمْ أَلَمْ تَعْلَمُوا أَنَّ أَبَاكُمْ قَدْ أَخَذَ عَلَيْكُم مَّوْثِقًا مِّنَ اللَّهِ وَمِن قَبْلُ مَا فَرَّطتُمْ فِي يُوسُفَ ۖ فَلَنْ أَبْرَحَ الْأَرْضَ حَتَّىٰ يَأْذَنَ لِي أَبِي أَوْ يَحْكُمَ اللَّهُ لِي ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ [١٢:٨٠]
“Maka tatkala mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik.” (QS. Yûsuf: 80);
3.Ḥaaliṣah, yaitu khusus untukmu, sebagaimana dalam firman Allah,
إِنَّا أَ لَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ [٣٨:٤٦]
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shād: 46);
4.       Muḥlaṣan, kadangkala kata ini dipadukan dengan kata mukhalashin. Seperti dalam firman Allah:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَىٰ ۚ إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا [١٩:٥١]
 “Sesungguhnya dia adalah orang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam 19: 51).
Dari beberapa penjelasan iḥlaṣ diatas bahwasanya seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika dia tidak iḥlas sebagaimana Allah menjelaskan dalam firmanya: Sesungguhnya Allah tidak menerima amal seseorang kecuali dilakukan dengan iḥlaṣ dan mengharapkan ridha-Nya.
B.  Makna Iḥlaṣ dalam al-Qur’an
Pertama, iḥlaṣ berarti al-ishthif’ (pilihan) seperti pada surat Shaad ayat 46-47 Allah berfirman:
إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ [٣٨:٤٦]وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ [٣٨:٤٧]
Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
Ibnu Jarir menjelaskan ayat إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ dengan penjelasan sesungguhnya kami telah menghususkan kalian dengan kekususan, sesungguhnya Allah telah mengihlaskan atau mensucikan kalian semua, adapun kalian semua mengajak-ngajak kepada hari akhir maksutnya kembali kepada Allah.[5] وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ  Ibnu Jarir menjelaskan ayat di atas dengan tafsiran bahwasanya orang yang ta’at pada Allah, Yang menyampaikan pesan Allah pada makhluknya merupakan orang-orang pilihan yang paling baik.[6]
Di sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munasabah) antara ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.
Kedua, iḥlaṣ berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotoran), sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِ مِن بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَّبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِّلشَّارِبِينَ [١٦:٦٦]
Ayat diatas menjelaskan tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia.
Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 94 Allah berfirman:
قُلْ إِن كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِندَ اللَّهِ خَالِصَةً مِّن دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ [٢:٩٤]
Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika kamu memang benar.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya ihlas merupakan kekhususan bagi orang-orang tertentu yang mendapat hidayah dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, bisa juga berarti suci dari segala kotoran.
C.  Kedudukan Iḥlaṣ
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿البينة: ٥﴾
 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.[7]
Dalam Tafsirnya Muhammad Abduh di jelaskan bahwa kata disuruh pada ayat ini berarti telah sampai kepada mereka perintah-perintah Allah dan telah ditetapkan atas mereka syariatnya, adapun arti al-dīn atau agama, ialah ketundukan jiwa kepada tuhanya, dengan penuh kepatuhan dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan melaksanakan kehendak-Nya. Sedangkan mengiḥlaṣkan Agama bagi Allah, ialah dengan membersihkannya dari segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya, baik yang berupa perantara, harta, kedudukan, maupun jabatan dan sebagainya.[8]
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya,“ Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka iḥlaṣkan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini,“ Amal tanpa keiḥlaṣan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat. Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta Ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keiḥlaṣan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Dari beberapa keterangan di atas bahwasanya ihlas dapat menunjukan betapa sangat pentingnya bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa rasa iḥlaṣ dan hanya mengharap ridha dari Allah  Subhānahu wa Ta’ālā  ibadah kita tidak akan diterima oleh Allah.
D.  Iḥlaṣ Merupakan  Syarat diterimanya Amal
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku iḥlaṣ, kedudukan dan keutamaan iḥlaṣ. Ada disebutkan wajibnya iḥlaṣ kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok dari keutamaan iḥlaṣ ialah, bahwa iḥlaṣ merupakan syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ihlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya: [9]
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ﴿الكهف: ١١٠﴾
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya".
Abu Hasan menjelaskan lafad ini مِّثْلُكُمْ, bahwasanya yang dimaksut ialah Nabi Adam Alayhi al-Salâm. يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ ganjaran dari Allah. فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا dengan ihlas. وَلَا يُشْرِكْ  tidak berpaling.  ayat ini turun ketika ada penjegahan terhadap riya' ketika melakukan suatu pekerjaan.[10]
Dalam Tafsir Jalalain di Tafsirkan bahwa, "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia anak Adam seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku, 'Bahwa sesungguhnya Rabb kalian itu adalah Tuhan Yang Esa”. huruf Anna di sini Maktufah atau dicegah untuk beramal oleh sebab adanya Ma, sedangkan huruf Ma masih tetap status Mashdarnya. Maksudnya; yang diwahyukan kepadaku mengenai keesaan Tuhan. Barang siapa mengharap bercita-cita perjumpaan dengan Rabbnya setelah dibangkitkan dan menerima pembalasan maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan di dalam beribadah kepada Rabbnya yakni sewaktu ia beribadah kepada-Nya, seumpamanya ia hanya ingin pamer dengan seorang pun".[11]
.Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengiḥlaṣkan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya.
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya: “Inilah dua landasan amalan yang diterima, iḥlaṣ karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ”.
Jadi pokok dari keutamaan iḥlaṣ ialah, bahwa iḥlaṣ merupakan syarat diterimanya amal.
E.  Keistimewaan Orang-orang yang Iḥlaṣ
Apabila kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan kita temukan di dalamnya beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan keutamaan orang-orang yang iḥlaṣ, antara lain sebagai berikut.
  1. Selamat dari kesesatan.
 Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Hijr: 39-40:[12]
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (40)
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka".
Dalam Tafsir Jalalain di jelaskan bahwa Iblis berkata, "Ya Rabbku! Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, artinya disebabkan Engkau telah menetapkan aku sesat; huruf ba’ pada lafal bimaa adalah bermakna qasam, sedangkan jawabnya ialah (pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik di muka bumi ini terhadap perbuatan-perbuatan maksiat dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. [13]
  1. Dapat mengendalikan hawa nafsu.
Hawa nafsu merupakan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk mengajak manusia kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan keinginan-keinginan rendah lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf: 53 Allah berfirman:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ibnu ‘Abas menjelaskan ayat وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي tidak terbebasnya hati dari kesalahan. إِنَّ النَّفْسَ  hati. لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ  bahwasanya nafsu itu tergantung pada suatu jisim. بِالسُّوءِ  mununjuk ke perbuatan.[14]
  1. Terhindar dari siksaan neraka dan masuk kedalam syurga di akhirat
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah  Subhānahu wa Ta’ālā. Dalam al-Qur’an surat al-Shaffat : 40 Allah berfirman:
إلا عباد الله المخلصين
Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).[15]
Ibnu ‘Abas menjelaskan lafal di atas dengan terjaga dari kekafiran dan kesirikan, dapat dikatakan juga dengan keihlasan dalam beribadah, mentauhitkan Allah.[16] Al-Kasaf menafsirkannya dengan mendapat rizki yang berupa buah-buahan.[17] Ayat-ayat tersebut menjelaskan orang-orang yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan noda sehingga menjadi orang-orang pilihan dan kesayangan-Nya.di dunia mereka telah diselamatkan dari segala kehinaan dan bencana, seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang ingkar lainnya. Sementara di akhirat nanti mereka akan terbebas dari siksaan api neraka, serta akan mendapatkan balasan yang sempurna atas amal saleh yang telah mereka lakukan berupa kenikmatan di dalam surga yang tiada tandingannya, kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan, dan hati manusia.
Itulah balasan dari Allah  Subhānahu wa Ta’ālā  kepada orang – orang yang iḥlaṣ dalam beraqidah, beribadah, dan bermuamalah. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwasanya keistimewaan ihlas itu dapat dibagi menjadi tiga yang pertama ialah selamat dari kesesatan, yang kedua ialah dapat mengendalikan hawa nafsu yang ketiga terhindar dari siksa dan akan masuk kedalam surga.
F.   Balasan Orang yang Tidak Iḥlas
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَن رَّأَىٰ بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ ﴿يوسف: ٢٤﴾
Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara mereka berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu." Maka setan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.
Dalam Tafsir Jalalain di jelaskan bahwa Sesungguhnya wanita itu telah mempunyai maksud terhadap Yusuf artinya dia telah bermaksud terhadap Nabi Yusuf supaya menyetubuhinya dan Yusuf pun bermaksud melakukannya pula dengan wanita itu, artinya Yusuf pun mempunyai keinginan yang sama andaikata dia tidak melihat tanda dari Rabbnya. Menurut Ibnu Abbas Raḍiya Allah Anhu  bahwa pada saat yang kritis itu tiba-tiba Nabi Ya’kub atau ayahnya tampak di hadapannya, lalu memukul dadanya sehingga keluarlah nafsu syahwat yang telah membara itu dari semua ujung-ujung jarinya. Jawab dari lafal laulaa ialah lajaama`ahaa; artinya niscaya Yusuf menyetubuhinya. Demikianlah Kami perlihatkan tanda kekuasaan-Ku kepadanya agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran perbuatan khianat dan kekejian perbuatan zina. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang teriḥlaṣ dalam hal ketaatan. Menurut suatu qiraat dibaca mukhlishiin dengan dikasrahkan huruf lam-nya; artinya sama dengan lafal al-mukhtaariina atau orang-orang yang terpilih.[18]
Pertama dihisab pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu berjuang dengan niat agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke neraka.
Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur’an, dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur’an untuk-Mu. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu belajar Al Qur’an dengan niat agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur’an agar dikatakan sebagai seorang Qari’ (ahli membaca Al Qur’an), dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar (neraka).
Ketiga, seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dikurniai berbagai macam kekayaan, lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq kerana Engkau. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu berbuat itu dengan niat agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim).
Demikianlah ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keiḥlaṣan kepada Allah. Allah lemparkan mereka ke dalam An Nar (neraka). Semoga kita termasuk orang-orang yang dapat mengambil pelajaran daripada kisah tersebut.
G. Cara Mencapai Iḥlaṣ
Cara agar kita dapat mancapai rasa iḥlaṣ adalah dengan mengosongkan pikiran dissat kita sedang beribadah kepada Allah  Subhānahu wa Ta’ālā. Kita hanya memikirkan Allah, shalat untuk Allah, zikir untuk Allah, semua amal yang kita lakukan hanya untuk Allah. Lupakan semua urusan duniawi, kita hanya tertuju pada Allah. Jangan munculkan ras riya’ atau sombong di dalam diri kita karena kita tidak berdaya di hadapan Allah  Subhānahu wa Ta’ālā. Rasakanlah Allah berada di hadapan kita dan sedang menyaksikan kita. Insya Allah dengan cara di atas anda dapat mencapai iḥlaṣ. Dan jangan lupa untuk berdoa memohon kepada Allah  Subhānahu wa Ta’ālā agar kita dapat beribadah secara iḥlaṣ untuk-Nya, sebagaimana do’a Nabi Ibrahim Alayhi al-Salām,
فلما القمر بازغا قال هذا ربي فلما أفل قال لئن لم يهدني ربي لأكونن من القوم الضالين[19]
“Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku”. Tetapi ketika bulan terbenam dia berkata, “Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang zalim”.[20]
Dalam Tafsirnya Ibnu Kathīr, Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa Nabi Ibrahim Alayhi al-Salām  mengalami keadaan demikian setelah dia keluar dari gua tempat persembunyiannya, di tempat itu pula ibunya melahi rkannya karena takut kepada ancaman Raja Namruz ibnu Kan'an . Raja Namruz mendapat berita dari tukang ramalnya bahwa kelak akan lahir seorang bayi yang akan  mengakibatkan kehancuran bagi kerajaannya. Maka Raja Namruz memerint ahkan kepada segenap hulubalangnya untuk membunuh semua anak lakilaki yang lahir di tahun itu. Ketika ibu Nabi Ibr ahim mengandungnya dan telah dekat masa kelahirannya, maka ibu  Nabi Ibrahim pergi ke gua yang terletak tidak jauh dari kota tempat tinggalnya. Ia melahirkan Nabi Ibrahim di gua tersebut dan meninggalkan Nabi Ibrahim yang masih bayi di tempat itu. [21]
Kemudian Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan riwayatnya hingga selesai, yang di dalamnya banyak diceritakan halhal yang aneh dan bertentangan dengan hukum alam. Hal yang sama telah diutarakan pula oleh selainnya dari kalangan ulama tafsir, baik yang Salaf maupun yang Khalaf.
III. Kesimpulan
Kata iḥlaṣ merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata khalasha. Secara istilah Iḥlaṣ adalah intisari dari pada iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika dia tidak iklas. Bila diteliti lebih lanjut, kata iḥlaṣ sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan kata iḥlaṣ tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak) delapam kali. Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term iḥlaṣ dalam al-Qur’an juga mengandung arti yang beragam.


Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
 ‘Abbâs, Abdullah bin, Tafsîr Ibnu ‘Abbâs, Lebanon: Dar al-Kitab, 817.
Abduh, Muhammad. Tafsīr Juz Amma, terj. Muhammad Bagir, Jakarta: Mizan. 1998.
Ahmad, Abû al-Qâsim Mahmud bin 'Amru bin, Tafsir al-Kasyaf, Baierut: Dar al-Kitab, 1407.
Damashqī (al) , Abu Al-Fidā Ismāil ibnu Umar bin Kathir Al-Qurashy, Tafsīr Al-Qur’an Al-Aẓīm. Dār Ṭaybah li al-Nashri wa al-Tawzi’. 1999.
Maḥallī (al), Jalaluddīn muhammad bin Ahmad.  Tafsīr Al-Jalalaīn. Dār al-Ma’rifah, 2010.
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI. 2009.
Thabarî (al), Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000.
Wahidi(al), Abu al-Hasan 'Ali bin Ahmad bin Muhammad bin 'Ali, al-Wahiz Fi Tafsir Kitab al-'Aziz, Bairut: Dar al-Qalam, 1415.



[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 9:422.
[2] Al-Qur’an, 6:162
[3] Al-Qur’an, 108:2
[4] Abu Al-Fidā Ismāil ibnu Umar bin Kathir Al-Qurashy Al-Damashqī, Tafsīr Al-Qur’an Al-Aẓīm (Dār Ṭaybah li al-Nashri wa al-Tawzi’, 1999), 3:380.

[5] Muhammad bin Jarir bin Zaid bin Katsir al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Takwîl al-Qur’an, (Bairut: Mu’asasah al-Risâlah, 2000), 21:217.
[6] Ibid., 21:219.
[7] Al-Qur’an, 98:5.
[8] Muhammad Abduh, Tafsīr Juz Amma, terj. Muhammad Bagir, (Jakarta: Mizan, 1998), 274.
[9] Al-Qur’an, 18:110.                                                   
[10] Abu al-Hasan 'Ali bin Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Wahidi, al-Wahiz Fi Tafsir Kitab al-'Aziz, (Bairut: Dar al-Qalam, 1415), 1:674.
[11] Jalaluddīn muhammad bin Ahmad Al-Maḥallī,  Tafsīr Al-Jalalaīn, (Beirut: Dār al-Ma’rifah 2010). 5:261.
[12] Al-Qur’an, 15:39-40.
[13] Jâlal al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî dan Jâlal al-Dîn ‘Abd al-Rahman bin AbÎ Bakr al-Suyutî, Tafsîr Jâlalain, (Mesir: Dar al-Hadîs, 911), 4:348.
[14] ‘Abdullah bin ‘Abbâs, Tafsîr Ibnu ‘Abbâs, (Lebanon: Dar al-Kitab, 817), 1:199.
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 8:275.
[16] Abdullah bin ‘Abbâs, Tafsîr Ibnu ‘Abbâs, (Lebanon: Dar al-Kitab, 817), 1:375.
[17] Abû al-Qâsim Mahmud bin 'Amru bin Ahmad, Tafsir al-Kasyaf, (Baierut: Dar al-Kitab, 1407), 4:42.
[18] Al-Maḥallī,  Tafsīr Al-Jalalaīn, 4:127
[19] Al-Qur’an (6):77.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 3:160.
[21] Umar bin Kathir, Tafsīr Al-Qur’an Al-Aẓīm, 2:373.